Nyatakah Semua ini?

44 3 0
                                    

"Jangan salahkan waktu yang tak lagi menjadi milik kita. Bisa saja waktu itu lebih tau, dia akan lebih bermakna saat kamu menghabiskannya dengan siapa"

Sore ini aku duduk di teras depan rumahku, ku pandangi layar laptop di depanku.
Ku buka e-mail, tampak sederet pesan dari Asya.
Aku malas membacanya. Ku tutup kembali e-mail ku dan mulai streaming youtube.
Ku pakai haedphone ku dan menonton berbagai episode doraemon favoritku.
Aku sangat asik menikmati film yang ku gemari dari kecil ini.

Sampai tiba tiba sebuah sentuhan lembut di puncak rambutku membuatku kaget setengah mati.
Bima, aku membatin.
Ku lepas headphone ku dan meletakannya di atas meja.

Aku mendongak, betapa kagetnya aku saat ku lihat wajah Asya di sana.
Alis tebal dan matanya yang bening sesaat menghipnotisku.
Bibirnya yang indah membentuk lengkungan.
Oh Tuhan, aku selalu terpesona dengan wajah Asya.
Ku kedipkan mataku dan segera membuang pandanganku darinya.

Aku sama sekali tak menyangka dengan apa yang aku lihat.
Lelaki yang sudah menyakitiku, meninggalkanku, dan menghancurkan hatiku.
Kini berdiri tepat di hadapanku.

Dia masih sama dengan tahun tahun yang lalu.
Membuat kesalahan tanpa rasa bersalah setelahnya.

"Hm hm.. Ada apa?" suaraku terdengar sangat kaku.
"Kamu apa kabar?" Asya mengambil tempat duduk di sambing kiriku.
Dia masih sama, selalu duduk tanpa ku persilahkan.
"Kaya yang kamu liat aja, sehat, i'm fine" nada suaraku sedikit ketus.
"Aku kangen" Asya menundukan kepalanya.
Aku diam.
Kalimatnya menggoyahkan hatiku.
Mataku terasa sedikit memanas.

Ada rasa bahagia yang bersarang di hatiku.
Tapi, aku segera mengembalikan kesadaranku.
Jangan samapai aku jatuh untuk kedua kalinya di tempat yang sama.

"Mmmmm.. Gimana Bandung?" aku memulai pembicaraan lagi.
"Ga enak. Ga ada kamu" Asya mulai menggombal.
"Oh ya? I don't think so" aku mengangkat bahuku dan menutup laptopku.
"Fen, aku minta maaf." Asya menatapku.
"Ga ada yang salah, dan ga ada yg perlu di maafin." Aku pun menatapnya.

Dia masih tetap Asya, Asya yang masih ku sayangi.
"Aku ga mau kamu salah paham, tapi.. Aku ga tau harus jelasin semua ini dari mana, aku belum siap." Asya memegang kepalanya. Air mata tampak menggantung di sudut matanya.
Ku alihkan pandanganku ke arah jalan, aku tak ingin hatiku luluh karena air mata Asya.
Aku tak mau kekecewaan yang sama aku rasakan lagi karenanya.
Ku keraskan hatiku.

"Aku benci waktu ini.. Waktu yang berjalan begitu egois.. Aku ga bisa lama di Bali. Ga bisa lama ketemu kamu Fen. Padahal banyak yang pengen aku jelasin ke kamu." Asya berlutut di hadapanku, matanya memerah tapi aku bisa melihat ketulusan disana.

"Jangan salahkan waktu yang tak lagi menjadi milik kita. Bisa saja waktu itu lebih tau, bahwa dia akan lebih bermakna saat kamu menghabiskannya dengan siapa" terbayang lagi wajah Anya dan Asya saat di restoran kali itu.
Aku menangis lagi.
Air mataku jatuh di sudut bibir Asya.

Aku berlari ke kamarku meninggalkan Asya.
Perasaanku tak dapat di jelaskan.
Ada rasa sakit, kecewa, takut, bahagia, segalanya tak dapat terdefinisi.
Aku duduk di pinggir ranjangku.

Sesaat kemudian aku melihat Asya melangkah mendekat.
Di letakannya laptopku di atas meja belajar. Dia tertegun di sana. Menatap lurus kearah foto kami 2 tahun yang lalu.
Pantai. Saat itu kami melihat sunset. Dan di foto itu aku di gendong olehnya, saat saat bahagia yang tak pernah aku lupakan.

Asya mengedarkan pandangannya berkeliling. Di setiap sudut kamarku semuanya masih tentang Asya.
Tentang kebersamaan kami dulu.
Asya duduk di kursi belajarku. Dia melamun. Aku memperhatikannya dari sudut mataku.
Ku hapus air mataku, saat ku sadari Asya tak bergerak sejak 5 menit yang lalu. Pandangannya kosong.
Ku sentuh bahunya perlahan.
"Asya.. Kam.. uuummmppp" aku tak bisa melanjutkan kata kataku saat dengan tiba tiba Asya memelukku dengan sangat erat.

Aku kehabisan oksigen rasanya.
Aku bisa mendengar nafas Asya yang tak teratur dan degupan di dadanya yang berantakan.
Aku mendorong Asya sekuat mungkin, dan akhirnya aku bisa lepas dari pelukannya.
"Kamu kenapa?" aku panik saat ku lihat Asya semakin pucat.
Asya tidak menjawab.
Ku guncangkan tubuhnya, tapi Asya tetap diam.

Bruuukk..
Asya tersungkur ke pelukanku.
Asya pinsan.
Oh Tuhan, bagaimana ini?
Asya terasa sangat berat untuk ku topang.
Aku ingin teriak minta tolong. Tapi rasanya tak mungkin.
Jika tetangga berdatangan aku khawatir malah menjadi gosip yang di lebih lebihkan.
Dengan susah payah aku menyandarkan Asya ke lemari pakaianku.
Lalu ku tarik kasur lipat di ujung kamarku.
Sekuat tenagaku ku pindahkan Asya ke atas kasur. Ku letakan bantal di bawah kepalanya. Ku tepuk perlahan pipinya. Tapi Asya tak bergerak sedikitpun.

Aku semakin takut, panik, bingung.
Ku lihat jam di dinding menunjukan pukul 19.15
Sudah satu jam Asya pinsan.
Suhu tubuhnya sangat tinggi. Panas.
Akhirnya aku menelpon Leila.
"Leii.. Buruan ke rumah aku sekarang. Penting. Urgent" aku mondar mandir di depan kamar.
"Kamu kenapa? Fen, kamu kenapa?" ku dengar Leila sangat panik.
"Aku ga papa, pokonya cepet kesini" ku tutup teleponku, dan aku mengganti kompres di dahi Asya.

Lima belas menit kemudian.
Leila sudah sampai di pintu depan rumahku, langsung ku tarik dan ku dorong dia ke kamarku.
"Oh Tuhan. Ya ampun. Fen.. Asya kenapa?" Leila sangat terkejut dan bingung.
"Aku juga ga tau, tiba tiba pinsan aja." Aku menghapiri Asya dan meletakan telingaku di dadanya, masih berdetak. Aku sangat takut.
Kepanikan merayapi saluruh tubuhku.

"Pokonya malem ini kamu nginep ya Lei, harus!!" aku berkacak pinggang di hadapan Leila.
"Aduh Fen, mana mungkin. Mamah aku lagi sakit. Kamu tau sendiri papah kaya gimana. Aku ga bisa ninggalin mamah" Leila menekan pelipisnya.
"Masa aku serumah berdua sama Asya? di tambah Asya keadaannya kaya gini." aku mulai merengek.
"Udah udah diem. Sekarang lebih baik panggil dokter aja." Leila menyarankan.
"Ya udah buruan" aku menyetujuinya.

"mmmhhhhhh..." Asya melengguh.
Aku dan Leila langsung menghampirinya.
"Kamu udh sadar Asya?" aku sangat sumringah menatapnya.
"Aku baik baik aja Fen, Lei" Asya berusaha duduk..

Ting nong...
Bel berbunyi. Leila membukakan pintu dan Dr. Hendi pun masuk.
Leila mengantar Dr. Hendi ke kamarku.
"Lho.. Orang tuanya mana?" doker sangat bingung karena di rumah ini hanya ada 3 remaja.

"Saya baik baik aja dok, ga perlu di periksa" Asya duduk sambil memijit pelan kedua pelipisnya.
"Coba saya cek dulu ya." dokter bergerak maju dan mulai memeriksa keadaan Asya.

Aku dan Leila hanya melihat dari ujung ruangan.
Ku genggam tangan Leila, aku takut kalau hal yang buruk terjadi pada Asya.

"Ga apa apa. Semuanya stabil, ok.. Mungkin kecapean, harus banyak istirahat." kalimat yang di ucapkan Dr. Hendi menenangkanku.

Setelah berpamitan, Dr. Hendi pun meninggalkan kami.

"Fen,aku harus balik sekarang. Kasian mamah. Asya ga apa apa, jadi kamu tenang ya." Leila memegangi bahuku.
Aku menghembuskan nafas panjang, dan akhirnya menganggukan kepalaku.

Leila pun pulang.
Aku kembali ke dalam.
Asya sudah duduk di kursi meja makan.
Di tangannya tergenggam segelas air dingin.

Asya masih melakukan kebiasaan kebiasaannya di rumahku.
Mengambil minum sendiri, memakan apapun yang di sukainya tanpa permisi.

Aku mematung memandanginya.
Sekarang aku sangat bingung, apa yang harus aku perbuat sekarang?

------------------------------------------------------

Sekarang Asya hadir kembali di kehidupan Fenita.

Lantas, bagaimana Bima?
Apakah Fenita akan melanjutkan rajutan kasihnya dengan Asya?
Atau tetap menutup hatinya dari lelaki?

See at the next part..

😍😍😍😍😍

Ketika Cinta Berkata LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang