14 - Perlahan, Waktu Membantu

6.2K 795 87
                                    

Hari Minggu. Sekolah libur, namun tidak dengan masalah-masalah Sena. Bangun dan mendapati hari sudah berganti baru, menyisakan kurang dari 72 jam lagi untuk mencari jalan keluar agar pembayaran biaya rumah sakit bisa teratasi sebelum kebohongannya sampai diketahui Gani, membuat ia hampir menangis lagi kalau saja Dika tidak muncul tiba-tiba lalu mengajaknya untuk ikut shalat subuh ke mushola depan.

Yah, karena Dila dan Ibunya sedang menginap di rumah saudara yang akan menggelar hajatan, setelah mengantar Sena balik ke rumah sakit sekitar jam setengah sepuluh kemarin malam, Dika memang sengaja tidak pulang. Lebih memilih duduk di ruang tunggu bersama beberapa keluarga pasien lain—sementara kaleng uang juga gitar ia titipkan pada tukang parkir rumah sakit waktu memarkir si Jowi—sampai kemudian ketiduran begitu saja.

Soal itu, Sena mungkin tahu seumpama sadar kalau pakaian Dika masih sama persis seperti kemarin malam. Atau mungkin tidak. Karena seluruh dunia tahu bagaimana acuhnya gadis itu. Tapi, Sena tahu atau tidak, sama sekali bukan apa-apa buat Dika. Sungguh. Dika sudah sangat senang dengan hadirnya yang bisa membuat tangis Sena tersimpan kali ini.

“Bagus ya langitnya? Jingga sekali.” Celetuk Dika memecah hening yang membeku bersama dingin udara pagi. Disamping dirinya, ada seorang gadis yang juga tengah berdiri di pinggiran atap rumah sakit, menghadap ufuk timur meyaksikan matahari terbit.

Sena hanya diam. Memang ia sendiri yang mengajak Dika naik ke atap selepas shalat tadi. Tapi bukan berarti sekarang dirinya kena wajib meladeni ajakan bicara dari si Alien nyasar itu kan? Kira-kira begitu pikir Sena.

“Nggak sebagus menurut saya ya?” Dika menoleh. Menatap wajah Sena yang tersorot cahaya, sesaat membuat pergerakan dunia melambat. Dika butuh lebih dari sekedar kata cantik untuk mendeskripsikan bagaimana Sena di matanya. “Oh iya, kamu kan sukanya senja, bukan fajar.” Ia terkekeh. Berusaha tidak peduli tentang secuil getir dilidahnya ketika mengucapkan kata ‘senja’.

“Soal masalah biaya rumah sakit Kak Gani, kenapa kamu peduli?” sengaja Sena alihkan topik jauh-jauh. Kepalanya sedang sangat penuh sekarang, dan Sena khawatir sebersit pikiran pendek untuk loncat ke bawah akan muncul karena Dika mengingatkanya pada masalah hati yang sedang coba ia kesampingkan untuk beberapa waktu ini.

Untungnya Dika cukup paham. Sempat mengangkat bahu, ia luruskan kembali posisi hadapnya. “Mungkin karena tinggal tiga hari lagi.”

“Padahal kamu juga nggak akan terpengaruh apa-apa...”

“Saya memang nggak. Tapi kamu iya.”

“Menurutmu, aku selemah itu?”

“Na, yang terberat dari sebuah masalah adalah ketika kamu harus menghadapinya sendirian. Jadi, nggak peduli sehebat apapun kamu, tetap saja butuh teman sebagai penguat.”

Tidak mendapat celah membantah, Sena hilang suara. Diam-diam, ia melirik Dika yang sosoknya jadi semakin tidak masuk akal. Laki-laki yang setiap hari bisa sumringah, bisa tersenyum selalu seolah hidupnya lepas dari hal bernama masalah, bagaimana dia sebegitu mudah mengerti apa yang Sena rasakan padahal Sena jelas tidak pernah membagi cerita apalagi berkeluh kesah di depan Dika secara langsung? Apa wajah Sena benar-benar menyedihkan belakangan ini sehingga Dika dapat mengetahui semuanya lewat sana?

“Huh! Mempedulikan aku sama sekali bukan tanggung jawabmu tahu!”

Dalam hati Dika tertawa. Cara bicara Sena yang bermajas benar-benar unik menurutnya. Bukan ingin besar kepala, tapi Dika tahu kok kalau sebetulnya Sena sedang merasa sungkan atau mungkin ingin berterima kasih juga tentang ngamen sukarela itu. Tapi karena bingung untuk menyampaikan tanpa membuat dirinya kelihatan ‘bukan seperti Sena’ gadis bermata cokelat itu jadi kedengaran kasar dan nggak menghargai. Padahal kenyataannya sama sekali tidak begitu.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang