7 - Nada Tak Akan Terpatahkan, Perkara Satu Senar Kau Putuskan

7.3K 1.1K 93
                                    

Tidak ada yang berbeda di sekolah setelah ditinggal absen beberapa hari. Begitu yang Sena pikirkan ketika kedua tungkainya sibuk melangkah menyusuri ubin.

Bukan. Bukan keadaan bangunan sekolah semisal warna cat atau letak tanaman-tanaman gantung yang sedang Sena perhatikan. Tapi orang-orang dan sikap sinis mereka. Pamor buruk yang Sena dapat karena ulah Bunga mungkin sudah mereda. Tapi perkara Dika sama sekali belum. Malah, kalau Sena perhatikan, semakin hari jumlah pengagum Dika yang mem-blacklist dirinya makin banyak saja.

Mereka itu aneh sekali sih, membenci orang lain gara-gara nggak bisa memiliki yang diingini...? gadis itu membuang napas berat. Tidak habis pikir.

Sebetulnya, memusingkan sikap orang-orang sama sekali bukan kebiasaan Sena. Tapi, di titik tertentu, seperti saat ini, kadang Sena merasa risih. Capek sendiri selalu dihakimi sementara ia saja tidak tahu dimana letak salahnya. Sena mana pernah memaksa Dika jatuh cinta pada dirinya? Jangankan begitu, menanggapi Dika saja Sena selalu ketus dan acuh.

Terlalu asyik memikirkan betapa 'lucunya' cinta-cintaan masa SMA, tanpa sadar Sena sudah sampai di depan kelas. Gadis itu sempat menyapa Raden yang sibuk menyiram tanaman. Juga mengangguk singkat saat bapak petugas kebersihan sekolah melewatinya sambil melempar senyum.

Baru juga mau melewati pintu, tapi Sena refleks bergerak mundur kembali karena hampir saja bertabrakan dengan Dika yang hendak keluar kelas. "Ck!" decaknya sambil menajamkan sorot mata. Dan saat kemudian Dika malah pamer gigi, Sena mendengus sebab langsung bisa menebak kalau teman sebangkunya pasti akan terus menghalangi jalan. Seperti di novel dan film komedi romantis. Si gadis ke kiri, si laki-laki mengikuti. Begitu pula saat si gadis bergeser ke kanan.

Tapi detik selanjutnya, semua tebakan Sena langsung dibuat patah. Dika sama sekali tidak melakukan adegan geser-geser khas komedi romantis. Sekarang, laki-laki itu malah berjalan mundur kembali ke bangkunya. Langkahnya lebar tapi sangat santai. Sembari terus menunjukkan tatapan dan senyum hangat pada Sena. Sedangkan Sena sendiri mengamati dengan kening berkerut-kerut. Merasa aneh dengan tingkah Dika.

"Kenapa kamu jalan mundur?" Sena langsung bertanya saat sudah duduk di samping Dika.

"Karena saya nggak jadi keluar kelas. Nggak jadi ke kantin." Yang ditanya menjelaskan.

Alis Sena terangkat sebelah. "Kenapa nggak jadi?"

"Karena nggak jadi butuh teh hangat ekstra gula."

"Kenapa tiba-tiba nggak butuh?"

"Soalnya... semangat pagi hari saya sudah masuk sekolah lagi!"

Seketika Sena memutar bola mata. "Harusnya aku nggak usah tanya-tanya...!" ia menggerutu sendiri. Sebal. Menyesal. Padahal sudah serius penasaran, ternyata yang barusan hanya satu dari 1001 cara menggombal milik Dika.

"Gimana keadaan Kak Gani?" celetuk Dika saat kekehannya habis. Mencari topik baru supaya dialognya dengan Sena tidak ikut habis juga.

"Kamu sering mampir nggak jelas ke rumah sakit 'kan?" Sena balik bertanya.

"Iya sih..." Aku Dika sembari menggaruk tengkuk.

"Terus, dari yang kamu lihat, keadaan Kak Gani gimana?"

"Membaik."

Lirikan sarat sinis Sena layangkan beberapa detik. "Kalau sudah tahu, nggak usah tanya!" Ketusnya. Buku yang baru diambil dari dalam tas sengaja ia banting keras-keras. Mengingatkan pada Dika supaya diam dan tidak lagi mengganggu.

"Jadi gimana? Sudah telepon Senja? Dapat jawaban?"

Sena spontan mengeratkan gigi. Darahnya yang sudah meninggi sekarang seakan terasa menyentuh ubun-ubun. Bagaimana bisa laki-laki di sampingnya itu kembali bertanya tanpa mengindahkan peringatan yang baru ia beri. Terlebih lagi, dengan menanyakan tentang Senja. Menurut Sena, Dika benar-benar lancang dan keterlaluan.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang