❝Menyakitkan ketika janjinya kepadamu sama sekali tak ia tepati, bahkan mengingatnya saja tidak.❞
🐋🐋🐋
Empat hari Vanys lalui dengan kesendirian. Tak ada seorang pun yang menemaninya di rumah. Sempat Andini menawarkan Vanys untuk tinggal bersama, tetapi gadis itu merasa tak enak. Terlebih kepada Arion. Menghela napas berkali-kali. Mata itu terus-terusan menatap layar ponsel yang berada di meja samping. Gadis itu tengah menikmati afternoon tea di balkon kamar. Belum ada kabar dari Arion. Sudah empat hari ini, lelaki itu jarang memberi kabar. Jika saja Vanys tak menelefon dahulu, pasti kabar itu tak akan pernah sampai.
"Emang hari ini sibuk banget, ya?" gumam gadis itu. Ia menarik kaki, lalu diletakkan di atas kursi. Menekuk kaki, lalu kepala itu bersandar di antara tekukan lutut. Ferry? Bisa saja lelaki itu datang, tetapi ia tahu diri. Ferry tengah sibuk mempersiapkan acara dies natalis kampus untuk bulan Februari nanti.
Menundukkan kepala lebih dalam. Memejamkan mata guna melepas segala pikiran buruknya. Gadis itu berusaha untuk rileks seraya menikmati hembusan angin sore ini. Cukup kencang. Mungkin hari ini akan hujan. Apalagi langit yang biasa berwarna jingga, kini tak menampakkan sedikit pun semburatnya. Langit mendung.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu menyadarkan Vanys dari lelapan singkat. Gadis itu terpelonjak. Ia memakai sandal lantai, lalu berlari ke arah pintu kamar. Ia pikir, seseorang di balik sana adalah Arion.
"Aku kira kamu nggak da—"
Ucapan itu terhenti. Kecewa. Bukan Arion yang berdiri di sana. Seseorang itu Ferry. Lelaki itu sempat mengangkat totebag yang berisi makanan di sana. Melihat raut wajah tak senang Vanys, lelaki itu menurunkan tangannya. Senyum yang awalnya begitu lebar, kini menyusut, bahkan hilang.
"Maaf, kalo gue bukan orang yang lo tunggu," lirih Ferry dengan suara sendu. Vanys mendongak, lalu menggeleng.
"Bukan gitu," sangkal Vanys. Gadis itu mendecak, lalu menarik tangan Ferry untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia mendorong Ferry untuk duduk di tepi ranjangnya. Ia pun ikut duduk, lalu meyangga kepala dengan memasang raut wajah kesal.
"Lo kenapa?" Atensi Ferry tertuju pada Vanys.
"Kesel gue. Empat hari Arion nggak pernah ngehubungin gue duluan. Selalu gue, kalo nggak gue telefon atau chat, pasti nihil," adu Vanys. Ferry mengembuskan napas.
"Jadi, masalah hati lagi nih?" cibir Ferry. Raut Vanys tak menyenangkan. Ia menatap nanar Ferry.
"Kok lo gitu, sih? Bosen gue ceritain masalah gue?" ketus Vanys. Ferry mendesah berat.
"Capek gue kalo lo gitu terus," ungkap Ferry. Ia merebahkan setengah tubuh dengan kedua lengan sebagai bantalan. Mata pun memejam.
"Gini aja, deh. Gimana kalo lo minta kepastian sama dia. Dia beneran sayang dan peduli nggak sama lo. Ya, meskipun gue tahu dia sibuk magang atau skripsian, tapi kalo sayang nggak mungkin juga cuek bebek kayak gitu," saran Ferry.
Menarik napas panjang. Vanys mengangkat kaki, lalu menekukkan lutut. Kepala ia simpan di antara kedua lutut. Benar kata Ferry. Ia butuh kejelasan. Lagipula, balikan kemarin itu juga terhitung begitu cepat dengan alasan yang sedikit sulit masuk di akal.
"Udah, jangan terlalu dipikirin. Mending lo makan atau lo mau main ke tempat healing lo itu. Lumayan, sih di sana lagi ada festival musik lokal gitu," tawar Ferry. Lelaki itu kembali duduk dan mengelus pundak Vanys.
🐋🐋
Berboncengan di antara jalanan basah setelah diguyur hujan, terasa begitu nikmat. Aroma petrikor mulai terasa ketika memasuki perkampungan kecil yang mereka tuju. Payung warna-warni disusun di atas celah-celah sempit gang. Begitu sederhana, tetapi epik. Teras kios-kios mati disulap menjadi stan-stan makanan dan minuman.
"Indah banget," puji Vanys. Mata gadis itu melihat ke atas. Sementara, motor mereka diparkirkan di depan gang.
"Apa yang lo pikirin setelah lihat ini?" tanya Ferry.
"Gue pengen punya cowok seniman," cetus Vanys. Ferry terpelonjat. Lelaki itu seketika menoleh ke arah Vanys.
"Kenapa? Salah, ya?" tanya Vanys ketika Ferry menatapnya.
"Nggak, sih. Aneh, anjir!" cibir Ferry. Vanys tertawa. Gadis itu memukul lengan Ferry, lalu mengajaknya ke stan makanan Korea.
🐋
Tujuan akhir mereka adalah resto mi pedas setan kesukaan Vanys. Sementara, Ferry hanya menemani saja. Hari ini banyak macam makanan yang masuk ke perut Vanys. Gadis itu begitu puas. Memang makanan adalah pengusir segala resah dan gundah, apalagi masalah.
"Bibir lo, Van," ucap Ferry seraya mengelap sudut bibir Vanys yang belepotan terkena saus.
"Thank you," balas Vanys. Tersenyum miris. Lelaki itu membuang tisu, lalu kembali menyedot minumannya. Begitu sulitkah mendapat sisi kepekaan Vanys? Atau karena posisinya sekarang yang hanya dianggap sahabat? Mengaduk begitu lama jus, lalu menjauhkan cup itu.
"Lo kenapa, sih? Ada masalah di BEM? Atau lo lagi mikirin Viola, ya?" goda Vanys setelah menghabiskan seporsi mi pedas setan miliknya.
"Kenapa jadi Viola, sih? Gue sama sekali nggak ada rasa sama dia. Berisik, deh lo!" ketus Ferry.
Suasana hati yang buruk ditambah ucapan Vanys yang seenaknya, membuat ia semakin kesal dan badmood. Namun, Vanys menangkap ujaran Ferry seperti keketusan.
"Ya udah, sih. Pulang aja, yuk! Kayaknya lo lagi capek," ujar Vanys terdengar sendu. Lubuk hati begitu tersakiti. Apalagi Ferry jarang mengetusinya.
Gadis itu bangkit seraya menggendong tas selempang. Ferry menangkap raut sendu Vanys. Lelaki itu sempat mencegah, tetapi Vanys tetap mengajak pulang. Bahkan, gadis itu berjalan terlebih dahulu.
"Van! Maksud gue bukan gitu," jelas Ferry. Vanys menggeleng.
"Gue paham. Harusnya gue sadar diri. Gue terlalu banyak repotin lo. Gue tau lo pasti capek dengerin curhatan nggak mutu gue. Apalagi lo presma, pasti capek banget rasanya harus mikir lebih keras. Sorry, ya. Kalo sewaktu-waktu lo emang lagi capek, bilang aja. Gue bahagia, kok hari ini," ungkap Vanys. Ferry tersenyum miris. Lelaki itu memeluk Vanys. Isakan itu mulai terdengar. Sudah mendekati tanggal, Vanys akan begitu sensitif. Harusnya Ferry paham.
"Lo sama sekali nggak pernah ngerepotin gue. Apalagi gue, sama sekali nggak pernah repot kalo soal lo. BEM itu beda urusan, gue sayang sama lo nggak mungkin buat gue cuekin lo. Gue yang salah, harusnya gue paham sama perasaan lo. Berat, ya? Gue minta maaf, lo boleh kok curhat sama gue kapan pun," sangkal Ferry. Vanys masih tak menjawab.
"Jangan nangis. Nanti orang-orang ngira gue macem-macem sama lo," kata Ferry. Vanys menjauhkan diri. Ia mengelap air matanya. Lalu, tersenyum. Hanya gerakan bibir tanpa suara isyarat ucapan terima kasih.
Saat kaki-kaki itu hendak melangkah, suara notifikasi terdengar dari ponsel Vanys. Gadis itu merogohnya di tas. Melihat display lockscreen. Raut pilu mendominasi wajah cantik itu.
From : Arion ❤
By, aku udah sampai di Surabaya. Aku harus penelitian di sini. Maaf, ya.
Pesan itu terlalu memilukan.
🐋🐋🐋
He yoo! Siapa yang curiga sama Arion? Dahlah, capek. Yang pasti aja gamau si Vanys ini. Meresahkan.
Jangan lupa vomment. Terima kasih.
Big luv,
Vanilla Latte.
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
عاطفية[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...