"Ketika diri sama sekali tak ingin menjalani kehidupan seperti ini. Namun, takdir terlanjur memilihkan. Rasanya, ya ... sudahlah mau bagaimana lagi?"
🐋🐋🐋
Vanys mencengkram kepalanya yang begitu berat. Pusing, hal pertama yang dirasakan oleh Vanys saat membuka matanya. Ah ya, ia ingat! Ini akibat dari dirinya yang menangis tanpa henti semalam, bahkan sampai dirinya ketiduran.
Ferry menggiring Vanys duduk di salah satu sofa. Lelaki itu duduk di sofa lain, samping sofa yang diduduki Vanys. Matanya mengintimidasi, bukan perihal lelaki yang mengantarnya tadi sampai membuat ia cemburu buta, tetapi ini soal alasan Vanys yang kabur dari rumah dan memutuskan menginap di apartemennya. Sebenarnya ada apa?
"Lo cerita sama gue, apa sebenernya motif lo sampai kabur dari rumah? Terus ini lagi, nginep di apartemen gue, terus tadi malah keluyuran dianter pulang cowok," cerocos Ferry. Vanys tak kesal diintimidasi seperti itu. Baginya perhatian dan cerewetnya Ferry sangat menggantikan peran kedua orang tuanya. Ferry begitu peduli dengannya, begitu penasaran juga atas apa yang terjadi pada dirinya.
"Gue nggak apa-apa, kok. Cuma pengen di sini aja. Emang gue nggak boleh, ya tinggal di sini?" alibi Vanys. Sekalipun mereka dekat, tetapi ia tak ingin membuat Ferry khawatir lebih parahnya repot.
"Aduh, Van. Udah, deh. Kita ini bukan cuma temenan dua atau tiga bulan, kita udah hampir 5 semester, Van. Jujur aja! Lo nggak akan kabur kalo nggak ada masalah," sangkal Ferry. Matanya membulat saat ingat satu hal.
"Atau jangan-jangan, lo kabur karena orang tua lo lagi, ya?" imbuhnya. Vanys tersenyum simpul. Gadis itu menundukkan kepalanya, mencoba menjaga air mata agar tak tumpah di depan Ferry.
"Van?" tegur Ferry. Lelaki itu khawatir melihat Vanys yang diam seperti ini. Lelaki itu berpindah tempat duduk. Ferry duduk di samping Vanys. Ia memegang bahu gadis itu, terasa gemetar.
"Van? Lo nangis? Hei, gue salah ngomong, ya?" tanya Ferry.
Sekuat apa pun Vanys menahan sakitnya, gadis itu tak akan bisa jika tak menangis. Bukan menjawab, Vanys malah memeluk tubuh Ferry dan menenggelamkan wajahnya.
"Gue capek," lontar Vanys. Gadis itu masih terisak kuat. Tangan besar Ferry mengelus rambut Vanys sampai punggung gadis itu. Mencoba menenangkan gadis 5 semester tercintanya.
Waktu berlalu, Vanys menceritakan semuanya dalam dekapan Ferry. Gadis itu malu jika harus berkali-kali menangis di depan Ferry walaupun lelaki itu sering. Namun, kali ini berbeda. Mungkin akan lebih banyak menguras air mata. Ferry? Lelaki itu sama sekali tak masalah. Persetan dengan kaosnya yang berlumuran air mata dan ingus.
"Gue pengen bahagia," lantur Vanys. Setelah kalimat itu, deru napas Vanys tak secepat tadi. Kali ini ritmenya lebih tenang. Atau gadis itu tidur? Tangan Ferry tergerak untuk mendorong sedikit tubuh Vanys menjauh. Dan benar, gadis itu tertidur pulas setelah menangis dan mendongeng atas dirinya. Ferry tersenyum. Ia tak langsung membawa gadis itu ke kamar. Ia menunggu 5 menit, biar seperti ini dulu.
Vanys berjalan ke kamar mandi untuk menuntaskan ritualnya. Kalaupun tidak, ia ingin menyikat gigi dan mencuci mukanya. Sial sekali, ingus mengering, air mata yang lengket, sudah tak ada di wajahnya. Pasti lelaki itu sudah menghapusnya. Malu sekali!
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romance[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...