Potret 37 : Lelah

876 38 6
                                    

❝Lelah. Apakah aku boleh menyerah sekarang? Rasanya tak mungkin hati itu mengerti hati lain.

🐋🐋🐋

Memapah Devon yang mabuk berat adalah bayaran yang pantas Ferry berikan kepada Devon. Lelaki itu harus menarik paksa Devon dari lantai dansa saat temannya itu dikerumuni banyak wanita pemuas nafsu. Mendorong Devon ke jok belakang mobil. Ferry mengerjapkan mata. Pukul tiga pagi, lelaki itu lelah. Rasa kantuknya bergejolak, apalagi ia belum istirahat sama sekali setelah pulang liburan dari Jakarta.

Ferry menyandarkan tubuh pada pilar kursi jok mobil. Ia mengunci mobil, mungkin akan istirahat sebentar di sini. Basement tampak begitu sepi, mau bagaimana lagi? Satu jam lagi klub akan tutup.

"Sialan, bau rokok," gerutu Ferry setelah menghirup napasnya sendiri.

Ferry tak habis pikir, sebenarnya tak ada niatan sedikit pun untuk merokok, tetapi nafsu dan emosi mendominasi. Pikirannya mengabu. Sudah tak bisa memikirkan apa pun lagi. Rasa kekecewaan membuat ia bertindak demikian.

"Argh!" teriak Ferry frustrasi. Ia benar-benar lelah. Apa ia harus mengikuti saran dari Devon untuk berpindah ke lain hati? Ia bingung. Masih ada nama Vanys di hatinya.

"Pikir besok aja, deh," gumam Ferry. Ia semakin merebahkan tubuh. Ia merubah level kursi agar ia bisa sedikit merebahkan tulang-tulang lelahnya. Mencoba memejamkan mata seraya bersidekap dada. Namun, semua tak berjalan lancar. Sebuah panggilan di ponsel Devon mendominasi keheningan. Lelaki itu mengambilnya. Terlihat display ponsel itu 'Tante Andini'.

"Mama?" gumam Ferry. Lelaki itu menggeser tombol hijau. Terdengar suara dari seberang sana.

"Halo, Devon?" sapa wanita di seberang sana.

"Ha-halo, Ma? Ini Ferry, Devon lagi ti—"

"Ferry? Kamu ke mana, sih? Mama nyariin kamu loh. Tadi Papa video call, mau bicara sama kamu tapi kamu belum pulang. Mama dimarahin Papa karena nggak bisa jaga kamu, Papa takut kamu nggak fokus kuliah kalo keluar terus," jelas Andini. Ferry menelan ludah.

"Maaf, Ma. Ferry lagi sama Devon, ini di apartemen Devon. Ferry tadi capek banget, Ma. Jadi, langsung ketiduran di apartemen Devon karena deket kampus," bohong lelaki itu. Terdengar helaan napas dari seberang sana.

"Ya udah kalo kamu baik-baik aja. Lain kali jangan abaiin telefon Mama, ya. Kalo ada apa-apa bilang ke Mama, biar Mama nggak khawatir. Kamu baik-baik, ya. Besok pulang, ya. Kita jemput Papa di bandara," suruh Andini.

"Iya, Ma. Udah dulu, ya, Ma. Ferry capek banget," putus Ferry.

"Iya," balas Andini. Panggilan itu terputus. Ferry mengembalikan ponsel itu ke saku kemeja Devon. Ferry mengibaskan tangan di depan hidung. Ia mencium bau alkohol yang menyengat dari tubuh Devon. Ah, ya di sini Devon Kristiani, berbeda dengan Ferry. Setelah itu, ia kembali melanjutkan tidurnya. Namun, sebelum itu ia memasang alarm pukul empat pagi.

🐋🐋

Ferry keluar dari kamar mandi apartemen Devon. Mereka sudah di Depok lagi. Kini, sudah pukul tujuh pagi. Ferry akan bersiap untuk menyusul Papanya di bandara. Sementara, Andini dan Aghata sudah ada di sana.

"Eugh ... udah pagi, ya?" tanya Devon yang baru saja bangun. Kepala lelaki itu pening, terlihat saat Devon mencengkeram pelipisnya. Kadar alkohol pada whisky semalam cukup tinggi.

43 Bagian Cerita Vanys [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang