Sebuah Perpisahan [part 1]

43 3 0
                                    

"Kamu harus ingat berapa lama kita bersama. Berapa musim yang kita lewatin. Dan aku harap, bukan karena jarak ini aku dan kamu jadi dua orang asing yang ga saling kenal"

Aku merebahkan tubuh letihku di sofa ruang tv.
Aku mulai memikirkan berbagai macam hal yang terjadi semalam. Tapi, aku tak ingat apa apa selain rasa pening yang teramat sangat malam itu.

Ku charge ponselku yang sudah kehabisan baterai semenjak di taxi tadi tanpa mengaktifkannya.

Ku putuskan untuk membersihkan diri di bawah siraman shower.
Aku berlama lama disana, menikmati setiap tetes air yang menyegarkan persendianku.

Mungkin sejam lamanya aku di dalam kamar mandi.
Aku keluar dengan kesegaran yang menenangkan diriku.

Ting nong...
Bel rumahku berdentang nyaring, aku segera berpakaian rapih dan membukakan pintu.

Leila?
Dia langsung memeluku erat dan menangis.
Aku kebingungan.
Ku bimbing langkahnya ke kursi ruang tamuku.

"Kenapa Lei?" ku pegang bahu Leila dan menilik ke dalam matanya, mencari tahu apa penyebab tangisannya.

"Mamah sama papah udah cerai Fen, Mamah mau balik ke Manado. Dan aku harus ikut mamah, aku ga mau pisah sama kamu.." Leila menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya.

Mendengar kabar perpisahan ini, aku pun sedih dan air mataku mengalir begitu saja.
Sahabatku satu satunya.
Kini akan pergi dan berada jauh dariku.

Siapa lagi tempatku berbagi, siapa lagi yang akan berjalan beriringan bersamaku.

Rasanya sama seperti saat Asya meninggalkanku hari itu.
Sakit dan memilukan.

Ku peluk sekuat mungkin tubuh Leila.
Kami saling bertangisan.

"Kamu harus ingat berapa lama kita bersama. Berapa musim yang kita lewatin. Dan aku harap, bukan karena jarak ini aku dan kamu jadi dua orang asing yang ga saling kenal" Aku melepaskan pelukanku dari Leila dan menatap dalam ke wajahnya.

Leila mengangguk dan mengulurkan kelingkingnya.
Aku mengaitkan kelingkingku juga di sana.
Cara yang kami lakukan sedari kecil saat kami saling berjanji.

Jadilah hari minggu ini adalah hari terakhir kebersamaan kami.

Aku ikut prihatin mendengar kabar perceraian kedua orang tua Leila.
Meskipun aku yakin bahwa orang tuaku tak akan seperti itu, tetap saja ada sedikit ketakutan dalam diriku.

•••••

Leila telah pergi ke pulau yang berbeda denganku.

Waktu bergulir begitu cepatnya.
Papah telah mengurus semua pendaftaranku di universitas kebanggaanku di Jakarta.

Sedangkan aku, mulai mempersiapkan semua barang bawaanku.
Ku rapihkan semua kenanganku bersama Asya, ku bawa juga serta ke Jakarta.
Aku masih ingin semua itu menjadi hiasan di kamarku nanti.

Ada perasaan berat untuk meninggalkan kota ini.
Disini ada cerita cerita ku bersama semua orang orang kesayanganku.

Tapi, kehidupanku harus terus berjalan.
Aku harus meraih cita cita yang ku gantungkan setinggi langit itu.

Aku teringat Bima.
Ku telepon dia, tapi tak ada sahutan sama sekali.
Sampai aku lelah menunggu suaranya.

5 menit kemudian, Bima menelponku.
Aku segera mengangkatnya secepat mungkin.
"Hallo Bim" aku langsung mengawali pembicaraan ini.
"Hallo, Fenita ya.. Ini mamahnya Bima. Bima lagi keluar, ga bawa handphone. Ada yang bisa tante sampein ke Bima mungkin?" suara lembut di ujung sana menyurutkan semangatku.
"Oh, engga kok tante. Ga papa, nanti aku telpon lagi aja. Tolong sampein aja ke Bima kalo aku telepon ya tante. Makasih banyak ya tante sebelumnya." aku berusaha seramah mungkin menyahuti mamah Bima.
"Gitu ya, ya udah nanti tante sampein ya Fen."
Lalu sambungan telepon terputus.

Aku menikmati kekecewaanku lagi.
Aku hanya ingin memberitakan kabar keberangkatanku ke Jakarta 3 hari lagi.

Aku masih duduk malas di atas ranjangku, saat suara klakson mobil mengejutkanku.
Ku lirik dari jendela kamarku.
Mobil papah ada di luar sana.
Menunggu gerbang terbuka.

Aku pun segera membukakan gerbang untuk papah.
Papah sudah menjemputku, itu artinya mulai nanti malam aku akan menginap di rumah papah dan mamah di kota tetangga.

Sesaat kemudian semua koperku sudah masuk ke bagasi, ku lihat Pa Amran yang sedikit kelelahan mengangkat 8 koper besar itu ke dalam mobil.

Papah merangkulku sangat erat di dalam mobil.
Aku merasa sedikit aneh dengan semua ini.
Ada perasaan tak enak menjalar di hatiku.
Tapi ku tepis semua itu jauh jauh.

"Anak papah udah gede.." papah mengacak lembut rambutku.
Ada nada sedikit menggoda yang ku tangkap pada kalimatnya.

"Apaan sih papah, ya iyalah.. Masa mau jadi anak TK terus?" aku memanyunkan bibirku dan bergelayut manja pada papah.

Masa masa seperti ini adalah moment yang tergolong langka dalam hidupku.
Aku hanya bisa seperti ini jika tak ada mamah di samping papah.
Mamah terlalu protektif terhadap papah.
Bahkan pada aku yang anaknya saja mamah bisa cemburu.

Aku tak mengerti dengan semua ini, dan aku tak ingin mengerti.

••••

Malam datang menjemput, ku tunggu telepon dari Bima.
Tapi tak ada satupun yang masuk ke ponselku.

Akhirnya ku putuskan untuk meneleponnya sekali lagi.
Tak di angkat.

"Bim, aku lusa berangkat ke Jakarta. Aku lanjut kuliah disana.
Sekarang aku di tempat mamah sama papah. Hehehe.. Biar mereka enak pas nganter ke bandara. Ga muter muter.
Kamu lagi sibuk banget ya?"

Akhirnya ku kirim sebuah pesan kepadanya.

Ku tunggu sampai jam 1 malam.
Tapi Bima tak membalas juga.
Aku mulai mengantuk dan tertidur.

Ketika Cinta Berkata LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang