18 - Legal Mencintai

7.1K 1K 138
                                    

Satu hari Minggu kemarin berakhir cepat seperti Minggu yang sudah-sudah. Rumah berantakan, pakaian dan alat makan kotor, ditambah lagi dengan setrikaan yang sudah numpuk menggunung, membuat Sena sibuk seharian.

Gani ada di rumah sebetulnya, Adji yang antar Gani pulang ketika waktu Jogjakarta menunjukkan pukul sembilan pagi atau setengah jam setelah Sena bangun tidur. Mendapati sang Adik kerepotan, Gani langsung niat bantu-bantu sebab ia takut Sena akan sangat letih karena belum biasa mengerjakan pekerjaan rumah sebanyak itu. Namun Sena bersikeras melarang mengingat belum genap sepuluh hari Gani keluar dari rumah sakit. Alhasil, akhirnya Gani cuma menemani Adji membetulkan genting ruang tamu yang sedikit bergeser supaya tidak lagi sering bocor ketika hujan. Tidak kalah khawatir dengan Sena, Adji pun sekedar mengizinkan Gani membantu memegangi tangga yang ia pakai untuk bolak-balik naik dan turun.

Saking sibuknya, Sena jadi kelupaaan soal jaket dan dompet Dika di gantungan balik pintu kamar. Nggak ngerti juga kenapa Dika anteng-anteng saja walaupun dia pasti sadar kalau dompetnya nihil dari kantung. Padahal bisa saja kan Dika ambil ke rumah Sena langsung, tapi laki-laki itu sama sekali tidak muncul kemarin. Karenanya, hari Senin ini Sena terpaksa bawa dua benda tersebut ke sekolah. Mau dikembalikan agar tidak ketanggungan.

Agar tidak ketanggungan. Alasan Sena memang kedengaran wajar. Kecuali satu hal. Mengenai dirinya yang kebiasaan berangkat siang namun kali ini sudah duduk di kelas saat sekolah masing sangat sepi. Sudah tentu sepi sebab sekarang masih pukul setengah enam pagi.

Dua telapak tangan Sena menempel di atas pahanya, jari telunjuk ia ketuk-ketuk asal entah sudah berapa kali. Ada isolasi bening, gunting dan robekan kertas-kertas kecil di meja yang terus membuat Sena berpikir. Ada apa dengan dirinya? Buat alasan apa sampai mau repot-repot begini? Mengapa peduli? Kenapa jadi merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki kartu SIM yang ia robek sendiri?

Sena pusing. Bingung sekali sampai bertingkah agak absurd dengan berdiri-duduk-berdiri-duduk-berdiri berulang kali. Sena baru berhenti waktu tas yang ia sandarkan asal di kepala kursi merosot jatuh. Sial resleting tas Sena dalam keadaan terbuka sehingga isi di dalamnya langsung tumpah, Sena jadi harus jongkok untuk memunguti alat sekolahnya yang tercecer di lantai.

Tubuh mungil Sena tersembunyi di bawah meja sekarang, di waktu bersamaan, seorang siswa bertopi upacara mengintip dari ambang pintu dan mengira kalau tak ada orang di dalam sehingga ia langsung mindik-mindik masuk, mendekati bangku paling depan milik Ratih lalu meletakkan sebuah novel ke loker.

“Pram?”

Si empunya nama tersentak bukan main oleh panggilan tersebut. Pram berbalik badan refleks dan dua bola matanya hampir saja melompat setelah mendapati Sena tengah mengernyit sambil menenteng tas. “Se... na...?” ekspresi kelabakan Pram menambah kikuk cara bicara gagap itu.

Sena menaruh tas kembali. Tanpa niat bertanya atau sebatas merespon Pram, ia mencoba memahami situasi dengan bantuan logikanya sendiri. Pram, Ratih juga novel tadi. Sena terus menghubungkan ketiganya berusaha menemukan satu benang merah. Sampai kemudian Sena ingat seminggu lalu ia sempat ke perpustakaan mengantar Ratih mencari bacaan, namun sahabatnya tidak jadi pinjam karena novel yang sangat ingin ia baca ternyata tidak ada. Sena juga ingat kalau waktu itu Pram dan Epeng berada disana, sedang menjalankan hukuman merapikan buku-buku di rak sebab mereka tidak mengumpulkan tugas bahasa Indonesia. Dan ternyata, satu dari dua karib Dika itu memperhatikan ekspresi kecewa Ratih, pula memikirkan ekspresi tersebut.

Tapi kenapa mau repot-repot segala? Sena terus mengingat-ingat. Memutar mundur memorinya hingga menemukan sepotong cerita di jam istirahat beberapa bulan lalu. “Pingin sama Ratih ya?” demikian yang spontan Sena tanyakan setelah tanpa sengaja mengangkap raut setengah iri di wajah Pram saat Epeng merangkul pundak Ratih, menyerobot mengajukan diri sebagai partner jualan gadis itu, sehingga Pram jadi harus jualan dengan Sena. Walaupun tahu elakan, “Nggak kok!” yang Pram utarakan adalah bohong, saat itu Sena hanya diam sebab tahu Pram tak ingin membahasnya lebih jauh. Kemudian, Sena dibuat lupa mengenai feeling-nya tentang ‘sesuatu’ yang Pram simpan untuk Ratih sampai pagi ini ia memergoki aksi khas cerita pengagum rahasia yang membuat Sena seketika yakin bahwa feeling-nya benar. Pram suka Ratih. Naksir, jatuh cinta, atau apapun itu sebutannya?

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang