20 - Semesta dan Rencananya Yang Tak Terbatas Angka

8.5K 1K 32
                                    

Pesta yang meriah melelahkan juga. Tanpa mengganti gaun pesta, Bunga merebahkan tubuh di antara kado-kado yang bergeletakan di atas kasurnya. Bibir mungil gadis itu bergerak-gerak menyahuti suara seseorang yang terdengar dari sambungan telepon.

“Mama tega banget! Kenapa tadi nggak datang ke pesta ulang tahun Bunga?” serunya dengan wajah dipenuhi sedih.

Di seberang, Mama Bunga menghela napas menyesal. “Maaf Bunga. Mama bukannya nggak mau datang. Tapi kamu tahu sendiri kan hubungan Mama sama Papamu bagaimana? Dia pasti nggak akan bolehin Mama masuk...”

Bunga diam. Sesaat memejamkan mata sambil meneguk ludah. Perceraian di antara kedua orang tuanya selalu saja terasa menyakitkan untuk di bahas. Karena alasan yang Bunga sendiri tidak tahu pasti, hubungan Mama dan Papanya memang sudah berakhir sejak tiga tahun lalu.

Perebutan hak asuh putri tunggal yang sempat terjadi membuat perseteruan demi perseteruan terus meliputi dua orang dewasa itu. Sampai sekarang, papa Bunga yang akhirnya memenangkan hak asuh sangat membatasi putri kesayangannya untuk berinteraksi dengan sang mantan istri. Takut hak yang sudah mati-matian ia perjuangkan akan terenggut hanya karena kedekatan ibu dan anak yang terlalu kuat.

Bunga?”

Panggilan itu membuat Bunga buru-buru menyeka air yang menggenang di pelupuk matanya. Telepon sedikit dijauhkan agar isak kecil yang gagal ia tahan tidak terdengar. Bunga memang marah dengan takdir yang memecah keluarga kecil bahagianya dulu. Tapi ia juga tidak ingin membuat Mamanya merasa sangat bersalah tentang keadaan yang membatasi wanita itu untuk menjadi sosok ibu yang selalu ada.

“Tapi Bunga tetap mau kado dari Mama...” Bunga merengek manja. Berusaha menunjukkan sikap yang biasa.

Iya sayang, Mama sudah siapkan kok. Senin pulang sekolah kamu mampir saja ke tempat Mama ya?” sahut suara lembut di seberang.

“Oke, Ma!” Bunga mengangguk meskipun mamanya tidak akan bisa melihat. Hari esok—minggu—pasti akan terasa lambat bagi Bunga saking tidak sabarnya dengan hari lusa. Bunga memang selalu harus menunggu saat sang Papa tidak ada di rumah agar bisa bertemu dengan Mamanya di luar jadwal rutin bertemu sebulan sekali.

Telepon tersudahi di hitungan menit ke lima belas. Bunga meletakkan ponselnya asal. Ketimbang membuka kado-kado berukuran super besar, gadis itu sekarang sibuk memandangi kotak persegi kecil pemberian Dika. Jemari Bunga bergerak-gerak tak menentu. Ingin tahu dan ragu bercampur menjadi satu.

Apa isinya—benda yang Dika hadiahkan—tidak masalah. Bunga benar-benar bukan tipe orang kaya yang alergi barang sederhana dan murah. Lagipula, ini Bunga. Setiap pemberian Dika, yang sangat kecil sekalipun, selalu menjadi hal berharga. Hanya saja... Bunga khawatir tentang selipan kata-kata di kado itu. Perasaannya tiba-tiba bilang kalau apa yang ingin Dika bicarakan bukan hanya sekedar tentang permintaan maaf. Ada yang lebih daripada itu...

Rambut hitamnya yang terurai sedikit berantakan di bagian belakang ketika Bunga mengubah posisi menjadi duduk. Agaknya rasa penasaran menang sekarang. Bunga tampak buru-buru merobek kertas pembungkus kado. Ada sebuah toples kaca kecil yang dinding dalamnya tertempel daun mapel kering. Sepucuk surat tertempel dengan bantuan isolasi pada tutup toples.

Selamat ulang tahun, Bunga!

Bukan semoga semua keinginan dikabulkan.
Tapi semoga yang terbaik bisa kamu dapatkan.

(Seumpama daun mapel ada di Jogjakarta, isi kado ini pasti kerajinan daun kering buatan tangan saya sendiri. Tapi daun mapel carinya harus ke negeri orang. Kejauhan. Dan daripada maksa ganti daun mapelnya pakai daun singkong, saya beli saja tempat lilin ini, kebetulan ketemu di toko souvenir. Menurut saya tempat lilin ini cantik sekali. Maaf kalau menurut kamu sebaliknya. Tapi saya tetap berharap kamu mau simpan.)

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang