Potret 3 : Babu

2.3K 111 29
                                    

"Ketika diri tak menjadi sasaran hati. Ketika mata harus menyaksikan sendiri keterpahitan. Ketika raga hanya bisa disentuh, tanpa rengkuhan."

🐋🐋🐋

Oktober 2020

Ferry memasukkan bekal yang diberikan oleh Mamanya ke dalam tas. Bekal itu bukan untuk ia makan, tetapi untuk diberikan oleh Vanys. Semuanya perintah sang mama. Memang, Mama Ferry lebih menyayangi Vanys daripada dirinya. Ferry menyalimi tangan Andini, tak lupa lelaki itu tersenyum padanya.

"Hati-hati! Pake mobil aja, biar nanti Vanys aman. Pokoknya kalian jangan ngebut!" teriak Andini ketika Ferry sudah sampai di halaman depan. Lelaki itu langsung masuk ke dalam mobilnya. Meletakkan tasnya di jok samping, lalu menancapkan gas menuju rumah Vanys.

Perjalanan kali ini tak terlalu padat. Ferry sengaja menyiapkan dirinya pagi-pagi sekali agar tak terjebak macet. Terhitung 30 menit ia menikmati perjalanan dengan alunan musik. Lelaki itu langsung turun dari mobil setelah sampai di halaman Vanys. Lelaki itu membawa sekotak bekal untuk gadis itu.

"Van, gue bawain makanan nih dari Mama!" seru Ferry. Lelaki itu pergi ke meja makan untuk meletakkan makanannya.

"Van, turun, yuk!" teriak Ferry dari lantai bawah. Karena tak mendapat jawaban, Ferry akhirnya pergi ke lantai dua. Lelaki itu akan masuk ke kamar Vanys.

Mengetuk pintu, hal pertama yang Ferry lakukan agar tidak disebut lancang. Walaupun lelaki itu berulang kali harus mandiri karena pintu tak pernah dikunci.

"Van!" seru Ferry. Masih tak ada jawaban. Mungkin saja gadis itu masih tidur dan Bi Anis sedang ke pasar. Lelaki itu menerobos masuk begitu saja. Dilihatnya seorang gadis yang tengah meringkuk di atas ranjangnya. Kamar yang kotor dan berserakan. Di lantai ada banyak tisu yang dibuang secara sembarangan. Lelaki itu menghampiri, duduk di tepi ranjang.

"Van, bangun! Van, lo kenapa? Lo sakit?" tanya Ferry dengan tangannya yang digunakan untuk menggoyangkan bahu Vanys. Vanys hanya meleguh, mata gadis itu begitu bengkak, sampai-sampai matanya tak bisa untuk dibuka.

Ferry membantu Vanys untuk duduk bersandar pilar, tetapi gadis itu mendadak lemas dan lebih memilih menyenderkan kepalanya di bahu Ferry. Jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Apalagi sekarang ditambah dengan kepala gadis itu yang mengusik, seakan mencari tempat yang nyaman untuk bersandar.

"Gue pusing banget. Perut gue sakit, melilit rasanya," adu Vanys. Gadis itu meringis dan semakin memejamkan matanya.

"Lo nggak telat makan 'kan?" tanya Ferry. Vanys menggeleng semampunya.

"Ini tanggal berapa?" tanya Ferry dengan refleks. Lelaki itu paham betul tanggal dapet Vanys. Karena gadis itu sering kali mengaduh kesakitan padanya.

"Kayaknya iya, deh," balas Vanys. Ferry menghela napasnya. Lelaki itu menegakkan tubuh Vanys.

"Lo mandi dulu, gue beresin kamar lo," suruh Ferry. Vanys pun mengangguk. Lelaki itu sengaja keluar dulu untuk mengambil alat bersih-bersih. Lebih tepatnya ia memberi ruang untuk Vanys. Walaupun mereka bersahabat, tetapi Ferry harus tahu batasannya.

🐋

Ferry sudah membereskan tisu yang berserakan ke dalam keranjang sampah. Saat lelaki itu selesai, Vanys pun juga selesai dengan ritualnya. Gadis itu berjalan ke ranjang dan merebahkan dirinya lagi. Ferry menggelengkan kepalanya.

"Itu kertas apa yang lo buang?" tanya Ferry ketika melihat sekumpulan kertas di atas meja dan sisanya dibuang di bawah meja.

"Enggak gue buang, jatuh kali. Habisnya gue pusing mau bikin desain kemasan yang bagus buat tugas manajemen pemasaran. Nggak tahu, deh dosennya ngada-ada. Dikira sini anak DKV apa," gerutu Vanys.

"Makanya kuliah itu yang pinter, jangan pacaran aja," cibir Ferry. Vanys tak mau berdebat lebih, gadis itu lebih memilih memejamkan matanya.

Ferry yang melihat Vanys malah terlelap, memilih untuk melanjutkan tugas gadisnya. Lelaki itu duduk manis di depan meja belajar Vanys. Ya, mahasiswa teknik sipil harus bisa gambar, dong.

🐋🐋

Ferry berjenggit kaki agar langkahnya merusak tidur Vanys. Lelaki itu menyelinap keluar kamar saat tugas Vanys sudah selesai. Begitu juga bertepatan dengan jam kelasnya yang sejam lagi akan dimulai.

"Fer? Lo mau ke mana?" tanya Vanys saat matanya terbuka. Hidungnya mencium parfum khas milik lelaki itu.

"Gu-gue mau kuliah, hari ini kuis," kilah Ferry. Vanys menekuk bibirnya.

"Lo tega ninggalin gue sendiri? Perut gue sakit, lo nggak kasihan apa?" ujar Vanys. Jurus inilah yang selalu gadis itu keluarkan. Jika sedang kesusahan selalu ingat dia, jika bahagia pasti Arion yang kena imbasnya.

"Lo sama Arion aja, deh. Gue nggak bisa ninggalin kuis," tolaknya. Vanys semakin menekuk bibirnya. Matanya sudah berair. Hormonnya selalu begini setiap bulan.

"Cowok gue Presma," keluh Vanys. Gadis itu menangis sejadinya. Ferry mengembuskan napasnya, mau tak mau ia harus mengikuti kemauan Vanys.

"Lo mau apa sekarang?" tanya Ferry saat sudah di depan Vanys yang tengah duduk.

"Mau makan, katanya lo bawain gue makanan dari Tante Dini, mana?" tagih Vanys. Ferry memutar bola matanya. Ia harus pergi ke bawah untuk mengambilnya.

Sekitar 10 menit, Ferry sudah berada di kamar Vanys lagi. Lelaki itu terkejut ketika Vanys tengah memainkan ponselnya.

"Lo apain handphone gue!" sentak Ferry. Lelaki itu langsung merebut ponselnya kembali.

"Lo sama Viola ada hubungan, ya? Hayo, ngaku. Cie ...," ledek Vanys. Ferry melayangkan tatapan tajamnya.

"Apaan sih? Nih, makan sendiri!" ujar Ferry sembari memberikan sekotak nasi kuning spesial itu. Ferry kesal, lelaki itu memilih untuk keluar dari kamar Vanys.

Sementara itu, gadis yang telah menghabiskan sekotak nasi kuning selama 7 menit itu turun untuk mencari keberadaan Ferry. Dengan bersusah payah menahan nyeri, ia berjalan menuruni tangga. Dilihatnya Ferry yang duduk di halaman belakang samping kolam renang.

"Fer! Gue minta maaf," ujar Vanys di sela menahan nyerinya. Gadis itu berjalan menuju halaman belakang. Gadis itu memilih duduk di samping Ferry yang membelakanginya.

"Gue minta maaf udah lancang sama lo. Gue janji nggak akan lancang lagi. Gue minta maaf, ya," bujuk Vanys. Ferry mengembuskan napasnya.

"Nggak nyeri dibuat jalan sampe ke sini?" tanya Ferry.

"Habisanya lo marah sama gue. Ya mau nggak mau gue ke sini," balas Vanys.

"Mau apa lagi?" tanya Ferry dengan lembut dan sabar. Senyum Vanys merekah. Gadis itu langsung menjawabnya lantang.

"Mau es krim!"

Ferry pun bergegas menuju kulkas, tetapi tak mendapati es krim di sana. Alhasil lelaki itu harus keluar untuk membelinya. Ya, hari ini namanya terus-terusan dipanggil.

"Fer, gue mau main puzzle!"

"Fer, gue mau bakso depan kompleks!"

"Fer, gue mau sate Bang Maung!"

"Fer, gue mau dibeliin air galon, tapi yang nganter harus Bang Atuy!"

"Fer! Fer! Fer! Fer!"

Begitulah namanya dipanggil puluhan kali. Babu, nasib sudah.

🐋🐋🐋

He yoo! Maaf updatenya malam banget. Semoga yang masih gadang, bisa baca. Selamat membaca. Jangan lupa vomment. Terima kasih.

Big luv,

Vanilla Latte ❤

43 Bagian Cerita Vanys [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang