19 "Siapa Yang Khawatir?"

458 11 0
                                    

Bell tanda masuk jam pelajaran pertama berbunyi sangat nyaring, seluruh siswa mulai berbondong-bondong berlarian kelapangan upacara karena sebentar lagi upacara hari senin akan dimulai.
     
Rania menengok kekiri dan kanan sebelum melangkah menuju lapangan mencoba mencari sesuatu yang sepertinya ada yang kurang, entah apa tapi Rania yakin jika hari ini ada sesuatu yang hilang. Yup, Ari. Ari tidak ada didalam kelas dan bangku miliknya pun kosong, tidak ada tas Ari disana.
     
Rania mencoba berfikir positif, mungkin saja Ari datang terlambat hari ini. Rania mencoba mengabaikan pikirannya tentang Ari dan segera mengikuti langkah temannya menuju lapangan untuk mengikuti upacara hari senin seperti biasanya.
     
Upaca berjalan begitu khidmat, semua siswa-siswi mengikuti upacara dengan cukup baik meskipun masih saja ada siswi yang ngobrol saat upacara berlangsung, tapi tidak banyak sehingga upacara hari ini cukup tenang dari pada upacara-upacara sebelumnya karena kebetulan pembina upacaranya adalah kepala sekolah.
     
“Ari kemana?” pikir Rania bingung saat kembali sekelasnya setelah upacara sudah selesai dan mendapati Ari tak kunjung muncul di hadapannya . “Apa Ari sakit ya? Tapi masa iya sih Ari sakit?” batin Rania terus bertanya mencari tahu keberadaan Ari, bahkan tidak ada surat yang masuk atau diterima oleh absensi kelas.
      
“Kalo sakit pasti ngirim surat, masa sih dia bolos sekolah” pikiran Rania semakin tidak karuan. Rania melirik sebuah paper bag yang berisi jaket Ari di sebelah bangkunya. hari ini Rania berniat mengembalikan jaket milik Ari yang belum sempat Rania kembalikan saat kemarin malam ia kehujanan bersama Ari.
     
Rania melirik ke arah Tomi, disana Tomi hanya duduk sendiri karena teman sebangkunya sepertinya tidak akan masuk hari ini.
     
“Tomi” sapa Rania memberanikan diri.
     
“Iya” Tomi menyahut.
     
Rania menarik nafas panjang sebelum bertanya pada Tomi. “Ari kemana?” tanya Rania tho the point berharap Tomi tahu keberadaan Ari saat ini, karena Tomi adalah sahabat Ari dan harusnya Tomi tahu segalanya tentang Ari termasuk ketidak hadiran Ari saat ini.
     
Tomi tidak langsung menjawab melainkan mengangkat sebelah alisnya menatap Rania heran kemudian tertawa renyah. “Cie......nyariin Ari, kangen ya” ujar Tomi iseng membuat Rania kesal.
     
“Siapa yang yang nyariin Ari?” tanya Rizal pura-pura tidak tahu mencoba menggoda Rania.
      
“Ya istrinya lah” ujar Tomi lagi asal kemudian menutup mulutnya pura-pura merasa salah ngomong. “Eh maksud gue wakil ketua kelas” Beberapa siswi diruangan kelas itu mulai tertawa terbahak melihat ekspresi Rania yang mulai tidak bersahabat.
      
“Gila si Tomi” batin Rania kesal. “Aku serius” ujar Rania sedikit membentak, tapi mampu membuat teman-teman kelasnya hening tanpa suara. Sorotan mata Rania mulai tajam menatap mata Tomi kuat-kuat, saat ini Rania sedang tidak mood diajak becanda.
      
Tomi terdiam sesaat merasa bersalah karena telah mempermalukan Rania dihadapan teman-temannya. “Gue gak tau Ari kemana” ujar Tomi perlahan merasa tidak enak hati pada Rania dan sekarang jawabannya pun semakin membuat Rania kecewa.
      
“Euh....” Rania menghela nafas panjang memalingkan wajahnya dari Tomi mencoba mengontrol kembali emosinya.
      
Virna dan Andien yang sedari tadi disamping Rania menatap Rania heran, tidak biasanya Rania seperti ini. Wajah Rania terlihat begitu khawatir, sebenarnya Virna ingin bertanya tapi diurungkan niatnya karena mood Rania saat ini benar-benar kacau apalagi setelah Tomi mempermalukannya.
     
“Kamu baik-baik aja?” tanya Andien pelan agar tidak membuat Rania semakin kesal, setidaknya Andien tidak bertanya apa yang terjadi pada Rania saat ini yang mungkin saja akan semakin membuat Rania kesal.
      
Rania menganggukan kepalanya memberikan kode pada sahabatnya bahwa ia baik-baik saja.

*****
     
Tok...tok....
     
Rania mengetuk sebuah pintu rumah megah  dihadapannya. Rumah ini terlihat begitu nyaman, meskipun berarsitektur sederhana, namun rumah berlantai dua dengan cat putih yang mendominasi itu terlihat menawan dan enak dipandang mata.
     
Ketukan pertamanya tidak membuahkan hasil tidak ada respon dari penghuni rumah megah itu.
      
Tok....tok....
      
Rania mengetuk kembali pintu rumah megah itu berharap ada seseorang yang membukanya.
     
Tidak berselang lama seseorang membuka pintu dari dalam.
     
“Assalamu'alaikum.....” ujar salam Rania antusias pada wanita paruh baya dihadapannya.
     
“Wa”alaikum salam” sahut wanita paruh baya itu dengan sedikit senyum tergores di bibirnya. “Adek siapa ya?” tanyanya kemudian mencari tahu.
     
“Saya Rania tente, temannya Ari. Ari nya ada, tante?” tanya Rania sopan. Sebelumnya Rania sempat meminta alamat rumah Ari pada Tomi, Rania ingin mengetahui keadaan Ari saat ini dan memastikan jika Ari baik-baik saja.
     
Seketika senyum wanita paruh baya itu semakin mengembang. “Oh, pasti kamu kawannya Ari, mau cari Ari?” ujarnya kembali bertanya untuk memastikan. Sepertinya wanita itu adalah ibunya Ari karena sekilas muka keduanya mirip. “Pasti mau jenguk Ari ya” lanjut wanita paruh baya itu menebak membuat Rania membulatkan matanya kaget.
     
“Jenguk? Emangnya Ari sakit tante?” tanya Rania sedikit khawatir.
     
“Lho kamu gak tahu? Ya udah, mending sekarang kamu masuk aja, lihat langsung keadaan Ari” pinta mama Ari  yang bernama Tia itu sembari menarik lengan Rania dan membawa Rania masuk ke rumahnya. Dugaan Rania benar Ari pasti tengah sakit hingga tidak bisa masuk sekolah.
     
Wanita paruh baya itu masih menggenggam tangan Rania meski keduanya sudah masuk dan berada area ruang tamu.
     
“Ari sakit apa tante?” tanya Rania penasaran.
     
“Sakit demam, kemarin malam dia pulang kehujanan, terus langsung flu, paginya suhu badannya panas” tutur Tia menjelaskan keadaan penyebab putranya sakit.
     
Seketika pikiran Rania melayang pada saat kejadian dimana ia dan Ari kehujanan, sebelumnya mereka pulang saat keadaan gerimis tapi saat ditengah perjalanan hujan kembali turun sangat deras hingga membuat keduanya basah kuyup. “Kenapa tadi gak ngirim surat tante?” tanya Rania lagi kepo, karena seharusnya tadi Ari mengirim surat ke sekolah jika ia sakit.
     
“Iya, tante gak sempet bikin, sialnya Ari bilang hari ini mau sekolah, eh ternyata gak bisa, dia masih belum sehat, tapi tante udah telpon wali kelas Ari kok”. Jelas Tia dibalas anggukan kepala Rania.
     
“Ari sedang tidur?” Tanya Rania pada Tia sembari keduanya menaiki anak tangga menunju lantai dua tempat keberadaan kamar Ari.
     
“enggak, dia tidak sedang tidur kok” jawab Tia.
     
Setelah sampai di depan kamar Ari, Tia segera membuka pintu kamar putra nya tanpa mengetuk terlebih dahulu. “Ari, ada kawan kamu datang” ujar Tia setelah membuka lebar pintu kamar Ari.
     
Dari atas ranjang kamarnya, Ari tengah berbaring bersama selimut tebal yang menutupi tubuhnya, wajahnya terlihat sangat pucat, dan kantung matanya menghitam.
     
“Rania” ujar Ari kaget tidak percaya wanita pujaannya saat ini tengah berada dihadapannya. Ari segera bangkit dari posisi tidurnya dan menggantinya dengan posisi duduk kemudian Ari melempar senyum ramah pada Rania mencoba menunjukan pada Rania bahwa dirinya baik-baik saja.
      
“Hai apa kabar?” tanya Rania canggung namun tetap mencoba bersikap seramah mungkin.
      
Ari hanya menjawab lewat senyuman.
      
Rania mulai mendekat ke posisi Ari, memandang lekat wajah Ari yang pucat. Kemudian Rania mendudukan pantatnya diatas ranjang Ari. Rania mengangkat tangan kanannya perlahan mencoba menyentuh kening Ari.
      
“Eh, mau ngapain?” ujar Ari panik diiringi mulai tidak teraturnya detak jantung Ari. “Mengapa jantung gue demo gini sih” batin Ari memaki dirinya sendiri dalam hati.
      
“Udah diem” sahut Rania sembari membulatkan matanya. Tia yang sedari tadi berada diambang pintu kamar putranya hanya tersenyum melihat tingkah laku kedua anak remaja dihadapan nya.
      
“Kok masih panas tante? Kan sakitnya udah dari kemarin” tanya Rania heran setelah berhasil menyentuh kening Ari dengan punggung tangannya.
      
“Iya, sebenarnya kemarin sore udah mulai turun panasnya, eh pagi ya malah naik lagi panasnya” tutur Tia menjelaskan keadaan putra nya. “Mangkannya Ari gak jadi sekolah hari ini”. Lanjut Tia.
      
“Udah diperiksa ke dokter?” tanya Rania lagi.
     
Ucapan Rania membuat Ari bergidik. Ari benci kata dokter dan segalanya yang berkaitan dengan medis.
      
“Enggak, Ari itu susah banget kalau diajak kedokter soalnya dia takut jarum suntik, dia bisa ngamuk kalau tante maksa dia ke dokter” tutur Tia sembari tertawa kecil yang mampu membuat Ari malu, wajah Ari mulai memerah, ia takut jika Rania sampai berfikir dirinya cemen.
      
“Dasar cemen” yup, dugaan Ari benar, Rania mengatakan dirinya cemen. Ari semakin malu dan memalingkan pandangannya agar Rania tidak melihat ekspresinya.
      
“Ya udah, tante permisi dulu, nak Rania mau minum apa?” tanya Tia menawarkan minuman.
      
“Oh gak usah tante, terim.....”
      
“Gak-gak-gak, mah Rania harus minum” samber Ari memotong ucapan Rania. Rania mengangkat kedua alisnya heran sedangkan mama Ari hanya tersenyum melihat tingkah putranya.
      
“Baiklah” singkat Tia sembari berlalu meninggalkan Rania dan putranya.
      
Rania menunjukan paper bag yang sedari pagi ia bawa ke sekolah dan menyerahkannya pada Ari. “Sebenarnya aku kesini mau ngembaliin jaket kamu, sekalian sih cari tau kenapa kamu gak masuk sekolah, eh ternyata kamu sakit, jadi sekalian aku jenguk kamu” tutur Rania menjelaskan maksud kedatangannya menemui Ari. “maaf gak bawa apa-apa” Sambung Rania merasa tidak enak.
      
“Gak pa-pa, kamu datang aja aku udah seneng banget, makasih ya” ujar Ari senang. Ari tidak peduli apapun alasan yang membuat Rania harus menemuinya yang jelas kedatangan Rania membuat Ari bahagia.
      
“Jadi kamu sakit karena kehujanan? Cemen banget sih, aku juga kehujanan, tapi sehat-sehat aja” ucap Rania sembari tersenyum meledek.
      
“Biasanya gak sakit, kebetulan aja lagi apes” ujar Ari asal membela dirinya.
      
“Kasihan” Celetuk Rania dengan ekspresi memelas lalu mengembangkan senyumnya menatap Ari.
      
Ari menatap lekat wajah Rania dengan penuh kekaguman, wajah yang sedari dulu selalu melintas dipikirkannya. “Kamu khawatir ya?” tanya Ari penuh yakin dengan mata berbinar.
      
Rania membulatkan bola matanya mendengar ucapan Ari yang pe-de maksimal. “Siapa yang khawatir?” ujar Rania balik tanya dengan ekspresi tidak bersahabat.
      
“Kamu” singkat Ari dengan ekspresi penuh percaya diri seranya mengangkat kedua alisnya. Sebenarnya Ari hanya becanda, tapi ia akan sangat senang bila ucapannya ternyata benar.
      
“Ngapain juga aku ngekhawatirin kamu, gak penting” ucap Rania menyanggah.
     
“Padahal aku berharap lho, kalau kamu khawatir sama aku” ujar ari memelas pura-pura sedih mendengarkan ucapan Rania.
     
“Jangan banyak mimpi” Ujar Rania ketus sembari melemparkan pandangan dari wajah Ari, Ari terkekeh melihat ekspresi Rania.
     
Pembicaraan Rania dan Ari terhenti saat Keduanya terdiam seketika melayang dengan pikiran masing-masing, suasana kamar mulai hening tidak ada suara yang terdengar kecuali dentuman jam beker yang menemani keheningan. Kedua remaja itu terduduk kaku tanpa bersuara, tidak ada yang berani memulai kembali pembicaraan karena keduanya telah kehabisan ide untuk melanjutkan perbincangan.
     
“Permisi” ujar seorang wanita tua mengagetkan lamunan Ari dan Rania. Wanita tua itu perlahan masuk ke kamar Ari yang memang tidak ditutup, mama Ari sengaja membiarkan pintu kamar putranya terbuka karena takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak pada putranya dan Rania, meskipun kemungkinan itu sangat kecil karena ia sangat percaya pada putranya dan Ari bukanlah sosok yang berani berbuat macem-macem. “Ini minumannya non” sambungnya sembari menyerahkan segelas jus jeruk kepada Rania. Rupanya wanita tua itu adalah pembantu rumah tangga keluarga Ari, terlihat jelas dari caranya bersikap dan panggilan “non” pada Rania.
      
Rania meraih minuman dari tangan pembantu rumah tangga itu sembari melemparkan senyum ramah “terima kasih”.
      
Rania meneguk minuman itu setelah pembantu rumah tangga keluarga Ari telah berlalu meninggalkannya bersama Ari.
      
Rania meletakan gelas minumannya pada nakas dekat kasur Ari setelah selesai meneguk setengah jus itu. Rania tersenyum melihat sebuah frame fhoto yang berisi foto seorang bocah laki-lagi bertubuh gempal yang tengah memegang ukulele seakan-akan sedang memainkannya, bocah kecil itu terlihat sangat menggemaskan.
     
“Foto kamu?” tanya Rania memastikan.
     
Ari menganggukan kepalanya menunjukan kebenaran ucapan Rania. “kenapa? Jangan bilang kamu mau ngeledek aku gendut” ujar Ari sedikit ketus menduga Rania akan meledeknya karena foto masa kecilnya.
     
“Tadinya sih gitu, tapi gak jadi deh, takut diterkam harimau, eh bukan harimau, tapi kelinci” ucap Rania meledek, ucapan mama Ari Yang mengatakan Ari takut jarum suntik masih terngiang dikepala Rania hingga ia sampai menganggap Ari tak se-gentle dugaannya.
     
“Udah ah, bukannya ngehibur yang sakit malah bikin tambah sakit” celetuk Ari kesal namun justru disambut gelak tawa Rania yang lumayan kencang.
      
Ari memalingkan wajahnya menghindari tatapan Rania, Ari tidak tahan untuk tidak tersenyum melihat Rania dan seketika Ari mencoba menyembunyikan goresan senyum bahagianya dari Rania. Ari sangat bahagia dengan hari ini, dia tidak peduli Rania terus mengejeknya yang penting Rania ada disampingnya. Melihat senyuman Rania membuat membuat Ari lupa jika saat ini dirinya tengah sakit.
      
Dalam hati Ari menjerit “hore” dan rasa syukur tak hentinya terucap dari hati Ari.

*****

Stay Friends [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang