"Rasanya seperti fatamorgana, ketika dirinya begitu dekat di depan mata. Jika bisa untuk sekali ini saja, kupinta raga dan jiwanya untuk kumiliki,"
🐋🐋🐋
Ferry masih terkapar di atas ranjangnya. Lelaki itu masih merasakan sakit perut yang hebat. Bahkan, ia sudah bolak-balik ke kamar mandi untuk membuang segala isi perutnya. Lelaki itu terkapar lemas, mungkin hari ini ia akan absen dulu.
Sementara itu, di tempat lain Vanys sudah bersiap diri. Namun, gadis itu belum menjumpai motor atau mobil milik Ferry di halamannya. Atau mungkin lelaki itu kelas siang? Tapi, tak mungkin jelas-jelas ia tahu jadwal kuliah sahabatnya.
"Apa gue ke rumahnya aja, ya? Sekalian ketemu sama Tante Andini," gumam gadis itu. Setelah menimbang keputusannya, gadis itu mengambil totebag miliknya, lalu pergi ke depan untuk menunggu taksinya.
Sekitar 10 menit, taksi online yang dipesannya pun sampai. Gadis itu bergegas masuk ke dalam, mengarahkan sang sopir taksi untuk pergi ke rumah Ferry.
Selama perjalanan, gadis itu mencoba menghubungi Ferry. Namun, tetap saja semua panggilannya tak aktif. Ada apa gerangan? Biasanya Ferry tak pernah mengabaikan panggilannya.
Perjalanan dari rumah Vanys ke rumah Ferry selama 40 menit—30 menit jika menggunakan motor. Gadis itu bersegera membayar dan keluar dari taksi.
"Selamat pagi, Mbak Vanys!" sapa Pak Ratno—satpam rumah Ferry—dengan ramah. Vanys yang awalnya tak melihat karena cemas, hanya menundukkan kepala dan tersenyum.
Vanys menyegerakan langkahnya agar sampai di pintu besar rumah itu. Gadis itu memencet bel rumah itu. Rumah Ferry lebih megah daripada rumahnya. Mengingat Ayah Ferry adalah teknisi sipil yang bekerja di Dubai. Dan ya, mungkin salah satu alasan jika Ferdi tak pernah terlihat di rumah megah ini.
"Loh, Vanys? Kamu ke sini?" tanya Andini yang menyambut kedatangan teman putranya. Gadis itu tersenyum sembari menyalimi tangan Andini.
"Iya, Tan. Mau main sekaligus mau tau keadaan Ferry. Biasanya udah jemput, eh ini enggak, hehe," balas Vanys. Andini menepuk dahinya sendiri.
"Ferry hari ini nggak masuk kuliah. Perutnya sakit, asam lambungnya kambuh kemarin pas pulang malam. Nggak tau karena apa, ditanyain abis makan apa nggak mau ngaku," jelas Andini. Vanys mengerutkan dahinya.
"Loh, Ferry udah nggak boleh makan pedas, ya, Tan?" tanya Vanys. Andini mengangguk.
"Iya, sejak satu semester lalu kalo nggak salah. Ya udah, deh kamu kalo mau jenguk langsung ke atas aja," suruh Andini. Vanys dengan raut tak enak hanya mengangguk.
Vanys mengulum bibirnya saat menaiki tangga. Gadis itu merasa bersalah karena kemarin memaksa Ferry tanpa menanyai lelaki itu dulu. Apalagi lelaki itu malah menutupi kesalahannya yang begitu fatal.
"Fer! Ini gue, gue masuk, ya?" ujar Vanys dengan ragu. Tak ada jawaban. Gadis itu tetap masuk setelah mengintip. Ternyata Ferry masih tertidur di atas ranjang. Gadis itu mendekat ke ranjang, mendudukkan dirinya di tepi ranjang.
Vanys menghela napasnya melihat Ferry yang terpejam di atas ranjang. Terlihat keringat di pelipis lelaki itu. Pasti begitu perih. Vanys mengambil selembar tisu di nakas Ferry, lalu tangannya mengulur untuk mengelap keringat Ferry. Lelaki yang tertidur itu terkejut. Refleks mencegah tangan Vanys. Keduanya bertatapan.
"Lo di sini?" tanya Ferry sembari melepas tangan Vanys. Gadis itu mengangguk.
"Gue minta maaf. Nggak seharusnya gue maksa lo kemarin," ujar Vanys. Gadis itu menundukkan kepalanya.
"Gue nggak apa-apa," balas Ferry. Lelaki itu menggenggam tangan Vanys, lalu diletakkannya di atas dadanya.
"Lo nggak kuliah? Sejam lagi masuk loh," kata Ferry. Vanys malah memukul dada Ferry karena sebal.
"Bisa-bisanya mikirin gue. Mikirin diri lo sendiri dulu. Lo kayak gini gara-gara gue, masa gue tinggalin lo," geram Vanys.
"Ya kali aja. Hari ini 'kan yang ngajar asisten Pak Prabu. Emang lo nggak mau cuci mata di pelajaran Pak Milo?" sindir Ferry. Vanys memasang wajah merajuknya.
"Ngeselin banget, sih!" gerutu Vanys. Saat gadis itu mencubiti tubuh Ferry karena kesal, gadis itu sampai hilang kontrol. Ferry yang sakit pun masih bisa mengangkat tubuh kecil Vanys. Dan saat posisi mereka merasa begitu intim, Andini masuk ke dalam kamar putranya.
"Astaga!" seru Andini. Wanita itu dengan cepat menaruh nampan berisi makanan dan obat di atas nakas. Lalu, ia menjewer telinga Ferry.
"Ma, kuping Ferry putus nanti!" pekik Ferry merasakan sakit di telinganya. Vanys pun bergegas bangkit dari ranjang. Gadis itu merasa malu sekaligus canggung.
"Kamu tuh, ya kalo mau besok Papamu, bakal Mama suruh pulang buat lamarin Vanys. Nakal banget, sih!" maki Andini, tangannya pun sudah terlepas dari telinga Ferry.
Vanys yang tak tahu harus apa, kini hanya bisa terdiam.
🐋🐋
Setelah adegan intim tadi, keduanya sudah duduk di gazebo taman belakang. Ferry duduk bersandar di bantal yang disusun di belakangnya, sedangkan Vanys menyuapkan makanan ke mulut lelaki itu.
"Lo ... gimana? Udah baikan sama Arion?" tanya Ferry. Vanys menggelengkan kepalanya.
"Belum, nggak tau deh sampai kapan juga balikannya," ujar Vanys lesu. Gadis itu meletakkan piringnya di meja yang mereka susun.
Ferry meraih tangan Vanys, lalu menggenggamnya erat sampai sang empu menoleh kepadanya. Ferry mengelus punggung tangan itu.
"Lo nggak perlu khawatir, kalaupun nanti nggak bisa untuk baik-baik aja, gue selalu di samping lo kok. Gue akan selalu ada buat lo, bahagiain lo," ujar Ferry dengan tangan yang masih menggenggam dan mengelus punggung tangan Vanys.
Melihat Vanys yang berkaca-kaca, lelaki itu melepas genggamannya. Tangannya beralih mendorong meja di antara mereka ke ruang lain. Dengan cekatan, Ferry menarik tangan Vanys sampai tubuh gadis itu tertarik ke dadanya. Ferry memeluknya penuh perasaan.
"Lo nggak perlu khawatir. Gue nggak akan pernah ninggalin lo apalagi nyakitin lo," tutur Ferry. Vanys semakin menangis. Tangan Ferry terulur untuk mengelus punggung gemetar Vanys.
Jika saja Vanys bisa merasakannya, saat ini juga Ferry akan menyatakan isi hati yang dipendamnya selama 5 semester. Ferry sangat ingin memiliki.
"Besok lo temenin gue, ya buat nemuin Arion. Gue takut kalo sendiri," pinta Vanys. Hati Ferry mencelos, apakah gadis ini masih berharap lebih? Karena tak mau menyakiti, Ferry hanya mengangguk saja.
"Makasih," lirih Vanys. Gadis itu memeluk Ferry lebih erat lagi. Bahkan, getaran di hati Ferry semakin tak karuan. Namun, Vanys tak bisa merasakan hal yang sama. Entah sampai kapan.
🐋🐋🐋
He yoo! Gimana guis? Kemarin aku udah update, 'kan? Sekarang aku update lagi, yap! Jangan lupa vomment, terima kasih.
Big luv,
Vanilla Latte❤
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romance[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...