9 - Hujan Kala Senja

13.5K 1.7K 77
                                    

Meringkuk di kasur seharian--benar-benar seharian dari pagi sampai malam--adalah rencana sempurna Sena untuk hari minggu ini. Tapi alih-alih bisa menghabiskan hari dengan bermalas-malasan sepanjang waktu, Sena harus rela mengorbankan sorenya untuk duduk di salah satu bilik warnet.Ia sudah menghadap lurus layar komputer dan mengerjakan tugas bahasa Indonesia yang harus terselesaikan sekarang karena deadline pengumpulan print out-nya adalah besok.

Setengah jam berkutat, Sena akhirnya dapat tersenyum karena tugasnya berhasil rampung. File sudah dipindah ke flashdisk yang tadi ia pinjam dari pemilik warnet. Gadis itu meninggalkan tempatnya untuk pergi ke depan dan mencetak tugasnya. Kebetulan di warnet tersebut memang ada jasa print juga. Sena membiarkan komputernya terus menghitung tarif karena ia memang belum mau pulang. Sehabis menunjukkan ke pemilik warnet mana file yang harus dicetak, Sena berpesan kalau hasil print akan ia ambil saat sudah selesai memakai internet nanti. Biar sekalian bayarnya. Tidak lama Sena sudah duduk lagi di tempatnya tadi.

🎵....Walau hanya nada sederhana...

Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan....🎵

Lagu Rindu milik band Kerispatih yang sedang sangat hits disetel oleh pemilik warnet sebagai hiburan. Volume speaker dikeraskan supaya semua kedengaran. Namun Sena malah jadi tidak nyaman. Untuk seseorang yang sudah tidak mendapat kabar dari pacar selama hampir sebulan, lagu yang sedang mengalun membuatnya sesak tertikam kerinduan. Sena tahu dirinya mungkin berlebihan. Tapi begitulah yang saat ini ia rasakan.

Tiba-tiba saja pelupuk matanya terasa penuh dan air mata terus mendesak untuk keluar. Kuat-kuat Sena memejam. Sebisa mungkin menahan. Menangis di dalam warnet hanya karena sebuah lagu sangat kekanakan. Lebih dari itu, Sena pikir malah hal tersebut sudah masuk kategori memalukan.

Detik penghitung tarif di pojok bawah monitor komputer tidak berhenti berjalan. Cepat-cepat Sena mengambil mouse dengan tangan kanan. Membuka mIRC.
Untuk yang kesekian kali Sena berusaha menghubungi Senja. Juga berusaha mencari informasi dari teman-teman yang ada di Jakarta. Teman Sena sendiri dan beberapa teman Senja.

Andai saja Sena mengenal orang tua Senja, mungkin mencarinya akan lebih mudah, tapi masalahnya selama ini Senja tinggal bersama neneknya di Jakarta—yang sudah meninggal setahun lalu—memang sejak kecil tidak ikut menetap di luar negeri bersama orang tuanya yang merupakan pengusaha. Ada juga sih kakak perempuan yang kata Senja tinggal di Jogjakarta bersama salah satu saudara, sial saja Sena sama sekali tidak pernah mengenalnya.

Air matanya kembali menggenang ketika tidak satupun usahanya yang berbuah. Sama seperti yang sudah-sudah. Semuanya tidak memberikan jawaban apa-apa.

Perasaan Sena berkecamuk semakin parah. Sena merasa sangat terluka karena teman-teman lama yang ia hubungi benar-benar sudah berubah. Sikap mereka seolah-olah tidak pernah kenal sebelumnya. Sena menenggelamkan wajah ke lekukan lututnya. Ah, Sena lupa kalau teman-temannya itu memang sudah menunjukkan perubahan sejak akhir kelas dua di sekolah lama. Sejak... hidup Sena tidak lagi sama.

Teman-teman Senja juga tidak ada yang mau bercerita. Tentang ini, Sena juga tidak mengerti apa alasan mereka. Padahal dulu teman-teman Senja lumayan dekat dan sangat ramah dengannya.

Tidak ingin terlalu menyiksa batinnya sendiri, Sena putuskan untuk menutup media sosial Mirc tersebut. Bingung mau melakukan apa, Sena putuskan membuka e-mail. Mungkin ada sesuatu disana. Yah, Sena berharap banyak sesuatu itu adalah pesan dari Senja. Siapa tahu, bukan?

Matanya yang sedikit berair membuat Sena kurang yakin dengan apa yang ia lihat. Gadis itu mengucek mata untuk menjernihkan pandangan. Untuk beberapa saat Sena merasa oksigen disekitarnya menipis. Pesan teratas dengan tanggal tiga hari lalu itulah penyebabnya. Dikirim oleh Senjakala@yahoo.com.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang