10 - Curah Pengacau Cerah

6.9K 911 64
                                    

Ruang kelas itu kelihatan sepi. Yang menunggui cuma benda-benda mati seperti tas yang digendong bangku atau buku lengkap dengan pasangan pensil-penghapus di atas meja kayu.

Manusianya jangan ditanya. Istirahat begini sudah pasti mereka kompak melarikan diri kemana-mana. Sekedar melepas jenuh saja. Entah ke kantin buat makan,  bergosip ria bareng teman tanpa peduli posisi menghalangi jalan atau sekedar duduk-duduk di pinggir lapangan menonton pertandingan bola sepak dadakan.

Kemudian, Pram dan Epeng datang. Ada Dika yang mereka apit di tengah. Suasana sepi langsung pecah karena obrolan bercampur tawa ringan yang tiga laki-laki itu bawa masuk. Topik yang sekedar membanding-bandingkan porsi makan satu sama lain nyatanya cukup seru juga. Walaupun Epeng mungkin tidak berpikir begitu sebab daritadi dirinya dijadikan bahan ledekan melulu.

Dika menarik kursi di depan bangku dua sahabatnya, deret ketiga di penjuru paling kanan, lalu duduk terbalik sehingga dadanya menyentuh sandaran kursi. “Jangan dimasukin hati, Peng. Ambil sisi positifnya saja, setiap kali kamu diledek, dosamu bakal pindah ke orang yang ngeledekin loh.” Fakta atau karangan, tidak usah terlalu dipikirkan. Yang jelas, kalimat barusan adalah usaha Dika supaya Epeng tidak terus merengut.

“Begitu, Dik?” pemilik tubuh paling sehat itu menyambar. Anggukan Dika seketika bikin wajah Epeng dipenuh ekspresi menang yang mengancam. “Alhamdulillah! Matur suwun duh Gusti ... hamba beruntung dipersahabatkan sama orang yang kelewat baik hati sampai mau ngambil alih tiket ke neraka punya sahabatnya!” rapal Epeng. Sengaja menekankan kata neraka dalam kalimatnya.

Pram mendelik. Merasa tersasar. Seumpama tidak ditengahi Dika, bisa dipastikan Pram enggan berhenti menggulat Epeng sampai bisa bikin si gembul itu megap-megap dan akhirnya mau mengubah ucapan jeleknya barusan.

“Sudah sudah! Sebenernya kalian berdua narik saya kesini buat apa, sih?” tanya Dika. Membuyarkan adu pelototan yang masih berlanjut diantara dua teman sebangku di hadapannya.

Lucunya, sedetik setelah ditanyai, Epeng dan Pram tiba-tiba nyengir bersamaan, lalu langsung mengeluarkan sebuah benda dari loker meja masing-masing. Pram menyodorkan bolpoin sementara tangan Epeng mengulurkan selembar kertas folio bergaris. Gerakan mereka kompak betul. Seakan sudah diatur. “Mas Kaka, bikinin puisi dong ...!” pinta keduanya. Pakai mode paduan suara.

Pupil mata Dika bergerak memutar. Selalu begitu waktu nada bicara yang dimanis-maniskan itu keluar. Sekarang sudah nggak heran kenapa si manusia lidi tiba-tiba akur dan kompak lagi dengan si kembaran gajah asia disaat masih asyik bertengkar. Mereka memang bisa jadi sekutu dadakan untuk urusan mengatasi masalah tugas yang belum kelar.

Terlepas dari reaksinya yang tidak antusias, Dika tetap tipikal ikhlas. Setelah dapat judul, ia mulai menata kata menjadi bait-bait selaras. Sesekali tampak menggigit tutup bolpoin atau mendongak mengamati langit-langit kelas. Kemudian sibuk berkutat lagi setelah menemukan rima yang pas.

Pram sama Epeng asyik bergurau sendiri. Tidak perlu repot-repot ingatkan soal tema tugas bahasa Indonesia mereka, atau mengarahkan ini itu. Toh Dika pasti sudah tahu. Sebab dia pasti dapat tugas kelompok yang serupa juga dari Pak Galuh. Entah sudah dikumpulkan atau belum, Pram sih cuma bisa tebak kalau sahabatnya harus kerjakan tugas itu secara individu karena Sena mana mau bantu.

“Peng, Pram, saya jadi nggak enak.”

Epeng lega melihat kertas folionya dikembalikan dengan wujud sudah dipenuhi tinta, Pram pun sama. Dengan begini amanlah mereka dari hukuman berdiri satu kaki sambil menjewer telinga sendiri. Hanya saja, mereka tidak paham kenapa Dika malah berkata demikian memakai nada rendah. Padahal puisi buatannya bagus-bagus saja. Terlalu bagus malah. Seumpama tidak bagus pun, Epeng dan Pram tidak akan ada yang mempermasalahkan juga tak mungkin marah. Jadi kenapa Dika sampai merasa bersalah?

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang