Selesai Untuk Kembali Memulai

11.4K 1K 159
                                    

Paman Dika sudah bergelut pada bidang meubel sejak awal merantau ke ibukota. Namun meski sekarang produk furniture kayu jatinya sudah mampu menembus pasar mancanegara, ketika bercerita di meja makan tadi, pria itu lebih senang menyebut bisnis yang bertahun-tahun ia kelola itu sebagai usaha kecil-kecilan saja. Sumber mencari nafkah halal untuk lulusan setingkat madrasah tsanawiyah yang cuma tahu cara menggergaji kayu.

Epeng sempat nyeletuk kalau Pakde Arifin—panggilan akrab Paman Dika—cuma terlalu merendah, mana bisa dibilang kecil kalau penghasilannya cukup untuk membangun rumah besar berlantai dua. Lengkap dengan fasilitas mewah dan beberapa mobil kinclong pula. Tapi lagi-lagi Pakde Arifin hanya tergelak, “Yo alhamdulillah, cilik-cilik tapi berkah!” begitu timpalnya dengan logat jawa kental. Kakak dari almarhumah Ibu Dika yang sehari-hari lebih senang memakai sarung itu tetap mengelak diberi julukan orang kaya. Sena sendiri tidak terlalu kaget dengan gaya Pakde Arifin, sepertinya semua keluarga Dika memang tipikal yang kelewat sederhana.

Bersama Ratih, siang ini Sena sedang beres-beres barang dikamar atas yang akan mereka tempati selama beberapa hari di Jakarta. Bibi Dika, Budhe Sari, sempat menengok sebentar dan menawarkan tempat tidur tambahan, namun keduanya kompak mengatakan kalau itu sangat tidak perlu karena ukuran kasur yang ada sudah cukup besar. Kelewat besar malah untuk dua remaja berpostur mungil.

“Kamarmu dulu pasti senyaman ini juga ya, Sen? Luas, ada pendinginnya, televisi...” Ratih duduk bersila diatas kasur, bergabung disamping Sena yang sedang merebahkan tubuh. Sama-sama baru selesai memasukkan baju ke lemari.

“Hm... kira-kira, bedanya, kamarku dulu serba warna biru.”

“Wah, pasti kamu betah deh.”

“Nggak juga sih, Rat. Sepi soalnya. Aku lebih suka main ke rumah Opa sama Oma.”

“Kakek-Nenek kamu?”

“Bukan. Kakek-Neneknya Senja.”

Ruangan mendadak hening. Ratih tidak lagi meneruskan topik yang ia mulai sendiri itu sebab ia bisa melihat dengan jelas kalau air muka Sena perlahan berubah setelah—mungkin—tidak sengaja menyebut nama Senja. “Sepertinya yang lain sedang asyik nonton televisi di bawah, turun yuk Sen, kita gabung sama mereka?” ajak Ratih kemudian, coba menawarkan sesuatu yang mungkin bisa memulihkan suasana hati sahabatnya.

Tapi kali ini Sena menolak diajak berdiri. Ditahannya kedua tangan Ratih sembari menggeleng kecil sehingga sahabatnya paham jika ia masih ingin bicara. “Rat, menurutmu, apa menunggu yang aku pilih ini salah?”

“Sen...” yang ditanya langsung merengek. Merasa serba tidak enak dengan pertanyaan lirih yang tiba-tiba keluar dari bibir Sena.

“Nggak apa-apa...” Sena berusaha meyakinkan dengan mencetak senyum. “Apapun pendapatmu, aku janji nggak akan nangis.”  

Ratih tampak menghela napas panjang-panjang. Yah, karena Sena sudah menjamin, maka Ratih tidak lagi punya alasan untuk menghindar. Beberapa saat gadis itu mengambil kesempatan untuk mencari jawaban terbaik. Yang sekiranya tidak akan menyakiti Sena namun tetap sejujur-jujurnya. “Nggak pernah, Sen. Menunggu itu nggak pernah salah asal kamu sudah pastikan kalau kamu adalah rumahnya. Dan bukan sekedar tempat persinggahannya.”

Ratih menjeda, menggigit bibirnya sendiri sejenak.

“Menunggu Senja bukan kesalahan. Sama sekali bukan asal kamu tahu dengan pasti kalau dia hanya sekedar pergi, dan bukan meninggalkan. Karena dua hal itu berbeda, Sen. Yang pergi akan selalu ingat kembali. Sementara yang meninggalkan, hanya akan memberimu kehilangan.”

Seolah-olah beberapa mili ramuan pembeku tubuh baru disuntikkan padanya, seorang Sena dibuat terdiam sepenuhnya. Hanya otaknya saja yang sibuk berpikir dalam-dalam, mencoba memahami apa yang sejauh ini Ratih lihat namun seolah tersembunyi dari kedua mata sempurnanya. Cukup lama sampai kemudian gadis itu sadar kalau di setiap waktu ia hanya sibuk menjaga perasaan dan merindukan saja. Dan karena itu, ada satu hal penting yang terlewat tanpa sengaja: membedakan.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang