Buruk

31 3 0
                                    

Sepanjang perjalanan aku dan Mike saling bungkam. Aku memilih duduk di bangku belakang.
Rasanya malas sekali untuk bersisian dengan makhluk setengah gila seperti Mike.

Mike memacu kecepatan mobilnya di atas 80 km/jam.
Jantungku berdegup lebih cepat, ada rasa takut yang menguasai diriku.
Tapi aku lebih memilih diam dan tak mengomentari Mike.

"Fen, makan dulu yu.." suara Mike begitu lembut memantul di gendang telingaku.

"Aku ga lapar" jawabku singkat.

"Aku minta maaf, Fen" Mike menepikan mobilnya dan berhenti.

Aku masih tetap diam tanpa merespon tindakan Mike.
Mike melepas seat beltnya dan menoleh padaku.

"Apa yang harus aku lakuin supaya kamu maafin aku?" tatapan Mike begitu serius.

"Aku cape, aku mau pulang." aku merasakan air mata mulai menggenang di mataku, mengapa aku jadi secengeng ini?

Pantaskah lelaki seperti Mike yang ku tangisi?
Pantaskah aku bersedih karena tindakan Mike?
Mike itu bukan kekasihku, apalagi suamiku.
Jadi, untuk apa aku menangis dan merasa sehancur ini?
Aku tak punya hak sama sekali untuk mengatur gaya hidup Mike.
Aku tak mungkin mengekang kebebasannya dan memaksanya mengikuti cara yang ku inginkan.

Mike kembali memacu mobilnya.
Tampak kekesalan di wajahnya.
Aku tak ambil pusing dengan semua itu.
Aku tak ingin membahas apapun dengannya.

Aku tak ingin terus berada didekatnya dan menyiksa hatiku dengan rasa cinta yang mestinya tak ada.
Aku ingin membunuh semua perasaan itu.
Rasa yang sebelumnya ku kira akan menemukan tambatannya.

Setelah beberapa jam perjalanan, aku kini sudah sampai di depan rumahku. Ku buka pintu mobil Mike dengan cepat. Aku langsung berlari dan meninggalkan Mike.

Aku memasuki rumah dengan terburu buru.
Mba Sur dan Pak Momon tampak bingung. Aku tak peduli. Aku langsung menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarku. Ku kunci pintunya, Mike mengetuk pintu kamarku berkali kali.
Tapi aku tetap tak ingin membukanya, ku benamkan wajahku di balik bantal dan ku nyalakan MP3 player dengan volume sekeras mungkin.

Aku tak ingin mendengar suara Mike lagi.
Aku kembali hanyut dalam kesedihan dan kekecewaanku.

Mengapa Tuhan menghadirkan cinta di hatiku untuk mencintai orang yang salah?
Mengapa aku harus berharap pada Mike?
Mengapa selalu seperti ini yang ku rasakan?

••••••

Aku duduk di bangku taman kampusku. Angin bertiup semilir menerbangkan dedaunan di bawah kakiku.
Ku buka novel tebal di pangkuanku, aku kembali membaca kalimat kalimatnya dan berusaha memahami setiap majas yang terkandung di dalamnya.

"Hai Fen.."Mike muncul lagi di hadapanku, hal yang tak pernah ku inginkan.

"Hei.." ku tutup novelku dan menggeser posisiku.

Semenjak kejadian di puncak valentine yang lalu. Aku selalu menghindar dari Mike.
Walaupun Mike selalu mengejarku dan menjelaskan panjang lebar. Aku tetap tak berniat untuk menjadikan semuanya baik baik saja.

Hatiku masih tetap membenci Mike dan kecewa padanya.
Bagiku tak ada lagi yang perlu ku pertahankan dari perasaan cintaku untuk Mike.

"Fen, kamu masih belum bisa maafin aku?" Mike kembali mengulang pertanyaan yang sama dengan hari - hari sebelumnya.

Aku diam saja.
Ku buang pandanganku ke arah kanan, disana ku dapati beberapa ekor angsa yang sedang berenang di kolam.
Sangat indah, warna putihnya seperti kapas tanpa noda.

Ketika Cinta Berkata LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang