9 - Tetes Peringan Luka

6.6K 893 53
                                    

Bukannya berharap dapat senyum dan sapa selamat pagi yang biasa. Tidak juga ingin dengar celotehan sok akrab khas Dika. Tentu saja Sena tidak rindu sama sekali dengan dua hal yang selalu ampuh merusak pagi-pagi cerahnya. Hanya saja, mendapati teman sebangkunya kali ini hanya meletakkan kepala di atas meja, tidak bergerak juga tidak berkata, terasa aneh saja untuk Sena.

Dia kenapa? Tumben banget nggak ada semangat-semangatnya? Sena membatin. Hanya merasa 'aneh' dan tidak biasa. Tidak lebih tidak kurang. Sekali lagi gadis itu mau tegaskan. Takut ada yang salah sangka.

Sudah hilang konsentrasi dengan sederet rumus yang memenuhi buku catatan matematika, Sena putuskan menutup buku bersampul cokelat tersebut. Tangan kanannya bergerak ragu-ragu, terangkat ke udara hendak menyentuh pundak tegap berbalut seragam itu. Sena sendiri tidak tahu apa niatnya, pun sama sekali tak memikirkan mau tanya apa setelah berhasil membuat Dika mengangkat kepala. Yang jelas, ia hanya ingin memastikan Dika tidak apa-apa.

"SELAMAT PAGI!"

Astaga! Sapaan kompak dari Pram dan Epeng yang muncul tiba-tiba bikin Sena tersentak bukan main. Sentuhan ujung jemari-jemarinya belum sampai, namun Sena refleks menarik tangan kembali ke pangkuan. "Ish! Iseng banget sih pakai ngagetin segala!" omel Sena tak lupa memelototi dua orang di samping mejanya.

Sambil nyengir, Epeng membentuk tanda damai pakai jari telunjuk dan jari tengah. "Maaf ya kalau aku sama Pram ganggu acara berduaan pagimu sama-Aduh-duh!" dan kalimat menggodai itu harus terpotong karena satu injakan maut andalan Sena. Sejurus kemudian Epeng langsung mundur menyembunyikan diri di belakang tubuh Pram. Cari aman, sudah tidak berani macam-macam.

Walaupun sebetulnya Pram punya niat melanjutkan celetukan usil Epeng karena asyik juga melihat Sena melotot pagi-pagi begini, tapi urung ia lakukan sebab keburu sadar ada yang aneh dengan satu lagi sahabatnya. "Sen, Dika kenapa?" tanya Pram, dagunya ia gerakkan untuk menunjuk laki-laki di sebelah Sena yang benar-benar anteng seolah tidak terpengaruh oleh berisik tadi.

Rambut hitam halus Sena terayun mengikuti gerakannya mengangkat bahu. "Kalau kamu tanya aku, aku tanya ke siapa?"

Pram memutar bola mata. Jawaban bernada jutek itu agak mengesalkan juga. Padahal sudah bertanya baik-baik, eh malah dibalas sinis. "Ya barangkali tahu, 'kan teman sebangku!" ia bersungut-sungut. Tapi lagi-lagi Sena cuma mengangkat bahu singkat.

Menyerah dengan cueknya Sena, Pram berinisiatif sendiri. Digoyangkannya pundak Dika beberapa kali. Tidak ketinggalan mengeluarkan suara memanggil-manggil nama pendek Prandika Jawahari. Sampai akhirnya Dika bergerak juga. Kelihatan sedikit terkejut saat menegakkan punggung dan mengucek mata. "Ada apa ya?" linglung Dika. Kentara ngantuknya.

"Masyaallah! Itu kantung matamu parah banget, Dik! Panda-panda di kebun binatang pasti minder kalau lihat!" Pekik Epeng. Sembari berdecak, dua tangan gemuknya terulur menangkup sisi-sisi wajah Dika. "Kamu begadang ya semalam? Aduh, ngapain toh ...? Ndak sehat, Dik! Ndak sehat!" khawatirnya.

Tahu kalau diperhatikan Sena, Dika cepat-cepat menarik kepala mundur. Sehabis lepas dari kekhawatiran Epeng yang berlebihan, ia mengusap wajah sejenak berusaha membuang garis-garis letih dari sana. Selanjutnya, senyum hangat ditampilkan bersama dengan satu kalimat ringan. "Semalam saya belajarnya lupa waktu, jadi begini. Tapi nggak apa-apa kok, saya sehat." Sengaja Dika menjeda, sekedar untuk memfokuskan mata pada Sena. "Terima kasih sudah khawatir."

Dengan wajah cengo, Sena menunjuk diri sendiri. Sedetik kemudian, gadis itu langsung membuang muka angkuh. Mencibiri rasa percaya Dika yang menurutnya kebangetan.

Sebagai yang paling peka, Pram tidak serta-merta percaya dengan ucapan Dika. Bukan hanya sehari dua hari, tapi sudah tahunan Pram bersahabat dengan pemilik sepasang mata cokelat teduh itu. Pram hafal betul dengan kepribadian Dika. Disiplin waktu salah satunya. Tidak mungkin Dika belajar semalaman suntuk walau tahu di sekolah ia hanya akan terperangkap kantuk. Jadi pasti ada alasan lain. "Jangan bohong! Kalau sekedar belajar, kamu nggak akan kelihatan secapek itu!" dedas Pram langsung.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang