24 - Menderas Hanya Untukmu

7K 995 26
                                    

Jari-jari sebuah sisir cokelat bergerak dari atas ke bawah mendekap helaian rambut hitam lurus yang sebetulnya sama sekali tidak kusut. Sena menatap pantulan dirinya di cermin dengan kernyitan-kernyitan lucu sesekali muncul di kening. Sudah seminggu dengan potongan rambut pendek sebahu, tapi Sena masih merasa tidak percaya diri dengan penampilan barunya itu. Kelihatan aneh, tidak seperti dirinya. Begitu pikir gadis yang sehari-hari selalu tampil dengan gaya cepolan cuek.

“Adik kakak cantik, kok. Kelihatan lebih manis.” Gani tiba-tiba saja sudah berdiri menyandar di kusen pintu. Sena tetap bisa melihat sang Kakak tengah tersenyum meskipun tanpa menoleh. Bayangan Gani sudah ikut meramaikan cermin sekarang.

Tentang penindasan yang ia terima, tentu saja Sena tidak memberitahu Gani. Setelah perbuatan Eva di belakang gudang, Sena langsung mampir ke tukang potong rambut di tepi jalan untuk merapikan potongan rambutnya. Jadi saat malamnya Gani pulang kuliah, dan tanya soal rambut, Sena hanya bilang ia gerah dengan rambut panjang dan ingin mencoba tampil berbeda. Tanpa ada curiga, Gani menerima penjelasan itu begitu saja. Menurutnya memang wajar kalau remaja seusia Sena mulai serius memperhatikan penampilan.

“Ayo sarapan, Dek? Kakak masak nasi goreng...” tawar Gani yang masih setia dipijakannya.

Sena tidak menjawab. Ia meninggalkan kursi lalu segera meraih tas dari atas kasur. Dengan sikap yang seakan tidak bisa melihat keberadaan Gani, gadis itu melewati kakaknya begitu saja. Tanpa mau peduli tentang nasib nasi goreng buatan Gani, juga tanpa pamit, Sena meninggalkan rumah untuk berangkat ke sekolah.

Sementara Gani hanya tersenyum getir. Semua usaha meminta maafnya memang belum ada yang berhasil melunakkan kemarahan Sena sampai saat ini. “Aku harus lebih kerja keras biar bisa beliin ponsel baru buat Sena.” gumam Gani. Dibayangkannya senyuman lebar Sena saat disodori sebuah ponsel baru untuk mengalihkan lelah yang belakangan ini terasa sangat menggerogoti tubuh.

💧💧💧💧

“Sena, kamu yakin mau bantuin aku jualan?” tanya Ratih pada gadis yang berdiri di depan mejanya. Sedangkan tangan gadis itu sibuk memindahkan sebagian dagangan dari keranjang dagangnya yang biasa ke sebuah nampan plastik putih. Benda itu memang sengaja Ratih bawa hari ini.

“Yakinlah!” balas Sena mantap. Tapi caranya menghela napas berat dua detik kemudian, cukup untuk membuat Ratih sadar kalau sebetulnya—entah sedikit atau banyak—Sena masih memikirkan gengsi.

Ratih diam sembari meneruskan aktivitasnya. Sesekali ia melirik Sena yang juga sedang sibuk menata kue-kue basah agar tampak rapi berjejer di atas nampan sebelum membawanya berkeliling sebentar lagi. Ratih tahu, Sena mau membantu begini sebab merasa tidak enak padanya. Tiga hari lalu, Ratih melunasi hutang Sena pada Eva dengan menambahi  kekurangan dari jumlah uang milik Sena yang gadis itu tinggalkan berhamburan di belakang gudang.

Ceritanya, karena tidak berani menemui gank Eva sendirian, Ratih diantar Pram dan Epeng. Sebelum kembali ke kelas, Ratih bilang pada Epeng dan Pram untuk merahasiakan pelunasan hutang itu dari Sena. Tapi besoknya, Epeng seolah amnesia dan dengan santai bercerita pada Sena langsung. Jelas Sena merasa sangat tidak enak setelah tahu kalau Ratih yang keadaan ekonominya juga sangat pas-pasan mau bersukarela memakai tabungan sendiri untuk membebaskannya dari urusan dengan gank Eva. Dan kemarin, gadis memohon untuk diizinkan membantu berjualan selama belum bisa mengganti uang tabungan Ratih.

“Aku kan sudah bilang Sen, soal uang tabungan itu, aku masih ada sisa kok. Jadi jangan terlalu dipikirin gimana buat gantinya. Pelan-pelan saja. Kamu juga nggak perlu sampai bantuin aku jualan begini. Nanti kamu malu lagi...”

Satu kalimat terakhir Ratih ucapkan dengan sangat lirih. Sena yang masih bisa mendengarnya menghentikan gerakan tangan. dibalasnya tatapan Ratih dengan melebarkan senyuman. “Sebetulnya, ya, Rat, aku capek terus-terusan nurutin gengsi.” Tawa pelan menjeda kalimat Sena. “Dan tujuan utamaku ikut kamu jualan begini tuh, supaya bisa belajar jadi orang yang nggak gampang kalah sama malu dan gengsi selama yang dilakukan adalah hal baik.”

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang