Potret 23 : Enigma Cinta

932 47 14
                                    

❝Benar-benar tak habis pikir. Nyatanya, teka-teki dalam percintaan ini sama sekali belum kupahami. Menyesal.❞

🐋🐋🐋

Berakhir di bangsal rumah sakit dengan tangan yang kembali dibalut gips. Kata dokter, gips itu tak boleh dibuka sebelum seminggu. Alhasil lelaki itu akan mengikuti empat kali ujian susulan. Begitu ceroboh. Hanya karena emosi, lelaki itu merelakan kesempatan ujian secara normal. Bahkan, berita sudah masuk sosial media kampus. Lelaki itu mendapat surat peringatan dari pengelola BEM universitas. Menghela napas. Wajah itu sudah babak belur. Luka lebam memakan banyak tempat di wajah tampannya. Namun, lelaki itu tetap tampan.

"Gimana sama Vanys?" tanya Ferry kepada Devon. Sahabat lelakinya itu tampak sudah mengerjakan ujian hari ini.

"Nggak baik. Vanys bener-bener udah jatuh cinta. Gue denger Dirga pernah jadi cinta pertama Vanys, tapi cewek itu nggak ingat," jelas Devon. Lelaki itu merogoh saku, berusaha mengeluarkan vapor. Namun, Ferry langsung menahan.

"Lo jangan bego, deh! Mau air keluar dari sana?" tegur Ferry seraya menunjuk alat pendeteksi kebarakan di langit-langit kamar rawatnya. Devon menyengir.

"Kebiasaan," balas Devon. Lelaki itu memasukkan kembali vapor miliknya.

"Terus dia di mana sekarang?" tanya Ferry.

"Gue nggak tau, tapi gue denger Vanys langsung pulang abis ujian. Kayak buru-buru dan sempet nangis," balas Devon. Ferry mengembuskan napas.

"Ya udah, deh. Lo boleh pulang. Kayaknya ngebet banget pengen sebat," sindir Ferry. Devon berdecih. Lelaki itu pamit. Tak lupa berpamitan pula dengan Andini yang baru saja dari kantin.

Sepeninggalan Devon, perasaan Ferry sama sekali tidak tenang. Lelaki itu merubah posisi duduk menjadi rebahan. Memunggungi sang mama yang memasuki kamar. Menarik selimut menutupi semua tubuh, bahkan kepalanya.

🐋

Vanys menangis tersedu di dalam kamar. Kepalanya terasa pusing, tetapi sakit hati lebih dominan. Gadis itu sama sekali tak memikirkan nasib percintaan akan setragis ini. Menyesal ketika ia terlalu mudah menaruh hati kepada orang lain di saat diri dan hati masih belum siap menerima nama baru. Bahkan, kisah sebelumnya sama sekali belum usai. Ya, hati Vanys belum sepenuhnya melupakan Arion.

"Kenapa bego banget, sih?" gerutunya. Ia memukul kepala, bahkan sesekali menjambak rambut. Terlalu bodoh. Ia malu, apalagi hubungan dengan Dirga baru sebentar. Harusnya ia tak semudah ini. Harusnya ia tak mudah menaruh hati, terlebih ia masih menyukai segala kenangan dengan lelaki masa lalunya.

Menyesal bukanlah sebuah solusi. Namanya banyak diperbincangkan kini. Memang ada sisi baik di mana menjadi seorang yang terkenal, apalagi dengan segudang relasi yang dapat dimanfaatkan. Namun, ketika sebuah keburukan terjadi, hujatan dan pembicaraan seakan tak ada henti. Lelah. Menghela napas lebih dalam. Esok ia akan menghadapi.

"Terus gue mau apa sekarang? Ya kali nangisin cowok bangsat," gumamnya. Gadis itu menoleh ke arah samping, melihat ponsel. Membuka laman sosial media, sampai gadis itu ingat. Ferry! Sahabat terbaiknya terluka dan dirawat di rumah sakit.

Dengan sekali gerakan, Vanys menyambar sling bag dan dompet sekaligus. Memasukkannya dengan tergesa, lalu berlari menuruni tangga. Memesan taksi di sepanjang perjalanan. Berdiri di depan gerbang, menunggu taksi online.

Lima belas menit, taksi itu datang. Vanys langsung memasukinya. Duduk dengan tenang, lalu bergegas ke tujuan. Mencoba tersenyum. Ia takut Ferry khawatir jika ia terlalu banyak menangis. Apalagi untuk lelaki sebrengsek Dirga.

43 Bagian Cerita Vanys [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang