“Aku bilang mau pulang saja. Terus diantar Bu Arum.”
“Aih, syukur. Kukira kamu naik angkot.”
Ratih menggeleng dan tersenyum kecil. Lawan bicaranya—Epeng—terkekeh. Merasa sedikit bodoh karena terlalu khawatir. Padahal tidak mungkin juga Bu Arum membiarkan siswi yang habis kejambretan pulang sendirian. Petugas kesehatan sekolah berpostur anak SMA itu kan tidak tegaan sekali orangnya.
Karena Epeng tidak bicara lagi, Ratih beralih melirik Dika. Saat Ratih dan Epeng sudah duduk di bangku rotan teras, Dika masih saja berdiri sambil memainkan bel sepeda. “Ini semua... Aku nggak tahu bagaimana bisa berterima kasih sama kalian...”
Dika menoleh, merasa dirinya termasuk salah satu dari objek ‘kalian' dalam kalimat Ratih. “Terima kasih cuma formalitas, Rat. Jadi jangan dipikirkan. Kamu nggak perlu terlalu formal dengan sahabat sendiri.” Tenangnya. Dika jelas tahu kalau Ratih sedang membahas sepeda baru yang tak boleh ia tolak.
Sudut-sudut bibir Ratih terangkat semakin tinggi. Seakan sengaja pamer, berniat membuat seluruh dunia iri dengan kentalnya persahabatan yang ia miliki.
Dika beranjak tiga langkah untuk memposisikan diri bersandar pada tiang kayu teras. Mata Dika terpancang ke jalanan depan rumah. Sesekali ditengoknya juga awan-awan mendung diatas langit. Mereka bertambah pekat setiap menit. Laki-laki itu mengusap wajah dengan risau.
Walau sudah tiga kali Epeng memberi tahu jika Pram dan Sena mungkin lama sebab tidak memilih jalan pintas dan sering mampir-mampir beli minum, tetap saja Dika tidak bisa untuk tidak memikirkan kenapa tim kedua yang membawa sepeda Riski belum sampai juga.“Peng—“ harusnya itu jadi pertanyaan Dika yang keempat. Tetapi hitungan urung genap perkara suara ban tergesek rem terdengar disaat bersamaan. Itu Pram. Rambut bagian depannya yang lepek karena keringat memperparah ekspresi frustasi di wajah lelah laki-laki itu.
“Kok kamu sendiri? Nana mana?” tidak mendapati seorang gadis di belakang Pram, sudah tentu membuat Dika heran. Epeng dan Ratih ikut berdiri menghampiri Dika merasa hal tidak beres ini benar-benar perlu disimak.
Pram tidak turun, membiarkan rintik-rintik gerimis menjamah punggungnya, ia bertumpu siku pada stang sepeda dan memegangi kepalanya yang terasa berat. “Sena kabur, terus naik angkot. Angkotnya nggak kekejar sama aku.”
Dika kontan membelalak. “Kok bisa?!”
“Dia marah.”
“Kok bisa marah?!”
“Aku salah bicara...” semuanya diam. Menunggu Pram memberitahu duduk perkara selengkapnya. “Salah bicara tentang Senja...”
Ketika Pram memijit pelipisnya sembari memejam serba salah, Dika melompat tergopoh dari pijakannya. Lalu mulai lari tanpa memberitahu hendak kemana.
💧💧💧💧
Hujannya deras diluaran. Tapi pipi-pipi Sena tak kalah basah dengan tanah pekarangan. Hujannya mereda satu jam kemudian. Tangisan Sena pun berhenti disaat bersamaan. Tetes-tetes air tak terkira yang tadi jatuh menyisakan udara penuh kesejukan. Namun wajah Sena lain keadaan. Kacau, sembab, berantakan.
Posisi tengkurap diatas kasur terasa kurang nyaman. Sena akhirnya berguling merebahkan badan. Lebih baik. Hidungnya sudah tidak terhimpit bantal, jadi Sena lebih leluasa bernapas sekarang.
Tadinya, gadis itu hanya ingin diam bergelung dekapan selimut tipisnya. Hanya ingin melamun menatap langit-langit kamar yang putih kosong. Berharap rasa bosan bisa memancing kantuk dan ia akan ketiduran. Jujur saja, Sena betul-betul merasa butuh alam mimpi untuk sejenak melupakan hal-hal menyakitkan dalam dunia nyatanya. Siapa tahu, dapat bertemu Senja juga disana. Biar Sena bisa langsung mengadu pada sang ‘pacar’ soal Pram yang bikin si gadis kecil kesal sampai mengangis sesengukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovakarta
Teen Fiction[COMPLETED] Lovakarta #1 Julukannya Hujan istimewa. Soalnya, Hujan yang satu ini selalu di damba-damba. 999 dari 1000 hati menyatakan ketertarikan padanya. Seharusnya, cerita ini mudah. Hujan tinggal pilih saja salah satu dari 999 hati yang ada. Te...