- 37 -

7.5K 685 34
                                        

Bau arsenol khas rumah sakit kembali membelai penciumanku. Aku terbangun dan merasakan satu tanganku basah sedang lainnya tertancap jarum infus.

Dari tempatku sekarang aku bisa melihat seseorang sedang menggenggam tanganku sambil menumpukan kepalanya pada genggaman tangan tersebut. Tubuh pria tersebut bergetar dan tanganku terasa basah. Jelas ia sedang menangis. Aku jelas tahu siapa pria itu. Senyuman pun terbit di wajahku.

"Jangan nangis, Bi. Muka kamu jelek kalau nangis." Bintang mendongakkan kepalanya mendengar suaraku.

"Alhamdulillah Ya Allah."

"You look terrible, Bi," ucapku lagi sambil menatap ngeri ke arah Bintang. Bagaimana bisa ia berubah menjadi mengerikan seperti itu?

"Sempet ya ngomentari penampilanku. Kamu udah bikin aku jantungan tahu nggak?" Aku tersenyum melihat wajah marah Bintang jelas terlihat dibuat-buat. Aku mencoba mengingat kembali kejadian sebelum aku pingsan. Jantungku bertalu, dadaku pun terasa sesak, rasanya sulit untuk bernapas dengan normal ketika aku mengingat yang terjadi. Keringat mulai membasahi wajahku. Genggaman tangan Bintang membuatku reflek mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Jangan diingat. Fokus sama kesembuhan kamu. Ingat, aku ada di sampingmu apapun yang terjadi."

"Mereka dimana sekarang?"

"Mereka di luar. Dokter bilang kamu tidak boleh terguncang. Jangan sampai kondisimu lebih buruk hanya karena situasi yang tidak kondusif. Dan aku yang melarang mereka masuk, mereka yang bikin kamu seperti ini. Aku nggak mau ambil resiko."

"Makasih ya, Bi. Maaf selalu ngerepotin kamu."

"Kamu nggak pernah ngerepotin aku. Kamu itu prioritas pertamaku. Semua waktuku saat ini hanya untuk kamu," jawab Bintang sambil mengecup lembut punggung tanganku dan menatapku lekat. Kali ini aku tidak ingin menolak perlakuan manis Bintang ini. Sungguh aku sangat membutuhkannya.

"Ehmm..." Suara dehaman membuatku segera menoleh ke asal suara. Bang Arsa sudah berdiri di dekat pintu dengan satu alis naik. "Gila, baru beberapa jam gue tinggal, kenapa semua kacau begini? Dan gimana bisa Om sama Tante ada di sini? Gue malah ngiranya lo berdua udah dua-duaan. Kaget pas karyawan ngabarin lo pingsan."

"Panjang ceritanya, Bang. Bisa pingsan lagi gue kalau harus nyeritain."

"Yaudah lah nggak penting. Yang penting lo nggak apa-apa sekarang. Dan mestinya gue nggak perlu buru-buru ke sini. Udah ada kakanda tercinta di sini," ucap Bang Arsa sambil melirik ke arah Bintang.

"Udahan napa godainnya. Iiisshh," sewotku membuat Bang Arsa terkekeh. Bahkan Bintang pun ikut terkekeh bersamanya. Menyebalkan mereka!

"Bang, bilang sama mereka untuk pergi. Gue belum ingin ketemu atau dengar tentang mereka," ucapku ketika Bang Arsa dan Bintang terdiam.

Netra Bintang membelalak mendengar ucapanku. "Nau ...."

"Please, Bi. Kamu sendiri yang bilang jangan paksakan diri. Dan ini yang sedang aku lakukan." Terlihat keduanya saling bertatapan.

"Baiklah. As you wish. Saat ini yang paling penting adalah kondisi lo Ra," jawab Bang Arsa pada akhirnya. Ia pun hendak berjalan keluar namun Bintang mencekal tangannya.

"Saat ini kondisi Naura yang paling penting, Bi. Dan gue bakal lakuin apapun untuk itu. Termasuk bertengkar dengan dua orang di luar sana, ataupun dengan lo," ucap Bang Arsa tegas. Bintang pun melepaskan cekalan tangannya.

Bang Arsa kemudian mendekat padaku dan mengelus rambutku pelan sambil berucap, "It's oke, lo istirahat aja, Ra. Gue pastiin mereka nggak akan ganggu lo tanpa persetujuan lo sendiri."

Love You, Latte! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang