Di studio rumah Jira. 2 orang itu sudah kembali bertemu dengan keadaan yang sangat sunyi. Jira sibuk dengan latihan pianonya sedangkan Jihoon tidak membuka suara dan hanya memperhatikan permainan Jira.
Kejadian merusak jantung Jira kemarin tidak membuat Jira kembali mengulangi debarannya itu sekarang. Terutama ketika dia mendengar cerita asli dari supir yang harusnya menjemputnya kemarin. Sambil menggerakan jari - jarinya di atas tuts piano, pikirannya tidak sedikit pun teralih dari kejadian itu.
Jira menekan tuts itu dengan tenaga kuat seakan ingin menghancurkan tuts - tuts itu. Sudah 1 jam sejak Jira memainkannya seperti itu dan itu membuat Jihoon khawatir, Jira hanya ingin menghancurkan piano itu dan mencari cara lain untuk tidak belajar.
"Tekan tuts - tuts itu dengan pelan dan lembut." Kata Jihoon.
Jira tidak memperdulikannya. Dia sudah sangat kesal dengan kejailan Jihoon kemarin. Ke mana seringai menggoda jailmu kemarin Lee Jihoon ??! Ingin rasanya Jira menyuarakan kata - katanya itu. Tapi bibirnya enggan membuka. Bahkan hanya untuk sekedar bergumam.
Merasa diabaikan oleh Jira. Jihoon menaruh jari - jarinya di atas tuts dan memperlihatkan bagaimana menekan tuts dengan pelan. "Seperti itu. Permainanmu mulai meningkat, tapi sangat kasar." Kata Jihoon.
Jira kembali diam. Hanya tatapan matanya yang berbicara. Tapi Jihoon tidak bisa mengartikan tatapan Jira dan meminta Jira untuk memainkan piano itu kembali.
Jira tetap menghentakkan tuts - tuts itu dengan keras. Jihoon meraih jari - jari Jira dan mengusap jari - jari itu dengan lembut.
"Kenapa dengan tanganmu ? Hari ini jarimu sangat kaku." Kata Jihoon terdengar datar namun terasa lembut dengan usapan di jari Jira.
Ayolah Jihoon-ssi !! Aku sedang kesal denganmu. Kenapa kau malah membuatku bingung dengan apa yang kau lakukan sekarang ??!
Kembali tidak mendapat balasan dari Jira. Jihoon mulai berpikir tentang apa kesalahan yang sudah diperbuatnya. Dan Jihoon sekarang tau kenapa dia diabaikan oleh gadis itu.
Jihoon sedang berpikir bagaimana cara agar gadis itu memaafkannya dan mau bicara lagi dengannya. Tangannya yang masing mengusap jari - jari Jira gadis itu langsung memberikan ide yang cukup bagus.
"Kalau kau menekan tuts piano itu dengan kasar seperti itu. Kasihan piano itu. Mereka akan menangis."
Jira menyunjingkan senyuman angkuh. "Memangnya piano benda hidup !"
Jihoon masih sibuk memijat jari - jari Jira. Dia tidak menghentikannya karena Jira juga tidak masalah jika Jihoon menyentuhnya. Lagipula Jihoon juga jadi suka menyentuh jari Jira yang lebih kecil dari jarinya.
"Memang bukan. Tapi setiap benda punya perasaan." Jira kembali diam.
"Jika piano itu bisa bicara, mungkin dia sudah berkata, 'jangan menekanku sekeras itu, itu sungguh menyakitkan'." Jira ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya.
"Tidak lucu." Datar Jira.
Jihoon tidak menyerah. Dia kembali mencari topik pembicaraan. "Kalau kau menekan tuts - tuts itu dengan lembut seperti aku mengusap jari -jarimu, mereka akan merasa nyaman dan permainanmu juga akan terdengar indah."
Mendengar ucapan Jihoon, seketika Jira menarik tangannya. Jantungnya sudah kembali berdetak 2x lebih cepat. Jira tidak sadar karena usapan Jihoon sangat lembut.
Merasa kesal karena kalah kembali dengan Jihoon. Jira mengeluarkan semua amarah yang ditahannya sedari tadi. "Aku itu kesal denganmu. Kau menyuruh supirku pulang bahkan memintanya mematikan hp. Kau juga mengerjaiku dan membuat jantungku berdetak habis - habisan." Ucap Jira kelepasan.
Jihoon berusaha menahan tawa. Saat seperti ini tidak tepat untuk menertawakan ucapan Jira yang terdengar terlalu jujur itu.
"Kau bisa melampiaskannya padaku. Jangan dengan piano ini. Kasihan."
"Kau kasihan dengan piano ini. Tapi kau tidak kasihan dengan jantungku yang hampir meledak kemarin." Kesal Jira. Masih tidak sadar dengan ucapannya.
Jihoon tersenyum. "Jadi apa yang harus ku lakukan untuk mengurangi kekesalanmu ?"
"Minta maaf !"
Jihoon tertegun. "Semudah itu ?!"
Jira hanya membutuhkan itu dan mendapat bukti jika Jihoon sadar dengan kelakuannya kemarin. Tapi merasa permintaannya diremehkan, Jira mencari permintaan lain.
"Aniyo. Kau minta maaf sambil berlutut dan mencium tanganku." Ini tidak keterlaluankan ? Ragu Jira.
"Apa harus mencium tangan ?" Tanya Jihoon ragu. Jira baru teringat jika Jihoon tidak pernah bersentuhan lebih dari mengusap rambut, pundak dan tangan. Ditambah dengan isu yang beredar tentang Jihoon yang tidak suka skinship.
Jira pun mengangguk yakin.
Jihoon memulai berlutut dengan gagah dan tangan kanannya yang menyentuh tangan kanan Jira. Jira jadi semakin ragu dengan permintaannya sendiri. Pasalnya gaya mereka saat ini seperti sedang melakukan lamaran.
"Yoon Jira. Aku minta maaf karena mengerjaimu habis - habisan kemarin. Tapi harus kau ketahui, ekspresi gugupmu sangat menarik sampai aku tidak sadar hampir membuat jantungmu mau hancur." Kata Jihoon dengan ledekan penuh.
"Tidak ku maafkan."
"Waeyo ?"
"Kau meminta maaf sekaligus dengan ledekan."
"Baiklah. Kali ini aku meminta maaf dengan tulus." Jihoon mengecup punggung tangan Jira singkat.
"Tolong maafkan perbuatanku kemarin !" Pipi Jihoon memerah bersamaan dengan pipi Jira.
Arhh.. sial.. Kenapa aku terkena jebakanku sendiri. Kesal Jira sekarang gugup kembali.
Aish.. Aku sangat malu bergaya seperti ini. Apa boleh aku melepaskan tangannya sekarang ? Tapi tangannya bergetar lagi. Harusnya kan aku yang gugup. Gadis ini terlalu mudah terbawa suasana. Tawa Jihoon dalam hati.
☆☆☆
Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa update lagi 🎉🎉
Ada yang kangen tidak sama cerita ini ??
Kalau kangen, jangan lupa tinggalkan jejak ya
Tetap dukung Seventeen karena photo teaser sudah rilis.
Salam dari Jihoon 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Partiture
FanfictionSuatu hal yang tak ingin ku tau, tapi harus ku kuasai. Suatu hal yang tak ku suka, tapi terpaksa ku suka. Suatu hal yang mengubah kehidupanku dan suatu hal yang memaksaku untuk dekat dengannya. Lee Jihoon atau biasa dikenal Woozi. Pria yg ku tau han...