❝Lagi-lagi, hati ini masih saja bungkam atas kebenaran rasa. Maaf, aku masih belum bisa mengatakan.❞
🐋🐋🐋
3 Januari 2021
Tiga hari melewati tahun baru. Lembaran-lembaran tahun ini harus Vanys rencanakan dengan baik. Hari terakhir liburan di Jakarta, ia putuskan untuk pergi ke Kota Tua. Mungkin, ia akan mengambil banyak foto di sana. Hari Minggu, pasti ramai apalagi masih suasana libur tahun baru. Tak apa, ia tetap ke sana.
Gadis itu membolak-balik baju yang sudah disusun di dalam almari. Pilihannya jatuh pada kardigan rajut dengan panjang sebatas sepuluh sentimeter di atas lutut berwarna lilac. Ia mengambil kaos putih pendek dan celana pendek sepaha berbahan jeans. Perpaduan yang sempurna, ia mengira hari ini akan jadi hari yang panas. Ia bergegas ke kamar mandi dan mengganti baju.
"Perfect!" pujinya saat berdiri di depan cermin panjang. Riasan di wajah terlihat natural. Cantik.
Gadis itu memutar tubuh. Ia menarik tas selempang berwarna putih miliknya. Memasukkan ponsel dan dompet. Vanys duduk di tepi ranjang, lalu memakai sepatu kets miliknya.
"Aesthetic banget gue," pujinya lagi. Setelannya memang benar-benar indah.
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuat Vanys menoleh. Gadis itu bergegas membuka. Ia melihat Ferry dengan setelan celana jeans dan kemeja flanel tanpa dikancingkan.
"Ferry? Yuk, berangkat!" ajak Vanys seraya mengulurkan tangan. Ferry menatap tubuh itu. Celana yang dikenakan Vanys mengundang mata buaya di luar sana.
"Ganti celana, deh!" suruh Ferry. Vanys cemberut. Gadis itu menggeleng.
"Hari ini panas banget, Fer. Please, deh. Kali ini aja. Lagian kardigannya nutupin, kok," sangkal Vanys. Ferry tetap menggeleng. Lelaki itu sama sekali tak bergerak saat Vanys menggeretnya.
"Ferry, please!" Vanys memohon. Gadis itu mengangkupkan kesepuluh jarinya di depan dada. Ferry hanya bisa mendesah. Lelaki itu akhirnya menyetujui. Mereka menuruni lift untuk pergi ke basement.
Hening. Tak ada sepatah kata terucap dalam mobil. Perjalanan menuju Kota Tua hari ini, mungkin terasa kosong. Vanys enggan berbicara. Ia sibuk berkutat dengan pikirannya. Ia memikirkan apakah ia salah memakai pakaian seperti ini? Ia pikir juga sangat terbuka, tetapi ia akan merasa gerah jika memakai pakaian yang tertutup. Lagipula, tak hanya dirinya nanti. Ferry memang seperti itu, terlalu menjaganya.
"Fer? Gu-gue mau minta ma—"
"Udah sampai," potong Ferry. Vanys meberut. Ia menghela napas. Ferry memutari mobil, membukakan pintu untuknya. Namun, gadis itu enggan keluar. Ia malah bersidekap dada.
"Ayo!" ajak Ferry. Vanys tak bergeming. Ia 'kan tak salah, tetapi kenapa Ferry yang marah? Ferry mengembuskan napas. Ia memasukkan kepala, lalu melepas seatbelt milik Vanys. Wajah mereka terlalu dekat. Vanys merasakan hal aneh, tetapi ia tepis segera. Sementara, Ferry mati-matian menahan diri.
"Lo nggak salah. Gue yang terlalu sensitif sama penampilan lo. Maaf," ujar Ferry. Vanys menghela napas. Gadis itu bangkit. Ferry sedikit memundurkan tubuh. Vanys memeluk Ferry erat.
"Gue paham. Makasih selama ini udah jaga gue. Gue tahu batasan, kok," ujar Vanys. Ferry tersenyum. Ia percaya Vanys bisa menjaga dirinya dengan baik. Lelaki itu mengelus punggung Vanys, lalu melerai pelukan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romance[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...