3 - Takdir Yang Sempit

21.5K 2.5K 94
                                    

Debu kering beterbangan mengiringi langkah sepasang kaki bersepatu. Tanah kering halaman sekolah dipijak setapak demi setapak oleh si murid baru. Bibir itu tanpa lengkung ayu. Tak ada binar di mata cokelatnya yang bulat nan lucu. Sena hanya menampilkan raut satu. Kaku.

Cat di dinding sudah kusam warnanya. Ubin di koridor yang Sena lewati pecah beberapa. Pot tanaman gantung terbuat dari bahan sisa, sampah botol Aqua. Sena mengeram, "Sekolah ini jelek banget! Nggak kayak sekolah lama!"

Dari arah berlawanan. Epeng dan Pram membawa tumpukan buku yang akan dipakai mereka dan teman sekelas untuk pelajaran biologi. Di setiap langkah Epeng dan Pram mendumel, habisnya kesal karena harus kebagian tugas mengambilkan buku-buku tebal yang jumlahnya tidak sedikit itu dari perpustakaan. Ada-ada saja deh yang bikin pegal!

Pram melebarkan mata ketika melihat seorang gadis berjalan sendiri tidak jauh di depannya. Wajah siswi yang rambutnya dicepol asal itu tampak asing. Jaket merah yang terikat dipinggang si gadis pun Pram belum pernah lihat, "Aih! Aih! Ada murid baru!" laki-laki itu nyengir. Sebab lihat si gadis masih bawa ransel saat jam efektif belajar mengajar sudah dimulai dari satu jam lalu, Pram langsung bisa menebak siapa gadis itu. Seragamnya yang kelihatan masih baru membantu meyakinkan.

"Hah? Murid baru? Mana mana?" Kepala Epeng celingukan penasaran, berusaha membebaskan pandangannya yang terhalang tumpukan buku. Langkah kaki Epeng menjadi pelan tiba-tiba, lebih pelan dari langkah sahabatnya. Hampir-hampir lupa berkedip karena si anak baru wajahnya mirip model-model sampul majalah remaja. Duh, cantiknya...

Satu langkah menyamping Sena ambil. Sorot matanya menajam, kelihatan kalau ia tidak suka dengan sikap dua laki-laki yang menatapnya terang-terangan, sambil cengar-cengir pula. Apa-apaan sih dua orang itu?! Kayak nggak pernah lihat perempuan saja! Dalam hati Sena menggerutu.

"Hai! Murid baru, ya? Boleh kenalan nggak?" sengaja Pram memamerkan kemampuannya memainkan alis. Epeng tidak mau kalah, ia bersiul pelan tak lupa mengerling genit.

Raut kaku Sena berubah garang. Menggoda perempuan yang suasana hatinya sedang buruk adalah terlarang. Tapi terlambat buat Pram dan Epeng yang sudah terlanjur melakukan. Sena maju dengan langkah menantang. Kaki Pram yang pertama, kaki Epeng jadi korban selanjutnya. Diinjak dengan penuh tenaga. Dua laki-laki itu memekik kesakitan, buku-buku di tangan berhamburan ke bawah.

"Itu hukuman karena kalian sangat nggak sopan! Syukur-syukur karena aku nggak colok mata kurang ajar kalian itu! Muka pas-pasan saja pakai sok genit! Dasar laki-laki buaya!"

Kata-kata Sena menusuk tepat ke ulu hati Epeng dan Pram. Tidak berdarah, sih, tapi sakit. Tidak tercubit, tapi nyelekit. Itu mulut atau dinamit?!

Sempat menghentak kaki dan mendengus sambil memelototi Pram dan Epeng, Sena langsung beranjak meninggalkan posisi, ia ingat harus buru-buru mencari ruang kepala sekolah.

Sementara Pram dan Epeng terduduk mengenaskan di lantai, sepatu sudah dilepas dari kaki yang habis diinjak Sena. Buku-buku di lantai seakan menertawakan wajah Pram dan Epeng yang tengah merasakan jari kaki mereka berdenyut nyeri. Tubuhnya memang bisa dibilang kecil, tapi injakan si murid baru itu tidak main-main sakitnya. Satu fakta kalau si cantik ternyata judesnya amit-amit bikin Epeng dan Pram menyesal sempat mengaguminya.

Siapa yang akan berani jatuh cinta pada singa betina seperti dia?!

💧💧💧💧

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang