24 - Tukar Peran

5.8K 940 136
                                    

Ketika Gani membayar tukang becak untuk jasa antar darinya, Sena berdiri disebelah laki-laki itu dengan setia menunduk. Suasana hatinya sudah cukup gelap, jadi Sena enggan memperparah hal tersebut dengan menatap langit tanpa tepi yang entah kenapa tampak lebih hitam dari biasa dan tanpa satu pun bintang menggelayut disana.

“Sen...” Sena merasakan pundaknya menghangat setelah menerima rangkulan Gani. Karena refleks mengangkat wajah, gadis itu dapat melihat bibir Gani melengkung mencetak senyum tipis yang tampak benar-benar ia usahakan diantara kabut pilu yang gagal disembunyikan oleh mata. Dari samping sena melingkarkan kedua lengan memeluk pinggang Gani, menghargai dukungan dari sang kakak yang jelas-jelas juga tengah berkabung itu.

“Perhatianmu buat Dika tadi...” belum juga tuntas Gani bicara, namun gelengan kepala Sena mau tak mau membuatnya mengalah.

“Kak, Sena cuma...” mengenai kata ‘perhatian’ dalam kalimat Gani, separuh diri Sena sungguh ingin menyanggah dan menegaskan kalau kakaknya sudah salah duga. Hanya saja, sekarang Sena malah kehilangan kata-kata perkara separuh bagian dirinya yang lain berontak tak mau diajak bekerjasama. Separuh bagian itu punya pendapat berbeda dan menolak dipaksa setuju dengan logika Sena yang menurut mereka penuh pura-pura. Sambil mengusap pipinya yang basah, Sena menatap Gani lama. Seolah sedang mengadukan kebingungannya. “Aku, aku cuma...”

“Kamu baik sekali. Dika sangat butuh itu.” bersama senyum teduh yang terkembang, tangan Gani membelai lembut rambut Sena. Gani coba memberitahu adiknya agar tidak perlu merasa aneh. Sebuah bentuk perhatian atau apapun sebutannya, tetap saja tidak ada yang salah tentang memeluk Dika.

Cukup lama adik kakak itu hanya berdiri diam di halaman. Cukup lama Sena termenung, hanyut meresapi sampai seorang tetangga lewat dan mempertanyakan mengapa malam-malam begini masih diluar rumah. Paham bila Sena pasti tidak senang jika ia menjelaskan terlalu banyak, Gani sekedar mengatakan tidak ada apa-apa lalu berterima kasih atas perhatian yang tetangganya tunjukkan. Setelah ibu-ibu berdaster yang baru kembali dari mushola itu beranjak, Gani lalu mengajak Sena masuk. Mahasiswa itu membiarkan Sena memakai kamar mandi lebih dahulu karena ia tahu Sena lebih butuh menyegarkan tubuh.

“Sudah sekalian wudhu, Sen?” Gani baru kembali dari samping rumah dengan membawa setumpuk jemuran yang hampir saja lupa diangkat. Di depan pintu kamar mandi Sena mengangguk. Pakaiannya sejak pagi sudah berganti dengan sweater rajut dan celana longgar bersih. “Kakak mandi dulu sebentar. Habis itu kita shalat isya di kamarmu.” Habis berpesan demikian Gani segera melangkah ke kamarnya untuk ambil handuk dan baju ganti, sedangkan jemuran-jemuran kering tadi sudah ia letakkan asal diatas kursi ruang tamu. Sena hanya menurut tanpa menjawab lagi.

Sena sudah hendak meraih mukenah miliknya dari gantungan disaat matanya tanpa sengaja mendapati pemberian ibu Dika diatas buffet plastik. Mukenah putih dengan bordir bunga-bunga biru muda itu masih rapi terbalut sajadah. Satu set alat shalat itu belum pernah Sena pakai lagi setelah diberikan Rohmah sebagai kado ulang tahun susulan. Bukan tidak mau pakai, tapi Sena memang ingin menjaganya agar tetap bagus sebab ia berniat mengkhususkan mukenah dan sajadah tersebut untuk shalat-shalat tertentu seperti tarawih dan shalat Ied saja.

“Pokoknya kamu harus lebih sering kesini yo, Nduk. Temenin Kaka.”

Sebuah pesan yang Rohmah katakan tujuh hari lalu itu terngiang kembali saat Sena memasang atasan mukenah pada tubuhnya. Air mata Sena meleleh seketika. Sungguh. Demi apapun Sena tidak mengira jika pesan tersebut ternyata bukan sekedar basa-basi saja. Melainkan permintaan terakhir ibu Dika. Wanita itu sudah meminta tolong padanya agar tak pernah membiarkan Dika merasa sendiri. Sena semakin tergugu. Malam ini, ia akhirnya tahu.

“Sen, habis ini Kakak sama Mas Adji bakal nginap di rumah Dika.” laki-laki bersarung masuk tanpa mengetuk dan bicara sambil memasang kopyah keatas kepala. “Kamu nggak apa-apa kan sendirian di rumah?” Gani yang baru akan menggelar sajadahnya dibuat tergopoh saat menyadari sang adik menangis lagi. Namun, belum juga sempat Gani bertanya khawatir, suara parau Sena sudah mendahului.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang