16 - Juara Dua

6.8K 889 58
                                    

Mulmed: Kaka(Yang lagi ganteng)

💧💧💧💧

Mamanya selalu bilang, menangislah kalau memang bisa membuat lega. Sebab itu, diperjalanan pulang dari klinik, Alda yang duduk di samping kursi kemudi membiarkan air matanya terus turun sebagai cara meluapkan berbagai emosi, berharap semua perasaan yang campur aduk menyesaki dadanya bisa menguap lalu hilang. Namun sejauh ini, Alda masih gagal. Ada sesuatu yang masih terasa mengganjal.

"Minta maaf, Da... itu bisa dicoba kalau memang menangis saja masih nggak cukup buat bikin kamu lega." Satu tangan Bu Laila tetap sibuk pada kemudi, sementara satu tangannya yang lain bergerak membelai rambut hitam panjang putri tunggalnya.

Kalau boleh sedikit bercerita, untuk wanita bernama lengkap Laila Nur Halimah itu, seorang Alda bukan hanya titipan Tuhan, melainkan hadiah. Buah dari kesabaran dan usahanya bersama sang suami dalam menghadapi cobaan 8 tahun tidak diberi momongan hingga akhirnya Alda lahir dari proses bayi tabung yang sebelumnya sempat dua kali gagal. Hal tersebutlah yang jadi alasan mengapa Bu Laila selalu berusaha menyayangi Alda dengan sempurna.

Daripada marah, Bu Laila lebih memilih menjadi sahabat yang menyediakan berbagai saran. Ketimbang mengikat Alda seperti boneka, Bu Laila membebaskan Alda pada apapun yang membuatnya bahagia selama selalu ada keterbukaan satu sama lain agar sebagai ibu, Bu Laila bisa mengingatkan ketika Alda mulai salah. Mungkin sekarang contohnya. Tentang petualangan cinta-cintaan yang sedang dijajal anak gadisnya.

Alda menatap sang mama dari samping sambil terisak kecil. "Menurut Mama, Alda yang salah?"

"Kamu merasanya bagaimana?"

Bingung harus mengiyakan atau menyangkal, Alda membiarkan pertanyaan barusan disapu udara. Mengingat dialog empat mata bersama Dika tadi, tentang bagaimana bibirnya seketika terbungkam karena garis wajah Dika yang biasa setenang suasana pagi berubah setegas cuaca tengah hari saat bicara, sepertinya tidak ada celah bagi Alda untuk menampik fakta kalau sedikit banyak ia memang merasa bersalah. Hanya saja...

"Yah, kalau kamu mungkin masih gengsi atau nggak berani, coba dipikirkan cara lain. Membantu orang itu misalnya? Minta maaf tuh nggak selalu lewat kata-kata secara langsung kok, Ndok..." seakan bisa membaca isi kepala Alda, Bu Laila menyampaikan usul solusi. Selengkung senyum hangat tak lupa ia sunggingkan sebagai pencair suasana. Lagipula, sesi ngobrol dari hati ke hati ini, sayang kalau tidak dimanfaatkan buat menyugesti Alda dengan hal-hal baik, siapa tahu pikirannya jadi terbuka. Begitu kiranya pikir Bu Laila.

Tangan Alda meremas asal tisseu di genggaman. Yang mamanya katakan tiba-tiba membuat pikiran gadis itu berputar mundur ke sore saat Sena datang ke toko kue diantar Ratih. Terlepas dari pertengkaran kekanakan antara ia dan Sena, Alda justru teringat soal alasan kakak kelasnya membutuhkan pekerjaan. Kalau nggak salah, gara-gara biaya rumah sakit kan?

💧💧💧💧

Dika buru-buru turun dari jok motor setelah memutar kunci kontak ke arah off. Mengabaikan helm yang masih terpakai di kepala sendiri, ia malah membantu Sena mencopot helm padahal gadis itu sama sekali tidak kesusahan atau minta bantuan. Tingkah Dika berlanjut lagi habis urusan helm selesai, tanpa permisi, ia langsung pegangi kedua pipi Sena menggunakan kedua telapak tangannya.

"Ngapain, sih?!" bicara Sena jadi sedikit tidak jelas karena perbuatan Dika bikin bibirnya jadi mode ikan Lohan sekarang.

"Biar nggak berat." jawab Dika sekenanya. Sena yang gagal paham otomatis mendumel menyuruh Dika berhenti bicara setengah-setengah. Karena Sena yang minta, dengan senang hati Dika menambahi. Kali ini harus to the point supaya mudah dimengerti. "Punggung kamu kan habis kejatuhan genting, jangan dipakai bawa yang berat-berat dulu, takutnya jadi makin sakit. Makanya saya bantu pegangin pipi-pipi kamu yang kelewat tembem ini. Biar nggak terlalu berat, hehe..."

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang