2 - (Masih) Belum Jadi Punya Saya

7.3K 983 54
                                    

Beberapa gelisah tak bernama. Terasa, namun susah diurai dengan kata. Salah satu dari gelisah yang demikian melingkupi Sena di pagi-pagi buta. Sudah datang sejak ia baru membuka mata. “Aku mandi sekarang aja kali ya?” Disibaknya selimut yang entah kenapa tidak memberi hangat seperti biasa. Dengan langkah terseret, gadis itu beranjak menuju tempat menyegarkan diri.

05:25. Belum setengah enam. Dan sekarang Sena sudah berseragam. Masih kepagian untuk berangkat sekolah. Jadi Sena ke dapur dan merebus mie kuah. Rasa soto kesukaannya.
Ruang tamu yang selalu sepi Sena pilih untuk tempat sarapan. Mau dimana lagi, di kontrakan kecilnya mana ada ruang makan dengan perabot kayu jati khas rumah gedongan.

Kuah gurih yang menghangatkan lidah benar-benar memanjakan indera pengecap. Sena memejam sesaat. Kadang lucu juga. Di tempat berjuluk kota gudeg ini, sebatas makan mie instan sudah bisa jadi definisi bahagianya. Sederhana. Murah.

Pupil mata yang tanpa sengaja menangkap permen kapas merah muda di pojok kursi panjang menghentikan kunyahan Sena. Sesaat ia diam sambil terus menatap makanan manis yang Gani bawakan malam itu, yang jadi terlupakan karena pertengkaran. Malangnya si permen kapas, sampai mengkerut begitu ia masih terbungkus plastik yang udara di dalamnya tampak tak penuh lagi.

Kok daritadi sepi banget ya? Kak Gani belum bangun? Yah, karena si permen kapas tadi, Sena jadi ingat dengan satu orang lagi yang juga tinggal di bersamanya. Orang yang sudah beberapa lama ia diamkan. Entahlah, Sena sendiri tidak tahu kenapa api marah di hatinya tak kunjung reda walaupun Gani sudah berkali-kali meminta maaf.

Meraih gelas kaca di dekat mangkuk, Sena menetralisir rasa mie dengan air putih. Gadis itu berdiri dan beranjak ke kamar Gani. Mau cek saja. Penasaran kenapa daritadi tidak ada suara berisik sama sekali.

Pintu kamar Gani tidak pernah dikunci, Sena memegang kenop lalu mendorong pelan-pelan. Setelah terbuka celah yang cukup lebar, ia melongokkan kepala dan mengedarkan pandangan ke semua penjuru ruangan yang di dindingnya terpasang poster beberapa band barat tersebut. Rapi dan sudah sepi. Sena mundur sembari merapatkan pintu kembali.

“Kayaknya udah berangkat kerja...” gumam Sena. Kalau diingat-ingat, belakangan ini, ia tak hanya jarang bicara dengan Gani, tapi jadi jarang bertatap muka juga. Kakaknya itu sering berangkat kelewat pagi dan pulang kelewat malam.

Soal pulang kelewat malam, Sena pikir alasannya mungkin karena Gani sibuk mengerjakan tugas kuliah di kost-an sahabatnya yang ia ketahui bernama Mas Adji. Sejak pindah ke Jogjakarta, Sena memang sudah beberapa kali bertemu dengan Mas Adji saat laki-laki berkacamata itu main ke rumah. Sena sekedar kenal sih, nggak terlalu dekat. Yang ia tahu, Mas Adji orangnya baik. Dia nggak pernah keberatan meminjamkan laptop dan barang-barangnya yang lain setiap kali Gani butuh.

Tapi tentang berangkat pagi, yang Sena tahu pasti itu tuntutan pekerjaan. Entah tempat kerjanya membuat peraturan jam kerja baru yang lebih pagi atau bagaimana. Susah menerka-nerka karena sejak awal Gani minim sekali membicarakan pekerjaannya.

Hhhh...” Sena menghela panjang. Memutus lamunannya sendiri. Tungkai kaki gadis itu bergerak meninggalkan pijakan. Kembali ke ruang tamu karena ingat soal sarapan yang belum ia selesaikan.

💧💧💧💧

“Assalamualaikum!”

Ibu Pram yang sedang menyapu teras merekahkan senyum untuk pemuda berseragam SMA yang baru menstandarkan motornya itu. “Waalaikumsalam...” ia menjawab salam tadi dengan logat kalem.

Meninggalkan si Jowi di halaman, Dika menghampiri ibu Pram untuk cium tangan. “Budhe, Pram belum berangkat, kan?” tanyanya. Walaupun sebetulnya Dika yakin kalau orang yang ia cari pasti belum berangkat karena motor Astreanya masih anteng di halaman samping.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang