23 - Malang Datang Menjungkir Balikan

5.9K 1K 227
                                    

Cahaya kekuningan memantul elok pada rimbun dedaunan. Sementara rantingnya bergoyang mengikuti terpa angin ringan. Tanaman-tanaman hijau itu berfotosintesis dengan kegirangan. Kupu-kupu terbang berputar diatas bunga-bunga mekar, seperti sedang mengajak berkenalan, atau mungkin basa-basi sebelum menghisap makanan. Langit pun tampak sumringah meski tanpa awan. Cerah sempurna lukisan Tuhan. Semesta pagi ini seolah ikut bersemangat menyambut hari pertama liburan.

Ratih berdiri diambang pintu tanpa bisa menyembunyikan senyuman. Memandangi sepasang remaja yang baru turun dari Yamaha Alfa tua itu berjalan bersisihan dengan tangan penuh menenteng belanjaan, entah kenapa membuat perasaannya sangat senang. Cara mereka menyusun percakapan lewat perdebatan-perdebatan tidak penting, juga permainan mata diantara keduanya, bagaimana sorot tajam dari si gadis selalu dibalas si laki-laki dengan mata penuh kelembutan, terkadang Ratih sendiri masih suka bingung mengapa Dika dan Sena memilih pertengkaran sebagai perantara menjalin kedekatan. Tapi terlepas dari seberapa anehnya mereka, Kaka dan Nana sungguh pasangan yang menggemaskan. Yah, walaupun sampai saat ini mereka masih belum lebih dari sepasang teman.

“Pagi kalian berdua!” sapa Ratih kemudian menyusul Sena duduk di kursi rotan. Meskipun separuh wajah Dika tertutup slayer, Ratih tetap bisa tahu kalau laki-laki itu tersenyum lebar saat menjawab. Bisa dilihat dari matanya yang melengkung hangat. Sedangkan Sena hanya bergumam, ia sudah sibuk mengecek isi kantung-kantung plastik memastikan tidak ada yang kurang atau ketinggalan.

“Kamu ngojek ya, Dik?” tebak Ratih membuat Dika yang baru meletakkan buah bengkuang di pinggir kursi lantas mengangguk.

“Iya nih, kebetulan penumpang pertama langsung dapat bidadari.” Katanya setelah sempat melorotkan slayer ke leher. Detik selanjutnya sebiji kedondong melayang dan menyasar perut Dika. Jelas itu perbuatan bidadari yang sedang malas ngomel. The judes Nana.

Ratih terkikik diantara ringisan Dika dan ekspresi jengah Sena. Ia bisa bayangkan bagaimana lucunya dua teman sebangku itu saat bekerjasama mencari bahan-bahan untuk bikin rujak di pasar tadi. Dan Ratih yakin sekali pasti banyak ibu-ibu atau pedagang iseng yang menggodai mereka.

Sena memicing pada Dika yang sedang mengembalikan kedondong ke plastik sambil senyum-senyum tidak jelas. Entahlah kenapa dia masih belum beranjak juga padahal tugasnya sudah selesai. “Ngapain masih disini? Sudah sana, balik ke pangkalan!” usir Sena langsung.

“Loh, kamu kan belum bayar, Na?”

Seketika Sena melongo. Agak kaget karena Dika menagih. Niatnya mendatangi Dika ke pangkalan tadi memang bukan kerena berniat cari gratisan. Melainkan agar ada teman yang bisa diajak masuk pasar karena Sena tahu ia pasti akan bingung kalau harus belanja sendirian. Sena kira, Dika tidak akan mengungkit ongkos karena sudah kelewat senang setelah dapat kesempatan berboncengan dan jalan berduaan. Tapi ternyata laki-laki itu masih perhitungan?

“Saya nggak sedang minta uang loh, Na.” Dika angkat suara lagi. Buat Sena, sudah bukan hal aneh mendengar Dika berujar seakan-akan ia dapat membaca isi kepala lawan bicara. “Saya cuma minta dua kata dari kamu, hati-hati.”

Sena memutar bola mata ketika Dika nyengir. Ck! Harusnya aku udah paham! Gadis itu membatin sebal. “Hati-hati.” Datar Sena kemudian. Menuruti supaya Dika cepat pergi.

“Masa begitu?” Dika belum beranjak. Belum merasa puas mendengar nada Sena yang sangat tidak ikhlas. “Tambahin sesuatu dong, biar hati-hatinya jadi manis.”

Dikasih hati minta jantung. Memang benar-benar bikin kesal si Alien itu. Sena menghembus panjang-panjang, berusaha tidak emosi sebab tahu mengomel seperti biasa hanya akan memperpanjang urusan. Dipikir-pikir, dipikir-pikir, sebuah ide melintas tiba-tiba di kepala Sena. Dalam hati ia tersenyum miring. Sedangkan tangannya diam-diam bergerak meraih plastik putih kecil di dekatnya.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang