6 - 1:1=Skor Cintaku, Melawan Setiamu Pada Masa Lalu

6.9K 947 55
                                    

Gadis itu duduk menyandarkan punggung ke batang kokoh pohon asam jawa. Mata indahnya berpendar mengamati daun-daun kering gugur dari dahannya. Angin sore menerpa dan mengajak daun-daun melayang di udara. Beberapa saat, sebelum akhirnya jatuh juga ke tanah. Entah angin yang lelah atau daun-daun yang menyerah. Yang jelas begitulah akhirnya.

Sena meraih satu daun dari tanah dekat kakinya. Lalu berdiam memandangi si kuning kering yang rapuh sambil mengejeknya. "Payah!" gadis itu kemudian meremas si daun. "Masa langsung menyerah cuma karena angin lelah? Kalau pun angin pergi, harusnya coba bertahan. Percaya saja kalau angin pergi hanya sementara."

Sena membuka kembali telapak tangannya. Si daun masih disana. Namun bentuknya sudah remuk-berbeda. "Harusnya contoh aku. Kasturi yang selalu bertahan supaya cerita indah nggak berakhir begitu saja. Kasturi yang setia menunggu Senjanya."

Kuat-kuat Sena meniup remukan daun dari telapak. Sisa-sisa ia bersihkan dengan menepuk-nepuk tangannya ke paha. Sejenak menghela, lalu diambilnya ponsel dari saku kemeja. Sena sudah punya nomer baru sekarang. Adji yang belikan. Sebagai permintaan maaf katanya. Sekarang tinggal langkah terakhir. Mencoba menghubungi nomor Senja. Nomor yang sudah Sena hafal di luar kepala. Nomor yang membuat gadis itu kalah berdebat dengan Gani semalam.

"Sudah nggak pernah ada e-mail. Sekarang aku punya ponsel buat hubungi kamu lagi. respon ya, Senja..." gumam Sena sebelum kemudian menempelkan ponsel ke telinga. Tarikan napasnya memberat kala menunggu.

Sebuah jawaban terdengar dari seberang. Namun tak ada pekikan senang. Malah, air mata tampak mulai menggenang. Dan berlinang ketika Sena menurunkan ponsel ke pangkuan. Operator terus mengatakan nomer yang ia hubungi tidak aktif, dan itu membuat seluruh harap Sena terhancurkan. Remuk menjadi serpih-serpih memilukan. Seperti wujud daun kering yang tadi ia remas di telapak tangan.
Sekarang, rasanya Sena malu pada daun yang ia ejek tadi.

Kasturi yang tadi sok mencontohi nyatanya tak sekuat itu, nyatanya masih bisa menangis sedih. Kalau sudah begini, barulah mau mengakui kalau memang sangat berat untuk bertahan sendiri. Apalagi pada keadaan ditinggal pergi tanpa mendapat pegangan pasti. Kebingungan dan kehampaan yang keterlaluan menyiksa seringkali membuat kata menyerah punya daya tarik sekuat gravitasi. Untunglah, Kasturi punya sepasang sayap yang masih bisa diandalkan untuk terbang melawan hukum gravitasi. Masih kuat, untuk sekarang ini. Tapi entahlah untuk yang lebih jauh lagi.

"Namamu Senja."
"Tapi Sayang... hatimu bukan senja."
"Bukan hal yang selalu jingga."
"Sayang, hatimu berubah-ubah."
"Wajar 'kan kalau tiba-tiba aku khawatir tentang kabarku disana?"

Di bukit kecil itu, Sena bermonolog sendiri. Tak berharap didengar, dijawab apalagi. Sekedar berharap rindunya sampai. Menyentil hati yang dibawa pemiliknya pergi. Pernah berjanji kembali, namun tak pernah memberi waktu pasti.

💧💧💧💧

"Mas Kaka, ini dari Ibu... katanya buat suguhan..." Dila datang dengan piring berisi kue putu yang kentara baru matang sebab asap harumnya masih mengepul. Ia buru-buru menyerahkan piring tersebut pada Dika sebab tangan kecilnya mulai kepanasan.

"Makasih, ya, Dila..." dengan sayang Dika mengusap puncak kepala Adik kesayangannya. Gerakan tangan itu bikin Dila senang dan merasa hangat sehingga ia langsung tersenyum lebar. Memamerkan gigi-gigi depannya yang putih dan berderet rapi.

Setelah Dila masuk lagi ke dapur, mau membantu ibu-katanya, Dika menyingkirkan beberapa buku dari meja dan meletakkan piring disana. Diliriknya tiga orang lain yang malam ini datang bertamu. Satu gadis dan dua laki-laki. Ratih datang karena memang sedang ada kerja kelompok dengan Dika, sedangkan Pram dan Epeng kebetulan datang sebab minta diajari PR fisika.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang