#3 SENJAKU DI PELABUHAN PARE-PARE

5.7K 87 14
                                    

Judul : Senjaku di Pelabuhan Pare-pare
Waktu Pembuatan : Rabu, 12 Oktober 2016
Penghargaan : Mengikuti Lomba Menulis Cerpen dalam rangka Festival Sastra Indonesia V yang diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Tahun 2016

▪▪▪

Semburat matahari yang tampak kemerah merahan hampir tenggelam di ufuk barat. Hari pun mulai kehilangan terangnya. Sang kegelapan hendak beringsut menguasai pekatnya suasana malam. Camar yang berseliweran di bawah lapisan atmosfer udara berlomba lomba mengepakkan sayapnya untuk kembali ke sarang. Sementara itu sang induk berusaha mendahului kelompoknya tatkala mendengar bunyi ciap sang anak yang meyayat hati dari kejauhan. Menanti pelukan hangat sang induk dengan penuh kerinduan. Hanya senja yang mempertemukan dan kesunyian malam yang membuat sayap Mereka saling berangkulan.

Suasana pelabuhan Pare Pare riuh rendah dengan lautan manusia yang menjejakinya. Ombak yang bergulung seakan memaksa setiap kapal yang berjejeran rapi di pesisiran pantai untuk melepaskan tambatannya dan membentangkan layarnya di lautan bebas.

Sementara itu, karang tetap berdiam diri tak beranjak meski berulang kali dihempas oleh gulungan ombak. Hanya kata betapa setianya Ia. Bertahan walau terluka meski yang kesekian kali.

Dengan angkuhnya pula angin berlalu lalang untuk menerbangkan partikel di udara. Mengundang liukan pohon kelapa untuk bernari dengan gembira. Seakan angin ingin menunjukkan aksi bahwa dirinyalah yang paling kuat di atas pijakan bumi. Namun, nyatanya tidak! Masih ada badai yang mampu menghalau dan bahkan melenyapkannya.

Aku termenung di sisi tembok perbatasan pelabuhan seraya menatap gulungan ombak yang menghantam batu karang. Entah mengapa pemandangan semacam itu tak mengalihkan penglihatannku untuk berpindah ke objek lain. Ingin rasanya aku menyaksikan pemandangan setiap senja itu bersama seseorang yang paling berharga dalam hidupku, Ibu, Ayah, dan kakak. Tiga mutiara indah yang tak akan pernah orang lain miliki dan tak akan ada duanya bagiku.

Perlahan lahan Aku menarik nafas dalam dalam mengharap gumpalan luka di dalam hatiku surut seiring tarikan nafasku. Namun, seakan harapan itu pupus termakan waktu. Tak ada berkas cahaya dalam kegelapan. Tak ada hulu yang berakhir di muara. Seakan semuanya sia sia. Apa yang harus kulakukan, pikirku.

Aku menajamkan pandangannku tatkala kulihat sebuah titik hitam dari kejauhan tepat di laut lepas. Makin lama makin tampaklah bahwa Ia sebuah kapal dengan bentangan layarnya yang berkibar.

Kulihat sosok Pria di balik kapal itu dengan sigapnya menggulung layar tatkala kapalnya hendak bersandar di pelabuhan. Dengan senyuman Ia mengangkat beberapa ekor ikan di tangannya kala Sang Istri dan Anaknya menyambut dengan wajah berbinar di tepian pelabuhan dengan tawa bahagia. Anak itu pun berlari memeluk Sang Ayah dan berusaha merebut ikan hasil tangkapan ayahnya.

Aku berusaha mengalihkan wajah tatkala beradu dengan pandangan semacam itu. Betapa tidak? hatiku bagaikan disayat sembilu. Diiris iris tanpa rasa kemanusiaan. Ribuan kilometer luas laut di tempat ini tak akan mampu mengukur rasa sakit yang tengah kukandung di lubuk hatiku. Lagi pula badai yang ada di dalam hatiku belum separuhnya berlalu. Rintik masih membasahi dan selalu menebarkan aroma deritaku.

Lingkaran tornado tergenggam oleh jemari ufuk barat. Aku menengadah langit, menatapnya. Sembari mengangkat tanganku. Aku ingin menggenggam bola raksasa itu. Jika Ia tidak bisa membawa senja untukku. Maka Aku ingin menjaringnya lalu kubuat Ia berputar mengulas waktu yang lalu dan mengembalikan semua yang telah direnggutnya.

"Ayah...Aku ingin menyusulmu, bawa Aku bersamamu!" bisikku dengan nada pilu.

Aku tetap membiarkan sejak tadi sepoi angin menampar kulit wajahku. Tak perlu pula Aku mengusap butiran mutiara yang bermuntahan dari pelupuk mataku karena angin telah sukarela melakukannya.

SEJUTA RASA UNTUK CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang