23 - Perih Yang Berarti

7.8K 1K 49
                                    

Mawar dan Dahlia membiarkan Bunga melangkah keluar kelas tanpa membuntutinya seperti biasa. Raut kecewa tidak dapat mereka sembunyikan melihat bagaimana Bunga bisa bertindak begitu jauh hanya karena perasaannya kepada Dika. Ah, mungkin tidak cocok disebut perasaan lagi, tapi sudah menjadi obsesi.

Tentu saja Mawar dan Dahlia punya alasan kuat soal pendapat mereka itu. Semalam, Eva tiba-tiba datang ke rumah Bunga dan menganggu acara belajar bersama dengan cerita penuh ketakutannya tentang aksi pembotakan yang gagal tuntas. Gadis bermata biru itu juga menegaskan kalau dirinya tidak mau lagi dipaksa untuk melakukan perbuatan-perbuatan diluar batas—dalam hal mengintimidasi Sena—demi mewujudkan ambisi Bunga untuk membuat Sena pindah sekolah.

Mawar dan Dahlia jelas sangat terkejut mendengar semua rencana itu. lalu, saat Bunga hanya menunjukkan sikap acuh saat dinasihati, disitulah Mawar dan Dahlia merasa sudah benar-benar kehilangan sosok seorang sahabat yang manis dan baik.

Sedangkan, di luar kelas, ubin-ubin putih menatap langkah Bunga yang mantap menuju mading sekolah. Beberapa siswa-siswi yang masih menggendong ransel—baru datang—menyapa gadis itu sesekali. Dan hanya dibalas dengan senyuman singkat juga sebuah anggukan kecil.

Puisi-puisi karya anak kelas 2 memenuhi sebagian besar luas mading. Bunga tak berpikir panjang untuk menyingkirkan beberapa kertas puisi tersebut dan menggantinya dengan foto-foto yang ia bawa. Foto Sena. Potretnya sama seperti yang ia berikan pada Eva dua hari lalu.

Bunga membalikkan tubuh dan tampak senang melihat banyak orang mulai berkerumun. Mereka tampak memandang penasaran ke arah mading. “Padahal sebetulnya hidup susah, tapi di sekolah berlagak sok kaya cuma karena pingin populer. Sedih ya, ternyata masih ada yang begitu...” kata Bunga dengan nada iba yang dibuat-buat.

Semua yang mendengarnya begitu terkejut. Siswi-siswi menyeruak ke depan untuk melihat foto Sena lebih jelas sambil berbisik dengan teman. Beberapa siswa yang penasaran pun tak ingin ketinggalan.

Menarik diri dari keramaian, Bunga berjalan angkuh mendekati gadis berpotongan rambut baru yang hanya berdiri dengan kedua tangannya terkepal kuat di sisi-sisi tubuh. Mata Sena yang berkaca-kaca saat menatap ke arah mading justru memancing sudut-sudut bibir Bunga tertarik ke atas. Bunga tampak puas, sempat juga tertawa tingkat walaupun tidak terdengar terlalu jelas.

“Kamu hadir dan kasih sakit buatku. Jadi sekarang giliranku buat kasih sakit yang sama ke kamu. Supaya semua ini adil.” Rambut Sena yang terurai sebahu dengan potongan yang sudah rapi tidak dapat menahan bisikan Bunga untuk mencapai daun telinganya.

Sena mendongak sejenak untuk mengedipkan matanya yang terasa sangat panas dan perih berkali-kali. Gadis itu coba menahan diri untuk tidak terlalu terlihat lemah dengan membiarkan air matanya jatuh di hadapan Bunga. “Ini nggak adil. Sejak awal, aku nggak pernah bermaksud kasih rasa sakit itu. Sedangkan kamu? Kamu sengaja!” bantah Sena. Berusaha terdengar tegas meskipun suaranya tercekat.

Lagi-lagi Bunga tertawa samar. “Tapi setahuku, semuanya adil dalam cinta.” diktenya. “Dan aku punya semuanya buat nyingkirin orang miskin seperti kamu. Buat... memenangkan ini.” gadis itu merasa menang melihat bagaimana bibir Sena terkatup rapat sekarang.

“Bunga ayo kita pacaran!”

Foto-foto Sena di mading tidak lagi disorot mata siapapun sebab semua orang terpaku pada laki-laki yang baru saja berteriak lantang. Bunga yang tadinya memunggungi si pemilik suara pun otomatis memutar tubuh. Gadis itu merasa seakan baru saja tersengat listrik bertegangan rendah hanya karena sebuah kalimat ajakan tadi.

Dika memasang wajah tenang khas ketika berjalan untuk memangkas jaraknya dengan Bunga. Tanpa melayangkan mata pada gadis di belakang punggung Bunga, Dika bersimpuh dan meraih kedua tangan Bunga untuk digenggam. Kasak-kusuk ramai mengiringi perasaan terkejut, bingung, dan salah tingkah yang menyerang Bunga karena senyuman dan ajakan Dika. “Ayo pacaran. Kamu dan saya. Seperti yang kamu mau selama ini?”

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang