"Rasa memang tak selaras. Namun, cukupkan aku menjadi raga yang merengkuh atma tanpa melibatkan rasa,"
🐋🐋🐋
Pagi menyambut. Kertas kuis Pak Burhan menjadi sarapan wajib Ferry. Lelaki dengan balutan kaos dilapisi jaket jeans itu berkali-kali menggaruk kepala. Gara-gara Vanys semalam, lelaki itu lupa untuk belajar. Terlebih jam Pak Burhan dimajukan menjadi pukul 7. Tak ada waktu untuk Ferry belajar meskipun sebentar.
Helaan napas terdengar cukup keras. Waktu mengerjakan kuis telah selesai. Ferry tak tahu akan berakibat apa nanti untuk hasilnya. Lelaki itu memilih menidurkan kepala di atas meja. Pak Burhan tengah membereskan kertas jawaban. Setelah itu, beliau meninggalkan kelas karena hari ini hanya ada jadwal kuis saja.
"Huh!" Helaan napas Ferry terdengar. Lelaki itu belum mendapat kabar apa pun dari Viola tentang Vanys. Energinya seakan habis, padahal belum digunakan untuk apa pun.
"Fer, kantin yuk!" ajak Bara—teman Ferry—seyara menepuk bahu lelaki yang masih menidurkan kepalanya. Ferry menggeleng.
"Lo duluan aja. Gue ada urusan abis ini," balas Ferry. Bara pun mengangguk. Lelaki itu mengajak temannya yang lain.
Sementara, Ferry mulai mengangkat kepala. Ia membereskan buku-buku miliknya, lalu bergegas pergi. Kakinya melangkah melewati koridor. Ia akan melihat Vanys sendiri di gedung FEB. Namun, langkah terhenti. Mata Ferry menangkap Vanys yang menunggu di depan ruang kelas gedung FT.
"Nungguin siapa? Salah kelas dia?" gumam Ferry dengan alis menyerit. Saat lelaki itu hendak memanggil dan melambaikan tangan, Vanys sudah menggandeng tangan lelaki lain. Dirga, lelaki yang bersama Vanys semalam. Ferry menghela napas. Ia melangkahkan kaki lebih cepat. Mungkin, ia dapat menyaingi Vanys dan Dirga sekarang.
"Fer! Ferry!" panggil seseorang. Ferry mengenal suara itu, tetapi dirinya masih enggan untuk menoleh. Gadis di sana mendengus. Namun, dengan tekad yang kuat, Vanys berhasil menghadang Ferry.
"Fer, lo masih marah sama gue? Harusnya gue yang marah sama lo. Ih, jangan diem gitu, dong!" seru Vanys. Gadis itu tak berhenti mencerocos.
"Iya, gue marah sama lo. Lo bikin gue khawatir. Puas?" sentak Ferry. Vanys menekuk bibir ke bawah. Kemudian, gadis itu memeluk tubuh Ferry untuk meredam semua amarah lelaki itu. Ferry sedikit terkejut, tetapi setelah itu ia membalas pelukan Vanys. Ia rindu aroma gadis itu.
"Gue minta maaf, deh. Tapi sekarang gue dah dapet kontrakan, kok," jelas Vanys yang masih memeluk Ferry. Mendengar Vanys tinggal di kontrakan, lelaki itu membulatkan mata. Ia mendorong tubuh Vanys guna melepas rengkuhan.
"Kontrakan? Lo tinggal di kontrakan? Di mana? Gimana nanti kalo lo digangguin sama orang asing? Gue laporan apa sama orang tua lo?" cerocos Ferry. Dirga yang sedari tadi jadi pengamat, lelaki itu angkat bicara.
"Aman, kok. Lo tenang aja. Gue udah pastiin kalau kontrakan itu aman," sahut Dirga. Ferry masih belum puas. Masih ada hal mengganjal di hatinya tentang lelaki ini.
"Nggak, pokoknya lo nanti kirim alamat ke gue, gue bakal lihat langsung gimana kontrakan lo," pinta Ferry terdengar memaksa kepada Vanys. Vanys mendecak.
"Kenapa, sih? Gue cuma pengen hidup mandiri dan nggak bergantung sama orang lain," geram Vanys.
"Gue cuma takut, Van. Lo masih tanggung jawab gue selama lo kabur," ujar Ferry.
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romance[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...