❝Cinta dan logika kali ini benar-benar dipermainkan. Dia yang ceritanya terpaksa diakhiri, malah menunjukkan diri kembali.❞
🐋🐋🐋
Seminggu berlalu, gips di tangan Ferry sudah dilepas. Namun, tangan itu tidak boleh banyak digerakkan, apalagi untuk aktivitas berat. Hampa, Vanys sudah tak lagi banyak waktu untuknya. Jika biasanya mereka akan belajar bersama untuk ujian, kali ini tidak.
Lelaki 20 tahun itu, berdiri di ujung gedung FEB. Lelaki itu dapat melihat Vanys yang dijemput oleh Dirga. Hubungan mereka bahkan telah menjadi bulan-bulanan di kampus. Sesak. Ferry menundukkan kepala. Teringat kala itu Vanys mengatakan segalanya.
Kedua orang itu duduk saling berhadapan. Ferry yang sudah diperbolehkan pulang dengan tangan yang masih dibalut gips. Menatap tajam gadis yang tengah menunduk di seberangnya.
"Sejak kapan?" lontar Ferry tanpa berbasa-basi.
"Waktu dia jenguk gue. Maaf," lirih gadis itu ketakutan. Benar dugaan Ferry, memang masih baru-baru ini.
"Kenapa nggak cerita ke gue lebih awal?" tanya Ferry mengintimidasi.
"Gu-gue belum sempet. Keadaan lo lagi nggak baik. Waktu dia PDKT, lo juga sibuk sama event dies natalis kampus. Gue cuma nggak mau ganggu waktu lo," jelas Vanys.
Ferry menghela napas. Ia tak habis pikir tentang pola pikir Vanys. Sejak kapan dia mengabaikan Vanys meskipun waktunya begitu sibuk? Sama sekali tidak pernah.
"Kenapa lo ngomong gitu? Apa selama ini kalo lo mau curhat, gue nggak pernah luangin waktu ke lo? Contohnya, kemarin awal semester gue sibuk sama acara penerimaan mahasiswa baru, tapi tetep dengerin keluh kesah lo sama Arion 'kan?" hardik Ferry. Vanys semakin menunduk. Hanya kata maaf yang keluar dari bibir kecil itu.
Ferry memalingkan wajah. Lelaki itu mengusap wajah dengan tangan kirinya. Ia bangkit dari sofa, menghampiri sofa Vanys. Lelaki itu berjongkok di depan gadis itu. Mengatur napas sebelum berucap.
"Apa pun yang terjadi, jangan sungkan ngomong ke gue. Gue selalu ada di samping lo," ujar Ferry sembari mengelus punggung tangan Vanys. Gadis itu tersenyum, lalu memeluk tubuh Ferry. Mengucap kata maaf di sana berkali-kali.
Lamunan itu buyar. Ferry harus mengikhlaskan segalanya. Ia masih ingat, memang hubungan mereka hanya sebatas persahabatan, tak mungkin lebih. Sebuah tepukan di bahunya, ikut menyadarkan.
"Eh, Viola. Kenapa?" tanya Ferry setelah menoleh ke belakang.
"Udah ditunggu anak-anak. Masih ada revisi buat alokasi dananya. Sekalian nongkrong sambil belajar buat UTS," ucap Viola. Ferry mengangguk. Hanya ini yang bisa membuatnya sedikit lupa.
🐋
TAMELO, kafe favorit Vanys sepanjang masa. Walaupun tempat ini sudah melahirkan luka untuknya, tak ada alasan apa pun untuk membuat gadis itu membenci tempat ini. Duduk di outdoor kafe tampak begitu nikmat. Pemandangan kota Depok di malam hari sangatlah memanjakan mata. Apalagi ditemani dengan dua piring chicken cordon bleu, secangkir americano, dan segelas avocado smoothies. Begitu nikmat rasanya. Duduk berhadapan, saling menukar senyuman.
"Kamu kenapa sih ngelihatin aku kayak gitu terus?" tanya Vanys. Gadis itu merasa salah tingkah.
"Ya, enggak. Heran aja, sih. Masih nggak nyangka kalo aku bisa milikin kamu sekarang. Apalagi kamu 'kan famous girl-nya FEB. Kalo dibandingin sama Arion, kalah telak aku," kekeh Dirga.
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romance[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...