Yang Tak Ingin Ku Lihat

44 3 0
                                    

"Mungkin bagi kamu, menunggu itu menyenangkan. Dan hasil yang aku dapet, cuma pemandangan yang ga pernah aku bayangin sama sekali."

"Aku Bima" kini dia sudah duduk di depanku.
Dia mengulurkan tangannya.
"Iya tadi juga aku udah denger ko" aku menjawab sambil menjabat tangannya. "Aku Fenita" lanjutku.
"Sama siapa kesini? sendirian?" Bima tersenyum sekali lagi padaku.
"Engga, sama temen. Tapi dia lagi nonton" Aku memasukan ponselku ke dalam tas kecil di pangkuanku.
"Loh.. Emangnya kamu ga nonton juga? tadi kan beli popcorn?" Bima melambaikan tangannya ke arah pelayan wanita yang terlihat celingukan mencari dirinya.
"Tadi sih sempet nonton. Tapi males, ga seru. Jadi, yaaaa akhirnya disinilah aku, hahahaaa.." aku mulai merasa enjoy. Sepertinya Bima ini lumayan asik.
Sepiring nasi goreng dan es jeruk ada di hadapan Bima sekarang. Batinku merasa kalau itu adalah menu yang aku pesan.
Aku hanya memandang tanpa bertanya.
"Thanks ya mba" Bima menerima nasi goreng itu tanpa protes. Berarti dia memang memesan menu yang sama denganku.
"Kamu pesen apa Fen? udah pesen belum?" pertanyaan Bima mengagetkan ku.
"Mmmmm.. Udah kok udah pesen, paling bentaran lagi juga dateng. Sok makan duluan aja." aku menjawab setengah gugup.
"Ga papa, aku nunggu aja" Bima menyeruput es jeruknya.
Aku cuma tersenyum.
Tak lama kemudian, pesananku pun datang.
Kini dua menu yang sama ada di depan mataku.
"Lho kok bisa sama ya.. Hahaha.. Ga nyangka lho.." Bima tertawa sambil mengerjapkan matanya.
"Sama. Aku juga ga nyangka, aku kira tadi itu pesenan aku lho, eh ternyata kamu ga protes kalo itu salah. Yaa.. Mungkin kebetulan banget. Yu makan" Aku mulai memegang sendokku.
Setelah ku perhatikan Bima ini memiliki mata yang tajam, bola matanya bening, coklat.. Indah.
Itu kata yang aku dapatkan setelah beberapa menit ngobrol dengannya.
Kami pun makan sambil ngobrol macem macem. Dari a sampai z.
Bima adalah lelaki yang menyenangkan, walaupun kesan pertama yang aku simpulkan saat inseden popcorn tadi kurang baik. Tapi sekarang bagiku dia adalah teman ngobrol yang menyenangkan.

"Aduuhh aduuuhh.. Nih anak di cari cari adanya di sini" Leila menepuk bahuku dan langsung duduk di sampingku.
"Hei" Bima menganggukan kepalanya ke arah Leila.
"Aku Bima" Bima mengulurkan tangannya pada Leila.
"Leila" jawab Leila sambil tersenyum manis pada Bima.
Perasaan Bima ini selalu menyebutkan namanya pada orang yang baru di temuinya. Memperkenalkan diri itu seperti suatu keharusan bagi Bima.
Ah entah lah.. Aku merasa lucu di dalam hatiku.

Aku dan Bima sudah selesai menghabiskan makanan kami masing masing.
Sedangkan Leila masih menikmati cake yang di bawanya dari rumah.
Sahabatku yang satu ini memang selalu membawa makanan sendiri kemanapun dia pergi.
Buatan sendiri itu lebih bersih, itulah kalimat pembelaan yang selalu di ucapkannya setiap aku mengomemtari kebiasaannya itu.
Aku, Leila dan Bima pun ngobrol panjang lebar. Dalam sekejap saja kami bisa sangat akrab.
Itu karena Bima tipe orang yang sangat mudah bergaul.
Sedangkan aku lebih sering diam dan ikut tertawa mendengar percakapan Leila dan Bima.

"Hhahha.. Masa? kamu kenal sama Niken? dia sepupuku tauu.." Leila terdengar sangat bersemangat.
"Iya dia tetanggaku, rumah kita cuma beda 2 nomer. Niken yang keritinh kan? yang selalu pake baju serba pink" Bima menimpali tak kalah semangatnya.
"Iya.. Ah bener bener deh tuh anak. Dulu waktu aku kecil, kita tuh se..." tiba tiba Leila tidak melanjutkan kalimatnya.
"Fen.. Itu bukannya Asya ya?" Leila menggoyangkan lenganku.
Aku pun langsung mengikuti arah pandang Leila.
Bima pun langsung menoleh ke belakang.
Jantungku rasanya berhenti memompa darah.
Aku tertengun melihat pemandangan di hadapanku.
Dia Asya, benar benar Asya.
Dia ada di sini, di Bali.
Dia disini tanpa mengabari aku.
Ku rasakan mataku mulai memanas, air mataku sepertinya akan menetes.
Tapi ku tahan dan cepat cepat ku usap dengan jariku.
"Dia disini Lei" aku bergumam tanpa mengalihkan pandanganku dari Asya.
Asya melangkah sangat perlahan sambil terus menunduk memandangi ponselnya. Dia sama sekali tak melihatku.
Tiba tiba...
Graaabb.. Sebuah lengan lain melingkar manja di pinggang  Asya.
Asya menyentuh tangan itu dan berbalik badan menghadap orang yang memeluknya barusan.
"Anya?" Leila sangat keheranan.
Detik berikutnya Asya sudah mengacak lembut rambut Anya dan menarik manja hidung Anya.

Air mataku sudah tak dapat ku bendung lagi. Menetes begitu saja tanpa permisi.
Leila merangkulku tanpa kata kata.
Dia tahu betul seperti apa perasaanku saat ini.
Sedangkan Bima memandangi aku dan Asya secara bergantian dengan kebingungan.
"Heii.. Fen, kamu kenapa? kok nangis? dia pacar kamu?" Bima bertanya dengan bingungnya.
Aku tak menjawab.
"Sssttt..." Leila meletakan jari telunjuk di depan bibirnya sendiri.
Bima pun tak bertanya lagi.

Aku berdiri, ku seka air mataku dan ku tarik nafas dalam dalam.
Aku berjalan menuju Asya dan Anya yang masih tak menyadari adanya aku.

"Asya..." aku memanggilnya dengan suara sedatar mungkin.
Asya dan Anya tampak sangat kaget dengan kehadiranku disamping mereka.
"Ohhh... Hai Fen. Sama siapa?" sedetik kemudian Anya dengan gaya centilnya bertanya padaku, dia menggamit lengan Asya.
Aku mandang tajam ke arah Asya tanpa menghiraukan Anya.
"Fen.. Ak.. Aku.. Aku bisa jelasin ini semua, jangan salah paham." Asya terbata bata dan berusaha melepaskan tangan Anya dari lengannya..
"Mungkin bagi kamu, menunggu itu menyenangkan. Dan hasil yang aku dapet. Cuma pemandangan yang ga pernah aku bayangin sama sekali." Aku menahan tangisanku, rasa kecewaku pada Asya sekarang semuanya menjadi rasa benci yang teramat sangat.
"Fen.. Jangan salah paham. Semua ini ga kaya apa yang kamu fikirin" Asya meraih jari jariku, tapi cepat ku tarik.

Plaakk..
Kelima jariku kini mendarat mulus di wajah Asya.
Aku merasa seisi restoran ini menatap ke arah kami.
Aku berbalik tanpa berkata kata dan langsung lari keluar.
Leila mengejarku, sedangkan Bima baru selesai melakukan pembayaran di kasir.
Saat melewati Asya yang masih memegangi pipi kirinya, Bima mengepalkan tinjunya di depan wajah Asya.
Bima sudah bergaya seperti sahabat lama saja.
Dia pun ikut berlari menyusulku.

Tapi, taxi yang aku dan Leila tumpangi sudah melaju meninggalkan Bima.
Sepanjang jalan aku hanya menangis.
Asya yang dulu selalu ku harapkan kini hancur begitu saja.
Yang ada hanya Asya yang sangat jahat bagiku.
Leila hanya diam seribu bahasa, dia mengelus lembut punggungku.
Teringat kejadian pagi tadi di rumah Leila, aku langsung menghentikan tangisanku.
Kasihan Leila, keluarganya saja sedang ada masalah.
Jika sekarang aku terus terusan menangis, itu hanya akan membuatnya semakin bingung.
"Sabar ya Fen" Leila menguatkanku.
"Aku ga papa Lei" ku paksa bibirku untuk tersenyum.
Leila pun membalas senyumanku.

Taxi pun terus melaju, mengantarkan Leila lalu ke rumahku.

------------------------------------------------------

Wah wah wah...
Si Asya ini ya, Emang bener bener jahat sama Fenita.

Udah menghilang tanpa kabar..
Saat dateng malah nyakitin banget.

Hiks hiks hiks..
😢😢😢😢😢😢

Ketika Cinta Berkata LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang