Bonus (2)

699 82 6
                                    

Jira POV

Aku begitu bersyukur bisa mendapatkan kebahagiaan dihidupku kembali. Terutama saat Jihoon mengatakan perasaannya dengan begitu romantis. Aku sungguh bahagia. Aku bersyukur bisa bertemu dengan Jihoon. 

Walaupun perjalanan yang ku lalui terlebih panjang dari yang ku pikirkan. Tapi karena perjalanan itulah aku bisa mengerti bagaimana rasanya meninggalkan, merelakan dan bersabar menunggu orang yang ku sayangi.

Bersama Jihoon, aku belajar tentang apa itu yang namanya cinta dengan penuh pengorbanan.

Tapi, hari ini aku membuat kesalahan. Kesalahan yang membuat Jihoon marah besar padaku.

Aku tau jika Jihoon tidak akan marah terlalu lama padaku. Tapi baru kali ini aku melihatnya semarah itu. Dan itu karena kecerobohan dan ucapan frontalku. Aku sungguh menyesal.

"Kenapa kau di sini ? Di mana Woozi ? Biasanya kalian bersama." Wonwoo menghampiriku yang duduk sendirian di kantin Pledis.

"Aku sedang memikirkan bagaimana cara membayar kesalahanku. Aku sungguh bingung Wonwoo-ya. Baru kali ini aku mendengar Jihoon membentakku. Aku sungguh menyesal. Harusnya aku tidak sembarangan bicara setelah aku merusak gitar kesayangannya."

Aku menangis. Sungguh kali ini aku sudah tidak bisa menahan air mataku. Aku ingat bagaimana marahnya Jihoon saat itu. Ketika dia melihat gitarnya patah karena aku tidak sengaja jatuh di bawahnya. Ketika aku berkata bahwa itu hanya gitar biasa tanpa tau asal usul gitar itu. Aku sungguh kesal pada ucapanku.

Wonwoo sepertinya bingung bagaimana menghadapiku yang menangis. Dia sedari tadi diam dan dengan mengutak - atik handphone-nya.

"Coba kau bicara dengan Woozi lagi. Aku yakin Woozi tidak akan selama ini marah. Emosinya itu hanya sesaat." Aku memang tau Jihoon tidak akan marah lama. Tapi rasa bersalahku akan tetap bertahan lama selama aku tidak mengganti gitar kesayangannya itu.

"Apa perlu ku temani kau bertemu Woozi ?"

Cepat - cepat aku menggeleng. Aku tidak mau menyusahkan orang lain untuk masalahku. "Tidak perlu. Aku akan menanganinya sendiri."

Wonwoo masih memperhatikanku lekat - lekat. "Lalu kenapa kau masih di sini ? Cepat temui Woozi sebelum dia sibuk kembali dan mengabaikanmu."

Aku pun berdiri sebelum Wonwoo berkata lagi. Aku sebenarnya belum siap, tapi kalau terus didesak Wonwoo. Bisa - bisa Wonwoo benar - benar menemaninya menemui Jihoon.

Ku buka pintu studio Jihoon takut - takut. Mengedarkan pandangan mencari pria mungil itu. Aku tidak melihat Jihoon di dekat komputernya. Dan ternyata dia ada di sofa sedang tertidur dengan topi yang menutupi wajahnya.

Aku berjalan mendekatinya. Duduk di samping Jihoon dan menyandarkan kepala di pundaknya. Hanya berada di sampingnya saja air mataku kembali mengalir. Aku menahan suara tangisku agar tidak membangunkan Jihoon.

"Mianhaeyo, Jihoon-ah. Aku menyesal. Aku tidak bisa menjaga omonganku. Harusnya aku tidak sembarangan bicara tentang gitarmu. Aku tidak tau jika itu gitar kesayanganmu. Gitar kesayangan yang kau bawa dari Busan untuk mengikuti audisi. Aku sungguh minta maaf. Aku akan memperbaikinya. Akan ku coba untuk mengembalikannya seperti semula. Ku mohon jangan membenciku." Aku memohon dengan sungguh - sungguh dengan suara sumbang khas orang menangis dan air mata yang tidak berhenti - hentinya mengalir.

Saat aku menumpahkan segala penyesalanku. Sebuah tangan mengusap kepalaku. Aku sangat tau siapa pemilik tangan mungil itu.

"Uljima !" Nada bicara Jihoon masih terdengar datar. Aku tidak tau apa lagi yang harus ku katakan agar Jihoon memaafkanku.

"Jihoon-ah, aku sungguh minta maaf. Aku akan segera memperbaikinya dan aku akan lebih menjaga ucapanku lagi."

"Ku bilang jangan menangis !" Aku terdiam ketika mendengar Jihoon mementakku lagi.

"Aku sudah tidak mau mendengar masalah ini lagi. Itu hanya gitar. Tidak seharusnya aku semarah itu hanya karena benda mati." Kata Jihoon.

"Tapi itu kan kesayanganmu."

"Itu tidak lebih penting darimu. Lebih baik aku kehilangan banyak gitar daripada aku kehilanganmu. Mianhae karena aku membentakmu. Tidak seharusnya aku membentakmu hanya karena hal sepele ini." Jihoon mengangkat topinya ke atas dan mencium kening Jira. Jira kembali menangis. Menangis lebih kencang.

"Kenapa kau masih menangis ?? Aku kan sudah memaafkanmu."

Aku menangis karena kau terlalu baik. "Aku hanya masih menyesal."

Jihoon mengusap pundakku. "Tidak apa. Kau benar itu hanya gitar biasa. Tidak seharusnya aku semarah itu. Kau itu lebih penting. Jadi jangan menangis lagi."

"Aku janji akan menggantinya." Kataku.

"Daripada menggantinya, aku ingin kita membelinya bersama. Itu akan membuat kenangan baru yang lebih bermakna. Lagipula gitar itu memang sudah usang dan pastinya akan rusak juga." Kata Jihoon.

Aku hanya tersenyum menyetujuinya.

Sungguh bersyukur aku memilikinya. Mulai sekarang aku akan menjaga semua keburukanku agar dia tidak marah lagi padaku. Karena aku tidak ingin dibenci oleh Jihoon. Sedikitpun.

Orang yang sudah sangat baik padaku.

☆☆☆

Bonus terakhir versi Jira..

Ayo bagusan marah versi Jira atau Woozi ?

Marah mana ada yang bagus ya 😅

Oke lah.. Mungkin sudah saatnya aku pamit undur diri dari ff ini.

Terima kasih semua yang sudah membaca ceritaku ini.. yang vote, comment dan bahkan follow aku. Terima kasih banyak.

Setelah ini aku ada sesi voting untuk cerita selanjutnya. Yuk ikut berpartisipasi dalam voting ku !
Ada di chapter selanjutnya 😊

Annyeong~

PartitureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang