Awal Kisah - Jogjakarta

34.1K 3.5K 141
                                    

Jogjakarta, 2003

Parkiran sekolah sudah cukup sepi. Seorang siswa kelas satu SMA menghampiri motor Yamaha Alfa miliknya yang berwarna hitam putih. Hari ini ia pulang lebih lambat sebab baru selesai mencatat materi fisika dari Pak Hardadi.

Laki-laki itu baru saja memasang helm ke kepala ketika seorang gadis menghampiri tiba-tiba. Ia tahu siapa gadis berambut lurus sebahu di hadapannya. Anak pemilik sekolah. Cantiknya tidak kalah dari artis-artis muda. Pemilik senyum mempesona yang sudah langsung tenar sejak masa MOS pertama. Julukan dari orang-orang sih, primadona sekolah.

Walaupun sebetulnya si laki-laki ingin segera pulang ke rumah, ia putuskan melepas kembali helmnya untuk menghargai si gadis yang baru saja bilang ia minta waktu buat bicara. Roman-romannya, gadis itu ingin menyampaikan hal serius secara empat mata.

“Kamu... mau bilang apa?” tanya si laki-laki dengan wajah penuh tanda tanya. Heran melihat si gadis tak kunjung buka suara dan malah bergerak-gerak gelisah. Ia memainkan tali ransel sambil menggigit bibir bawah. Pupil matanya bergerak tak tentu arah. Berkali-kali juga ia menghela napasnya. Wajah cantik itu tampak merah.

Apa dia baik-baik saja? Sekarang si laki-laki jadi khawatir. Bingungnya bertambah-tambah.

“Aku... Aku ingin bilang... Kalau... Kalau aku suka kamu.”

Hening.

Kalimat gagap yang baru saja terlontar dari bibir si gadis sebenarnya kedengaran sangat jelas, tapi... disisi lain, juga kedengaran sangat aneh. Sampai-sampai, laki-laki berpikir kalau ia pasti salah dengar.

Gadis itu sempat mencuri-curi pandang, dua tiga kali berulang, penasaran dengan reaksi sang lawan bicara, ternyata hanya mematung. Gugup lagi-lagi menyerang, si gadis sampai merasa ingin pingsan, tapi urusannya belum tuntas, si gadis mengatur napas, ia harus bertahan!

“Jadi... mau jadi pacarku?”

Mata laki-laki itu melebar. Pertanyaan tadi mirip seperti petir yang menyambar. Mengejutkan. Si laki-laki betul-betul bingung menentukan respon yang harus diberikan. Apa dia sedang bercanda? Kalau diingat... Sebelumnya kita bahkan belum pernah saling sapa?

“Aku serius, kok. Aku sudah jatuh cinta sama kamu sejak pertama lihat kamu waktu awal MOS, cuma... baru berani bicara sekarang saja...” ujar si gadis. Paham orang dihadapannya butuh penjelasan. Wajar... pasti masih bingung sebab habis dapat pemberitahuan dadakan.

“Mmm... Aku ingin dengar jawabannya?” terdengar sedikit memaksa, mau bagaimana, sudah kepalang tanggung, si gadis ingin langsung dapat kepastian.

Si laki-laki sangat berharap kalau semua ini sekedar bercanda, dan sebentar lagi sang primadona sekolah akan mengajak dirinya tertawa bersama. Tidak perlu dipikirkan, tadi itu main-main saja. Tapi... yang ia dapati hanya tatapan ingin tahu. Artinya, ia memang harus kasih jawaban.

“Kamu yakin ingin dengar jawaban saya?”

Dengan bersemangat si gadis menganggukkan kepala.

“Saya menolak jadi pacarmu.”

Wajah cantik nan cerah itu berganti mendung seketika. Perlahan, mata beningnya berkaca-kaca, “Tapi... kenapa?”

“Kamu yakin ingin dengar jawaban saya?” pertanyaan yang sama. Dan disambut dengan anggukan kedua. Anggukan yang berbeda. Tanpa semangat, melemah.

“Saya menolak jadi pacarmu, karena saya nggak cinta sama kamu. Hanya itu.”

Sekarang si gadis tahu makna dari kalimat ‘kejujuran terkadang menyakitkan’ yang selalu orang-orang bicarakan. Laki-laki di hadapannya, orang pertama yang pernah menolaknya itu sudah membuat ia mengerti dan merasakan sendiri. Air mata turun satu-satu melewati pipi. Isakan kecil terdengar mengiringi. Perih.

“Kamu... Baik-baik saja?”

Pertanyaan bodoh!

Rintik air langit turun bersamaan ketika batin si gadis meneriakkan rutukan. Tapi ujung-ujungnya, ia malah memberikan sebuah anggukan.
Gerimis sekarang.

“Mau saya antar pulang?” menawarkan tumpangan jadi pilihan sebab laki-laki bertubuh tinggi itu merasa sangat tidak enak. Gadis itu menangis sebab ulahnya.

Dengan keras si gadis menggelengkan kepala. Ajakan tadi entah bagaimana justru malah membuatnya merasa marah. Tak mau menunggu lebih lama, ia lantas berbalik tanpa berkata apa-apa. Melangkah cepat, menjauh sambil menyeka air mata. Yang benar saja?!

Hujan yang turun dengan deras seolah sedang memainkan perasaannya.

💧Lovakarta💧

Ayii: Bahasa cerita ini emang agak kaku, gatau kenapa aku nulisnya gitu😅 tapi semoga ttp suka😍

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang