Jangan menangis, relakan saja. Toh kehidupan yang sebenarnya bukan bermula di sini, tapi di suatu tempat nun jauh di sana.
-The Fake Class Leader
*****DERAP langkah kaki Kanaya melambat ketika akhirnya dirinya sampai di ruang tempat Alvaro berada selama ini. Detak jantungnya berdebar dua kali lebih cepat, napasnya menderu. Perlahan dia menarik dan menghela napasnya, berusaha menetralisir degupan jantungnya hingga akhirnya bisa kembali berdetak normal. Kemudian, dia memusatkan pandangan matanya pada beberapa orang yang berada di sana. Zilan, Ridwan, Alex, dan juga Mila ada di depan ruang tempat Alvaro berada. Melihat kedatangannya, mereka lantas mengembangkan senyum.
"Gimana Alvaro?" Kanaya bergumam pelan sambil berjalan mendekat ke arah mereka.
"lo langsung masuk aja, Nay, Alvaro udah nungguin lo." tukas Zilan.
Kanaya menelan ludahnya dengan susah payah, ada satu hal yang membuat Kanaya ragu untuk masuk ke dalam sana, "Om Albed.."
"Tenang aja, Nay, Om Albed gak akan ngomelin lo lagi, Alvaro ingin ketemu lo dan Om Albed gak bisa ngelarang kemauannya itu." timpal Alex, Ridwan dan Zilan hanya mengangguk-angguk.
"Iya bener, Nay, kamu masuk aja, gak apa-apa." sambung Mila.
Kanaya terlihat berpikir sebentar. Mencoba meyakinkan dirinya supaya berani. Akhirnya setelah penuh pertimbangan, Kanaya mulai melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu ruang kamar Alvaro dirawat selama ini. Hingga akhirnya tiba tepat di depan kamar, dua orang dewasa keluar dari sana dan kini berhadapan langsung dengan Kanaya. Kanaya sedikit terkejut melihat Albed, Albed menatap Kanaya dengan tatapan datar, kemudian keluar dari ruangan bersama dengan Yulinda, istrinya.
Kanaya sedikit menoleh ke belakang, melihat Zilan dan yang lainnya masih memberinya semangat untuk masuk ke dalam, walaupun perasaannya tidak enak, mungkin karena masih disodori oleh sikap dingin Albed tadi, tapi Kanaya tidak mau terbawa perasaan dengan sikap dingin Albed, yang dia ingin fokuskan sekarang adalah bagaimana keadaan Alvaro sekarang. Tanpa basa-basi lagi, Kanaya segera melanjutkan perjalanannya memasuki ruangan Alvaro. Perasaan senang dan khawatir bercampur menjadi satu di benaknya kali ini. Namun perasaan khawatir itu digantikan dengan seulas senyuman yang mengembang begitu melihat kedua mata laki-laki yang selama ini tertutup itu kini sudah terbuka lebar. Terlihat sangat sehat dan hampir mustahil bagi orang yang baru saja tersadar dari koma pada umumnya.
"Alvaro.." Kanaya menggumam, "kamu udah sadar?" tanyanya tak percaya. Yang ditanya hanya bisa membalasnya dengan senyum walau hanya terlihat samar. Kanaya senang suplai oksigen Alvaro sudah dilepas jadi dia bisa melihat senyum itu lagi. Senyum yang selalu dirindukannya tiap bangun pagi dan tidur di malam hari.
Kanaya mulai mendekatkan dirinya lagi sampai akhirnya jari-jari tangannya bisa menyentuh punggung tangan Alvaro yang masih terlilit selang infus dan selang-selang lain yang selama ini masih berada pada tubuh Alvaro. Kanaya menarik kursi besi di samping ranjang Alvaro lalu duduk di atasnya, "aku.. aku mau minta maaf sama kamu, Al," gumam Kanaya, "ini semua salah aku, kalau bukan karna aku kamu gak akan mungkin jadi seperti ini." getir Kanaya. Tanpa sadar air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya lalu mengalir di kedua pipinya.
Melihat Kanaya menangis, Alvaro mengangkat tangannya perlahan, dia masih terlalu lemah untuk bisa bergerak cepat, hingga akhirnya dia berhasil mengusap air mata itu menggunakan ibu jari tangannya yang terasa dingin ketika menyentuh permukaan pipi Kanaya, "jangan.. nangis.. Nay," gumam Alvaro, "aku.. gak mau.. lihat.. kamu.. nangis." katanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fake Class Leader
Novela Juvenil[TAMAT] Dia itu pengganggu, pengacau, gue gak peduli seberapa pinter dia atau seberapa tenar dia di sekolah ini, bagi gue dia itu penghancur mood. - Kanaya. Gua gak tau kenapa gua selalu pengen ngancurin mood dia, seorang cewek berisik yang gak t...