PART EMPAT PULUH ENAM - Penyesalan

260 16 0
                                    

Kadang kau juga harus belajar dari kehilangan supaya tahu bagaimana cara mengenang dengan tulus.
-The Fake Class Leader
*****

DUA MINGGU KEMUDIAN....

SEORANG gadis berdiri di depan kaca pintu ruang ICU. Seorang diri. Menatap ke arah ranjang rumah sakit yang diisi oleh seorang laki-laki. Matanya masih terpejam rapat. Masih tetap berada di alam bawah sadarnya. Selang-selang infus yang berada di tubuhnya entah bisa atau tidak membantunya untuk menahan beban yang ditanggungnya, suara mesin pendeteksi jantung juga masih terdengar saling beriringan. Menemani keheningan yang saat ini dirasakan oleh keduanya. Bedanya, gadis itu berada di alam nyata, sedangkan laki-laki itu, berada di alam sebaliknya. Dia masih tetap sama. Koma. Tidak ada kata yang lebih buruk daripada itu.

Sudah hampir dua minggu lebih. Kanaya tidak pernah absen untuk datang ke sini. Sudah banyak yang dia korbankan demi untuk dapat melihat Alvaro. Waktu, tenaga, uang saku untuk ongkos ke sini dan sekolah. Ya, kadang Kanaya harus rela bolos sekolah hanya untuk datang ke sini. Untung sekarang hari minggu. Dan untung, ketika dia datang tidak ada siapa-siapa di sini. Wajar, dia memang selalu datang di saat jam makan siang, tujuannya sama yaitu supaya tidak bertemu dengan Albed. Karena jika hal itu terjadi, maka Kanaya akan diperlakukan sama seperti yang sebelumnya. Di usir. Ya, karena hal itu Kanaya jadi harus mengendap-endap kalau ingin datang untuk melihat keadaan Alvaro.

"Al... kapan kamu mau bangun? Gak cape tidur melulu?" Kanaya bermonolog. Berharap kalau laki-laki di seberang sana dapat mendengarnya dan membuka matanya. Tapi nyatanya? Nihil. Matanya tetap terpejam rapat. Seolah dia malas untuk membukanya sedikit saja.

Kanaya hanya tersenyum kecut melihatnya, lalu tertunduk kalah. Ternyata keajaiban itu belum datang. Apa memang enggan untuk datang? Setiap malam dia selalu berdoa untuk Alvaro, berharap keajaiban datang, sehingga Alvaro-nya bisa cepat bangun dari komanya. Tapi sepertinya doanya belum dijawab oleh Sang Pengabul. Mungkin Dia sedang ingin menguji, seberapa kuat iman hambanya yang satu ini dalam menghadapi ujian.

Kanaya kembali teringat pada malam itu. Malam ketika dirinya diusir oleh Albed ketika dia mengantarkan Alvaro ke rumah sakit. Bertepatan dengan kepergiannya, dia sempat melihat dokter yang tadi memeriksa keadaan Alvaro keluar dari ruang IGD malam itu, karena penasaran Kanaya menguping. Dia bersembunyi di balik dinding koridor rumah sakit, ingin tahu apa yang dialami oleh Alvaro. Dia amat sangat terkejut ketika dokter mengatakan bahwa Alvaro mengalami pendarahan berat di kepalanya, tulang rusuknya patah dan tangannya terkilir. Rasanya seluruh dunianya hancur begitu mengetahuinya. Tapi ada yang lebih membuatnya penasaran lagi, yaitu ketika sang dokter bilang kalau dia seperti mendeteksi adanya tanda-tanda penyakit tertentu di dalam tubuh Alvaro tapi itu baru prediksinya saja. Dia bilang semoga prediksinya itu salah. Ya, semoga.

"Nay,"

Baru saja Kanaya hendak memejamkan matanya sebentar, dia terkejut ketiba tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Kanaya lantas menoleh, dan sedikit terkejut menyadari keberadaan Mila di belakangnya, "Mila?" gumam Kanaya terkejut, dia melirik ke sana kemari memastikan tidak ada orang lain kecuali dia yang datang, "lo sama siapa?" tanya Kanaya.

Mila tersenyum kecil, "aku sendiri ko, Om Albed dan yang lainnya makan siang, temen-temennya Alvaro juga paling datengnya agak sore." jelas Mila seperti tahu apa yang Kanaya takutkan.

Mendengarnya, Kanaya sedikit bernapas lega. Maksudnya, dia lega karena aksinya yang selalu mengendap-endap setiap ingin ke sini sampai kini belum diketahui oleh Albed. Selama ini kunjungan Kanaya yang tersembunyi mungkin hanya diketahui oleh teman-teman Alvaro, dan Mila. Sudah dua kali dia kepergok oleh Mila, tapi baru kali ini Mila sampai menyapanya. "Bagus deh kalau begitu." ucap Kanaya.

The Fake Class LeaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang