"Kalau jalan yang bener, dong! Punya mata dipakai! Lo bikin seragam gue kotor tahu nggak?!"
"Maaf, aku tadi betulan nggak sengaja. B-biar aku bersihkan seragam kamu ya..."
"Alah nggak usah! Sapu tangan menjijikkan lo itu bikin seragam gue makin kotor!"
Diantara keramaian Sena meneguk ludah saat menonton teman sekelasnya yang bernama Ratih dicaci maki habis-habisan oleh Eva. Perkara tidak sengaja menabrak Eva sehingga es sirup yang dibawanya membasahi seragam putih gadis itu, aktivitas rutin Ratih menjajakan kue-kue basah mengelilingi sekolah tersudahi terlalu cepat sebab ia harus menerima amukan Eva, sekaligus, menjadi bahan tontonan gratis untuk banyak pasang mata di jam istirahat ini.
Walaupun baru tiga hari menjadi murid di sekolah barunya, Sena memang sudah mengetahui siapa Eva. Tidak banyak, sih, hanya hal-hal umum seperti Eva yang merupakan anak 3 IPS2, Eva yang kemana-mana selalu dibuntuti dua temannya, Eva yang modis, dan Eva yang terkenal sebagai gadis kaya anak salah satu donatur sekolah yang selalu merasa dirinya adalah penguasa. Semua informasi itu Sena dapatkan dari hobinya nongkrong di dalam toilet sekolah waktu jam istirahat, para penggosip yang mampir ke toilet sering sekali membicarakan aksi-aksi berbau penindasan, atau sejenisnya yang Eva dan genk-nya lakukan. Juga dari pengamatan mata seperti sekarang ini.
"Emang dasar ya, orang miskin dimana-mana bisanya bikin masalah saja, nyusahin!" mata Eva berkilat tajam, warna biru terang di mata gadis itu menunjukkan darah percampuran Indonesia-Australia miliknya.
Ratih hanya bisa menundukkan kepala ketika Eva membanting keranjang dagangannya. Kue-kue basahnya baru laku beberapa tadi, dan sekarang, sisanya berhamburan ke lantai. Menjadi makanan kotor yang sudah tidak bisa dijual lagi. Ratih tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.
"Cih! Muak banget gue lihat orang-orang sejenis lo!" dengan kasar Eva membenturkan bahu kanannya dengan bahu kiri Ratih. Gadis itu dan kedua temannya langsung pergi begitu saja dengan angkuhnya.
Kerumunan berpencar begitu saja, seolah buta tentang Ratih yang terisak sambil mengambili satu per satu dagangannya dari lantai. Entah karena tidak berani menolong sebab takut membahayakan diri sendiri, atau memang terlalu egois untuk sekedar peduli.
Sena sempat berhenti ketika ia melewati Ratih. Melihat mata berair nan pilu itu membuat langkah Sena terasa berat, seakan tertahan oleh hal tak kasat mata. Dua sisi manusia Sena berdebat, namun sisi hitam lebih pekat. Kepedulian dalam hati terkecil urung ditunaikan. Yang Sena lakukan justru mengejar Eva dan teman-temannya.
Nggak! Di sekolah ini, aku nggak boleh sampai berada di posisi Ratih begitu! Aku... Aku nggak mau lagi...
💧💧💧💧
Di belakang sekolah, ada sebuah pohon jambu. Pohonnya tidak terlalu tinggi. Tapi tidak pernah bosan berbuah. Hari ini, diantara daun-daunnya yang hijau ada banyak buah masak berwarna kekuningan. Dan diantara batangnya yang cukup kuat, ada seorang Pram yang sedang mengatur pijakan.
"Pram! Diatasmu, sebelah kanan sedikit, ambil yang itu saja!" Epeng berteriak dari bawah. Di lekukan siku kiri ia menggendong jambu-jambu hasil petikan Pram.
"Ck! Kamu tuh bisanya merintah saja, Peng!" keluh Pram, namun tak ayal menuruti kata-kata sahabatnya juga.
Seenaknya Epeng mencomot salah satu jambu dan memakannya lebih dulu, "Hei, kalau aku ikut naik, khawatirnya pohon jambu itu bakal rubuh. Seumpama betulan rubuh, pas nggak ada uang buat jajan di kantin begini, kita mau petik apa buat ganjal perut? Memangnya mau nyemil daun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovakarta
Teen Fiction[COMPLETED] Lovakarta #1 Julukannya Hujan istimewa. Soalnya, Hujan yang satu ini selalu di damba-damba. 999 dari 1000 hati menyatakan ketertarikan padanya. Seharusnya, cerita ini mudah. Hujan tinggal pilih saja salah satu dari 999 hati yang ada. Te...