❝Setitik senyum hanya akan terpancar jika bersama orang-orang yang tulus, meskipun dengan hal-hal sederhana.❞
🐋🐋🐋
Pukul tujuh lebih lima puluh menit, Vanys dan Ferry sudah ada di Stasiun MRT Bundaran HI. Mereka akan melakukan keberangkatan pukul 07.03 sesuai tiket yang mereka dapat. Tujuan utama mereka adalah Taman Ayodya. Ya, walaupun suasana Depok dengan Jakarta tak berbeda, tetapi Taman Ayodya adalah destinasi impian seorang Vanys. Bahkan, gadis itu sudah membuat daftar perjalanan dengan MRT, serta tempat-tempat yang akan mereka kunjungi.
Hari ini bukanlah hari libur. Suasana stasiun begitu ramai. Memang pukul-pukul seperti ini dalah jam-jam sibuk di mana mereka yang memiliki pekerjaan akan berangkat ke tempat kerja masing-masing. Bahkan, berulang kali Vanys sempat terhimpit jika Ferry tak melindungi dan memeluknya. Begitu padat.
MRT sudah tiba. Mereka segera masuk ke melewati gate masing-masing. Terdorong, terhuyung, dan terhimpit. Semua punya urusan. Bisa saja mereka memilih pada jam-jam non-sibuk, tetapi semua itu tak akan ada kenangannya. Vanys menginginkan kenangan seperti ini. Keduanya tertawa saat sudah mendapat tempat duduk.
"Silakan, Bu," ujar Ferry kepada seorang ibu hamil. Ferry yang tadinya duduk, kini harus merelakan kursinya. Lelaki itu berdiri tepat di depan Vanys. Tentu gadis itu tersenyum melihat Ferry terusir. Tak apa, itu tandanya Ferry masih menghargai seorang wanita, lebih-lebih tengah hamil.
Obrolan menjadi begitu lucu ketika mereka hanya bisa bertukar isyarat. Suasana begitu ramai sehingga percuma mereka mengobrol dengan suara, toh tak akan terdengar juga.
Cukup lima belas menit perjalanan dari Stasiun Bundaran HI sampai Stasiun Sisingamangaraja. Kedua insan itu segera keluar. Mereka akan mengunjungi Taman Ayodya sesuai keinginan Vanys.
Hanya butuh waktu selama lima belas menit untuk mereka berjalan kaki dari stasiun ke Taman Ayodya. Begitu melelahkan. Vanys mendudukkan diri seraya mengipasi wajahnya. Panas.
"Belum apa-apa udah capek aja. Mau ngapain coba di sini?" tanya Ferry. Lelaki itu membukakan tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada Vanys. Dalam satu tegukan, isi dari botol itu tinggal setengah. Begitu haus.
"Abis ini mau ngapain?" tanya Ferry. Vanys tengah berpikir seraya menikmati lahan hijau kota Jakarta.
"Jalan-jalan ajalah. Keliling-keliling gitu, biar nggak terlalu capek. Abis ini kita ke Blok M, tapi jalan kaki aja," balas Vanys. Ferry mengangguk.
"Yakin jalan kaki aja ke blok M?" tanya Ferry lagi. Lelaki itu hanya meyakinkan keputusan Vanys. Tentu gadis itu mengangguk yakin.
"Ya udah, deh. Ayo!" ajak Ferry. Lelaki itu bangkit terlebih dahulu, setelahnya Vanys. Mereka akan menghabiskan waktu sampai pukul sembilan pagi.
🐋🐋
Pukul setengah sepuluh, mereka berada di Blok M Square. Entah akan ada rencana apa gadis itu ke sana, mungkin hanya jalan-jalan saja.
Tibalah gadis itu di depan sebuah kios buku. Ia langsung menggeret Ferry untuk berkunjung. Ia ingat sesuatu. Sebuah buku karangan lama yang sudah ia cari di seluruh gramedia Depok tidak ada. Harap-harap di kios ini ia menemukan.
"Ngapain?" tanya Ferry. Vanys masih excited melihat-lihat. Gadis itu bungkam. Tangan dengan jemari-jemari lentik memilah guna menemukan barang yang ia cari.
"Cari apa, Neng?" tanya Bapak penjual itu.
"Cari buku yang ... nah, kayak gini, Pak. Ada nggak?" tanya Vanys seraya memperlihatkan foto di ponsel miliknya. Sang penjual pun mengangguk. Dia pergi ke suatu rak, lalu kembali dengan membawa buku yang Vanys butuhkan.
"Tinggal satu itu, Neng. Itu pun udah lama banget," ujar sang penjual. Vanys menerimanya, gadis itu tersenyum. Bahagia. Akhirnya, pencarian selama ini berakhir juga.
"Saya ambil, deh, Pak. Butuh banget. Udah nyari keliling ke semua toko buku di Depok nggak nemu-nemu. Tahu gitu saya pergi ke sini dari dulu," ujar Vanys. Sang penjual hanya tersenyum. Vanys tahu harga asli buku itu, sekitar seratus delapan puluh ribuan. Dengan wajah tersenyum, Vanys mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan, lalu memberikannya kepada sang penjual.
"Eh, satu aja, Neng. Harganya cuma seratus ribu," ujar sang penjual menolak diberi lebih. Vanys tersenyum.
"Nggak apa-apa, Pak. Anggap saja rezeki Bapak dan rasa syukur saya nemu buku ini," balas Vanys. Sang penjual itu mengucap banyak terima kasih. Begitulah Vanys, segala tindakan seakan membuat hati Ferry teduh. Tak bisa berhenti untuk tersenyum bagi Ferry.
🐋
Setelah menghabiskan waktu di Blok M Square dan membawa buku serta piringan hitam antik untuk sang mama. Kini, kedua insan itu sudah sampai di Stasiun MRT Bendungan Hilir. Pukul enam petang. Kini, giliran perut mereka yang dimanjakan.
Tujuan utama mereka adalah Pochajjang Benhil, di mana mereka akan memanjakan perut dengan segala barbeque ala Korea. Mungkin ini bukan destinasi terakhir, kalian tahu sendiri 'kan perut Vanys seperti apa?
"Nanti pulang naik taksi aja, deh," ujar Vanys. Ferry hanya mampu mengangguki. Lelaki itu sibuk memanggang daging.
"Abis ini gue mau makan dimsum, terus takeaway McD," imbuh Vanys. Ferry hanya mampu mengangguki. Lelaki itu sudah terbiasa. Mungkin setelah pulang dari sini, ia benar-benar bangkrut.
Masa iya duit gue abis duluan, tapi cinta gue belum diterima, bati Ferry. Sungguh lucu dunia ini.
🐋🐋
Tak sesuai rencana, Vanys menambah destinasi secara mendadak saat melihat restoran Padang. Sudah makan di Pochajjang, dimsum, lalu masakan Padang, masih takeaway McD pula.
Vanys tertidur di gendongan Ferry. Mereka belum mendapat taksi. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tampaknya sulit untuk mendapat taksi. Jika saja ponsel mereka tidak mati, pasti sudah sedari tadi memesan taksi online. Nahasnya perjalanan tak begitu mulus. Ditambah beberapa warung makan di area mereka sudah banyak yang tutup.
"Eugh ... belum dapet taksi, ya?" tanya Vanys dengan suara seraknya. Gadis itu awalnya hanya meminta digendong karena perutnya sakit. Tentu saja sakit, ia kekenyangan makan.
"Tidur aja kalo ngantuk, bentar lagi juga dapet," balas Ferry. Lelaki itu semakin berjalan ke arah jalan raya. Menunggu di tepian zebra cross. Terasa berat, tetapi ia harus tetap bertahan.
Sampai menit kelima belas mereka pun terbalas. Taksi lewat. Ferry langsung memasukkan Vanys ke dalam. Gadis itu tertidur dengan senyum.
"Gue bahagia hari ini." Vanys mengigau dalam tidur. Tampak gadis itu lelah. Banyak berjalan kaki hari ini, padahal biasanya mereka naik motor atau mobil.
"Gue juga bahagia kalo lo bahagia," lirih Ferry seraya menyelipkan rambut Vanys yang menutupi wajah cantik itu. Mengusap pipinya lembut, lalu kembali fokus ke depan. Akan cukup memakan waktu untuk sampai di hotel mereka. Tak apa, Ferry bahagia. Sesederhana itu, cukup ada Vanys meski tak melibatkan rasa di dalamnya.
🐋🐋🐋
He yoo! Mana nih yang pengen Vanys sama Ferry pacaran? Kira-kira pacaran nggak, ya? Hm, apa Vanys bakal peka?
Jangan lupa vomment. Thank you.
Big luv,
Vanilla Latte.
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romansa[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...