Guntur pov
Pagi sekali, kami bertolak dari Jogja, menuju Magelang. Yang jarak tempuhnya lumayan dekat. Kenapa kami pilih berangkat pagi-pagi, itu karena kami hendak ke borobudur terlebih dahulu. Menurut Guruh, kemungkinan besar, abang kami itu sedang liburan. Sebab markas kopassus, bukan berada di Magelang. Markas kopassus yang paling dekat, ada di Sukoharjo. Itu pun, hasil tanya mbah google. Bagi gue, ini pertama kalinya datang ke borobudur. Jadi, ya gue dengan semangat mengemudi ke sana, lebih tepatnya ngebut. Sekali-kali ngerjain saudara sendiri asik juga. Mbak Duo F, teriak-teriak di kursi tengah, sambil berpegangan. Sementara adek gue, yang awalnya ketakutan. Sekarang malah santai, dengerin musik pake headset. Dan ga peduli apa yang terjadi. Kami akhirnya sampai di borobudur, tepat saat loket baru saja di buka.
"Guntur, pokoknya kamu ga boleh, nyetir lagi. Kamu mau bikin kita berdua jantung, "suara mbak Fania menginterupsi.
"Ayolah mbak, gue cuman ngebut dikit. Toh, gue masih patuh peraturan. Dan loe ga luka kan! Kalau loe larang gue nyetir. Trus, siapa yang bawa itu mobil. Loe lupa, loe ama mbak Flora ga bisa nyetir, si adek masih kena larangan ayah. Hayo, coba jawab, siapa yang bakal bawa, "tanyaku yang membuat dia diam.
"Ga bisa jawab kan! Udah, mending Diem aja. Yang penting, kita balik dengan selamat. Yok, masuk. Gue belum pernah liat borobudur secara langsung."
Kami berempat, memasuki pelataran candi, jalan dari pintu masuk ke candi. Lumayan dekat, sekilas memang terlihat jauh. Tapi, percaya deh. Sebenarnya deket banget. Kami menapaki satu per satu anak tangga, untuk naik ke atas. Mungkin, kalau kalian baru datang, pertama kali, ini akan menjadi tantangan, karena tangga ini lumayan curam. Tapi, begitu sampai di atas, kalian akan du manjakan dengan pemandangan yang apik.
"Oke, ini baru mulai rame, sekarang, gimana, kita cari dia. Kita ga tau nama, dan juga rupanya, "tanya mbak Flora pada kami.
"Gampang, cari aja mas-mas yang badannya tegap, masih muda, terus gaya potongan rambutnya ala - ala tentara. Pasti ketemu, soalnya tentara ama rakyat sipil, bisa di bedakan, sedemikian rupa. Terlebih, kalau dia memang lagi liburan. Artinya dia bakal jalan sama teman-temannya. Ya, kita coba cari aja, "celetuk Guruh, sambil asik memfoto pemandangan.
"Bener tuh, kata adek. Kita, cari aja dulu. Siapa tau ketemu. Jangan patah semangat. Allah dah kasih kita petunjuk yang ga boleh di sia-siakan." kata mbak Fania.
Kami berempat berpengaruh. Aku dengan mbak Flora, sementara Guruh dan mbak Fania menunggu di atas. Bisa jadi waktu kami mencari, dia sudah di atas. Apalagi tangga untuk naik dan turun, cuma satu. Kemungkinan 50:50. Sudah satu jam, kami mencari, dan borobudur sudah mulai penuh dengan turis, membuat kami memutuskan untuk istirahat sejenak.
"Capek, mbak Flora, gue lupa tanya? Gimana cara loe survive sama mbak Fania. Berbeda dari gue, yang punya orang tua angkat. Loe berdua, ga punya kan, "tanya ku.
"Tak pikir, kamu ga bakal tanya itu. Gini-gini, kami berdua itu hidup sebagai anak jalanan. Ya, awalnya ngamen. Tapi, kemudian kami di tolong oleh orang-orang dari panti asuhan. Dan akhirnya bisa sekolah, kami hidup di panti cuman 5-6 tahun. Kemudian, kami kos dan baru waktu lulus smp, akhirnya bisa kontrak rumah. Alhamdulillah banyak orang yang baik, nolong kami. Tapi, kok loe tanya soal itu sekarang. Ada yang loe fikirin ya, "
"Ya gitu mbak. Entah kenapa, gue ngerasa hampa, di pencarian kita kali ini. Sebenarnya yang gue liat, bukan cuman angka. Tapi, ada yang lain juga. Gue ga bilang, karena takut adek kefikiran. Yang gue liat, semacam keaendirian dan emosi yang gak terkontrol. Kelihatannya hidup abang kita ini pedih kak, lebih pedih dari kehidupan kita, "
" SERIUS!!!, "kak Flora berekspresi kaget." Kalau gitu, kita harus kasih tau mbak Fania, sama Guruh. Kalau mereka dah nemuin dia, bisa gawat. "Mbak Flora langsung berlari dan gue mengikuti dari belakang.