Dimana Keadilan Itu?

55 3 0
                                    

"Kamu bodoh Asya. Kenapa kamu biarin keadaan separah ini? Kenapa kamu korbanin 'kita' demi orang lain. Orang yang sama sekali ga punya otak dan ga pernah memikirkan kamu"

Aku menutupi wajahku dengan ke dua tanganku.
Rasa tak percaya menguasai pikiranku.
Cerita yang baru saja ku dengar sangat mustahil untuk ku percayai.

Semuanya terasa seperti sebuah drama.
Bahu ku bergetar menahan tangisanku.

Asya menyodorkan segelas air padaku.
Ku teguk sedikit, ada secuil ketenangan yang aku rasakan.

Ku buka mataku lebar lebar.
Ku paksa tubuhku untuk duduk lebih tegak di hadapan Asya.

"Kamu bodoh Asya. Kenapa kamu biarin keadaan separah ini? Kenapa kamu korbanin 'kita' demi orang lain. Orang yang sama sekali ga punya otak dan ga pernah memikirkan kamu" ada kemarahan yang terselip di antara kata kataku.
"Aku ga punya pilihan" Asya menatap dalam ke mataku.
Aku berdiri dan melangkah ke sofa panjang di ruang tv. Asya mengikuti ku, lalu duduk tepat di sebelahku.

"Kamu fikir.. Apa yang bisa kamu harapin untuk masa depan kamu nanti? Semuanya udah berakhir saat kamu setuju sama semua hal bodoh itu Sya. Aku ga pernah nyangka kalo kamu selemah itu. Demi Anya, kamu buang semua mimpi mimpi kita. Kamu biarin aku jatuh sampai ke dasar bumi, sedangkan kamu.. membangun istana baru sama perempuan gila itu? dimana otak kamu Asya? Dimana?" aku tak bisa lagi mengontrol kata kataku.
Tanganku sudah memukuli dada Asya.
Aku marah, sangat marah.

Asya meraih kedua lenganku..
Dan dia memelukku sangat erat.
Aku menangis sejadinya dalam pelukan Asya.
Tubuh Asya sedikit bergetar, dia menahan tangisannya.
Dia terus memeluku, seperti tak ingin melepaskan aku lagi.
Nafasnya terasa hangat di puncak kepalaku.

Entah berapa lamanya aku menangis dalam posisi itu.
Aku sangat lelah, mataku terasa berat untuk terbuka.

•••••

Suara gemericik air dari kamar mandi membangunkanku dari mimpi.
Ku putar bola mataku.
Pemandangan yang tak biasa ku jumpai saat terbangun membuatku terlonjak dari tempatku berbaring.

Aku memutar otakku, mengapa aku ada di ruang tv..?

Aku langsung ingat.
Asya.
Semalaman aku bersamanya.
Ku lihat jam di dinding, menunjukan pukul 07.30.
Telat sudah untuk berangkat ke sekolah.
Aku segera bangun dan merapihkan rambutku yang kusut masai.

Asya keluar dari kamar mandi.
Rambutnya masih basah, beberapa tetes air masih menggantung di ujung dagunya.

Aku ternganga menatapnya.
Aku tak pernah melihat Asya seperti ini sebelumnya.

Otakku berfikir cepat.
Jika Asya dan Anya sudah menikah.
Pasti seperti inilah kegiatannya setiap hari di depan Anya.

Shiiitt.. Rasa cemburu menguasai hatiku.
Sekilas ku lemparkan tatapan penuh kebencian ke arahnya.
Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya dari dalam.

Ku biarkan saja Asya di luar.
Aku mandi dan berlama lama di dalam kamar mandi.
Berbagai macam perasaan bercampur aduk menjadi satu.
Aku berharap saat ku keluar aku tak lagi melihat Asya disana.
Aku harap semua ini mimpi.

Setelah rapih, aku keluar dari kamarku.

"Pap.. Pap.. Pap.." suara khas bayi yang baru belajar bicara memanggil papahnya mengagetkan pendengaranku.
Aku menoleh cepat ke arah sumber suara.
Di layar ponsel Asya sekarang penuh dengan wajah bayi lucu yang sangat menggemaskan.
Video call yang sedang berlangsung membuatku melangkah mundur.
Asya tak menyadari kehadiranku.

Aku menyaksikan itu semua dari balik kamarku.
Aku merosot ke tanah, lututku terasa sangat lemas.

Semua ini bukan mimpi.
Ini nyata dan ini kenyataan yang harus aku terima.

"Kapan balik Sya? Ronald rewel terus nih, aku pusing." Suara Anya di ujung sana semakin meremukan hatiku.
"Terserah aku mau balik kapan, urus anak kamu sendiri!" Asya menyudahi sambungan video callnya dan memasukan ponselnya ke dalam saku celananya.
Aku sedikit terkejut mendengarnya.
Jadi, Asya dan Anya ga seharmonis yang aku kira.

Aku menghampiri Asya yang masih duduk di ruang tv.
Aku berdiri di belakangnya.
"Kamu boleh pulang sekarang Sya. Semuanya udah jelas. Kita cuma tinggal masa lalu. Aku doain semoga keluarga kecil kamu bahagia selamanya. Salam ya untuk Anya. Jadi papah yang baik ya Sya" Aku menatap kosong kedepan.
Asya bangun dan menatapku.
"Dia bukan anak aku, Fen. Tolong percaya sama aku" Asya langsung memprotes ucapanku.
"Pergi Sya. Aku mohon, jangan pernah hadir di kehidupan aku lagi. Keluarga kamu udah nunggu" suaraku semakin melemah.
"Fen, sampai kapanpun aku ga akan pernah ngakuin kalo Anya itu istri aku, apalagi anak itu. Dia bukan siapa siapa aku. Semua ini cuma sementara. Aku sama Anya akan segera cerai. Aku bakal balik lagi ke Bali. Aku bakal jadi aku yang dulu lagi. Yang cuma milik kamu Fen. Aku janji." Asya berbicara panjang lebar sambil menggenggam tanganku.
"Kamu fikir semuanya bisa jadi kaya dulu lagi. Kamu kira aku bisa maafin kamu dan nerima kamu lagi. Semuanya udah beda Asya. Aku, kamu, dan masa lalu kita. Anggap itu semua ga pernah ada. Sekarang kamu pergi. Pergiiiiiii" Aku berteriak sambil menatap tajam wajah Asya.
"Fen.. Aku mohon Fen, kasih aku kesempatan." Asya berusaha merayuku lagi.
"Pergi" aku mengarahkan telunjuk ku ke pintu utama rumahku.
"Aku sayang kamu Fen, aku bakal buktiin semua itu. Kamu tunggu aku Fen. Tunggu" Asya menghapus air di sudut matanya sambil berjalan gontai ke arah pintu rumahku.

------------------------------------------------------

Waduh waduh..
Kenapa jadi serunyam ini ya..

Tenang - tenang, semua masalah pasti ada jalan keluarnya.


Aku sengaja masukin official video nya Geisha yang itu,,
Menurut aku itu cocok banget sama perasaan Fenita.
Dan  buat aku dendiri, semua lagu lagu Geisha itu menyentuh banget.
Bisa jadi inspirasi tulisan aku selanjutnya.

Soooo...

Untuk tahu gimana titik terang dalam kehidupan mereka itu muncul..
Jangan berhenti untuk baca..

Part berikutnya udah menunggu..

Ketika Cinta Berkata LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang