25 - Karena Semesta Adalah Sekutu Cintanya

7.6K 1K 24
                                    

“Huhu... sedih banget! Sekarang perutku nggak dapat asupan cokelat lagi setiap pagi...” begitulah ekspresi dramatis Epeng yang sedang kecewa berat karena lagi-lagi ia tidak menemukan sebatang cokelat di loker meja Dika.

Karena aksi Dika menawarkan diri sebagai pacar ‘berbayar’ pada Bunga waktu itu, memang si gembul lah yang didera rugi kemudian. Bunga jelas sudah malas melanjutkan kebiasaannya setelah dibuat sakit hati.

Pram memutar bola mata. Digeplaknya punggung Epeng dengan cukup keras. “Huh makanan mulu yang dipikirin! Lagian, kamu tuh nggak akan mati cuma gara-gara nggak makan cokelat lagi!”

“Tapi aku kan masih dalam masa pertumbuhan, harus dapat cukup asupan gizi dong!”

“Walah! Badan segede ini masih dalam masa pertumbuhan? Kamu tuh sudah mirip gajah Asia! Memangnya kamu mau tumbuh sampai sebesar apa lagi? Mau saingin gajah Afrika?”

“Ye sewot! Dasar manusia tusuk gigi kurang gizi!”

Sena terkekeh sendiri melihat bagaimana Epeng dan Pram saling memelototi dengan sama-sama duduk berkacak pinggang. Baru juga sampai di kelas, dan pagi-pagi begini Sena sudah dapat tontonan lawak gratis. “Ribut terus, awas jatuh cinta loh!” celetuk Sena bercanda.

Epeng dan Pram langsung menatap gadis yang masih berdiri di samping kiri meja itu, sedetik kemudian, mereka kembali menatap satu sama lain sambil bergidik ngeri. “Amit-amit! Naudzubillah!” teriak keduanya bersamaan. Sena tergelak saat beranjak duduk menempati kursinya karena Pram baru saja berdiri. Yah, setelah bolos sekolah beberapa hari lalu, berita baiknya, Pram dan Epeng memang sudah akur dengan Sena. Lebih dari akur malah, mereka dan si singa betina sudah akrab sekarang.

“Sen, nanti pulang sekolah aku sama Pram mau jenguk Dika, lagi... ikut yuk! Kita ajak Ratih juga!” dengan antusias Epeng mengajak. Pram hanya manggut-manggut membenarkan.

“Eh?” pupil mata Sena bergerak kesana-kemari. Tampak berpikir sebelum menjawab.

Ini sudah hari kedua Dika dirawat di rumah sakit, dan Sena memang belum menjenguk laki-laki yang harus babak belur karena membelanya siang itu. Sebetulnya, dari kemarin Epeng dan Pram juga sudah mengajak, tapi Sena langsung menolak dengan ekspresi yang seolah bilang, “Nanti dia GR lagi!” dan untuk ajakan kedua ini, Sena sendiri tidak paham kenapa hatinya berdebat dan tidak langsung menolak seperti kemarin.

Gadis itu memang tidak akan mau mengaku, tapi nyatanya, ada sebagian hati Sena yang menyimpan ingin. Detik ini juga, Sena tegaskan kalau ingin itu mungkin muncul karena dirinya merasa bersalah. Lalu detik selanjutnya, dengan lucu ia malah bertanya-tanya dalam hati, Kenapa aku ngerasa bersalah? Kan aku nggak minta tolong juga! Si Alien itu aja yang sok pahlawan!

Terus? Inginnya karena apa dong? Sena menggeleng cepat untuk menyingkirkan satu pertanyaan yang tiba-tiba membuat otaknya memikirkan hal-hal tidak masuk akal.

“Lah? Kok malah bengong toh?” tanpa sungkan Epeng menepuk tangan di depan wajah Sena sehingga gadis itu terbangun dari lamunannya.

“Tahu, deh! Kalau ada alasan bagus baru aku jenguk.” Jawab gadis itu akhirnya.

“Alasan bagus?” ulang Pram tidak mengerti.

“Yah, yang sekiranya bisa bikin aku nggak kelihatan datang jenguk karena peduli.”

Pram dan Epeng saling lirik penuh arti mendengar jawaban Sena yang bernada cuek. Dan si usil Pram yang tiba-tiba menemukan kalimat bagus langsung menimpali, “Benci terus, awas jatuh cinta loh!” tawanya langsung menyembur sedetik kemudian. Sekarang satu sama. Epeng ikut tergelak melihat Sena sok bergidik.

💧💧💧💧

“Eh stop! Stop!” Baru saja Ratih dan Sena hendak melangkah keluar kelas, tapi Epeng tiba-tiba muncul dan memblokir jalan dengan tubuh gempal juga rentangan tangannya yang lebar. “Kita mau bantuin kalian jualan dong!” katanya seraya merangkul Pram narsis.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang