#13 MEMORI 45 YANG TERSERET

2.2K 28 1
                                    

Judul : Memori 45 yang Terseret
Waktu Pembuatan : Tahun 2016
Penghargaan : Mengikuti Lomba Menulis Cerpen dalam rangka Bulan Bahasa tingkat Kabupaten Barru

▪▪▪


Hari mulai kehilangan terangnya. Sementara itu lingkaran surya kemerahan sebentar lagi akan terbenam di ufuk barat. Hingga petang yang mengantarkannya ke dalam rayuan peraduan hangat seolah berbisik mesra dan melambai untuk tenggelam di dalamnya. Melepaskan sejenak penat karena peluh yang terus bermuntahan dari sekujur tubuhnya.

Sementara itu, suasana mulai mencekam. Keramaian dan suasana kota Bandung yang dikenal sebagai kota Lautan Api sejak 70 tahun  kemerdekaan NKRI tenggelam di dalam pekatnya suasana malam.

Desir angin musim kemarau mulai terasa menusuk tulang dan menebarkan partikel kecil diatas permukaan tanah seolah angin itu berusaha menggeliatkan jiwa yang tengah kaku.

Lampu jalan satu persatu mulai dinyalakan. Cahayanya terlihat seperti gumpalan bintang yang bermuara di atas langit pekat sana. Menerangi suasana yang berada di sekitar. Sehingga menambah semaraknya lalu lintas yang dipadati kendaraan roda dua dan empat yang tengah bersuka ria untuk berlalu lalang.

Seorang pria yang berumur sekitar 80 tahun terlihat duduk termangu di sisi jalan kota. Berselang kemudian Beliau berpindah posisi untuk melepaskan kepenatan di pelataran gedung megah di seberang jalan. Bola matanya sayu menatap di sekelilingnya. Namun, jelas terlihat pada raut wajahnya ada rona semangat yang membara. Meski kulitnya yang keriput dan nafasnya yang kedengaran enggan berhembus  namun di sana ada sebuah keratan sisa perjuangan dan kepatriotisan yang tertancap mesra dan bersemayam abadi.

Panggil saja Dia “Kakek Kruppa”. Kakek Kruppa mengabdikan diri di masa tuanya untuk  tampil sebagai tukang sapu jalanan. Tidak ada rasa lelah untuk melakukan pekerjaan yang terkadang dianggap hina di mata orang.

Kakek Kruppa segera meninggalkan tempat kediamannya semula. Dengan langkah pelan dan sempoyongan, Beliau pun menyimpan sapu dan tempat sampahnya pada tempat biasanya. Dengan sigap Beliau pun menanggalkan pakaian kerjanya dan menggantinya dengan kaos oblong dan kain sarung yang meliliti perutnya.

Kakek Kruppa tidak segera pulang ke rumahnya. Ia telihat duduk kembali pada tempat sebelumnya. Sejenak Ia menarik nafas dalam-dalam yang kedengarannya berdesah tak beraturan itu. Jarinya yang keriput dan berbekas kekekaran itu terlihat menyapu peluh yang mendanau di dahinya.

Kakek Kruppa menyunggingkan senyumannya. Ia terpaku menatap di sekelilingnya namun setelah itu Ia kembali lagi menarik nafas dalam-dalam dan berusaha menikmati tamparan sepoi angin kemarau. Ada rasa bangga yang terselip di dalam jiwanya tatkala melihat tidak ada lagi penindas dan yang ditindas, antara yang menjajah dan yang terjajah. Semua akan terlihat berbinar di zaman fanatik dan merdeka ini.

Kakek Kruppa berusaha mengumpulkan sisa ingatannya yang berkeping-keping itu. Meski telah lanjut usia akan tetapi ingatan kakek Kruppa masih tetap sekuat baja. Masih jelas tergambar di dalam memorinya saat pertama kali Ia memanggul senjata. Menentang tokoh penindas yang berusaha menguasai bumi persada ini. Kilatan amarah dan kegagahan yang berkobar di dalam bola matanya serta keberaniannya yang tiada pandang bulu membuat beliau diangkat menjadi komandan dan disegani oleh bawahannya.

Peristiwa yang paling enggan untuk enyah dari memori Komandan Kruppa saat Ia pertama kali menjalani kehidupannya pada saat bergerilya. Suatu kebanggaan dan mimpi tertingginya pada saat itu. Semangatnya untuk menyeret sang biadab terkutuk itu untuk meninggalkan Negara tercinta ini semakin berapi-api. Terus menyala dan terbentang bak permadani indah di bawah terik.

SEJUTA RASA UNTUK CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang