❝Usai, segala misi lima semesterku telah usai. Lima semester menjagamu pun telah usai. Terima kasih. Empat puluh tiga bagian cerita ini akan selalu kuingat, untukmu Vanys.❞
🐋🐋🐋
7 Februari 2021
Masa liburan sudah selesai. Vanys harus kembali ke rutinitas biasa sebelum memasuki semester enam esok pagi. Menghela napas lega. Ia meregangkan otot-otot tubuh yang kaku. Apalagi menatap pemandangan dari atas balkon seperti ini, rasanya begitu rileks. Udara segar yang masuk ke dalam tubuh dan angin semilir yang menerpa wajah.
"Huh!" Helaan napas itu terdengar kencang dalam keheningan. Gadis itu duduk di kursi balkon. Sudah ada secangkir teh dan biskuit pendamping. Duduk bersila seraya menikmati hembusan udara.
"Eh, kayak ada yang kurang, ya? Tumben Ferry nggak telefon gue. Apa masih sibuk rebahan, ya?" Dugaan-dugaan itu berputar di otak Vanys. Gadis itu mengambil ponsel, lalu menekan nomor Ferry di layar itu. Menempelkan ponsel ke telinga seraya menikmati biskuit paginya.
'Nomor yang Anda tuju berada di luar jangkauan.'
Vanys menyeritkan dahi. Gadis itu merasa heran. Ia mengecek lagi, tetapi tetap sama saja. Menelefon dengan aplikasi chat lain pun tetap sama. Lebih heran, tak ada pesan atau panggilan apa pun yang Ferry kirimkan. Apakah sesibuk itu? Selelah itu? Memang acara yang melelahkan, sih?
Mencoba menelefon lagi, tetapi suara ketukan pintu membuat atensi Vanys teralihkan. Gadis itu membuka pintu, ia melihat Maria di sana.
"Ada temenmu yang nyariin," ujar Maria. Vanys tersenyum. Ia yakin itu Ferry, tetapi yang membuat sedikit ragu adalah 'teman', padahal biasanya Maria menyebut nama. Atau memang bukan Ferry yang datang? Gadis itu mengangguk karena tak punya pilihan. Ia keluar, menuruni tangga.
"Loh Viola, Devon? Ada apa? Tumben," ujar Vanys. Gadis itu menyerit saat mendapati dua insan itu datang ke rumahnya. Devon mengulurkan kotak amanah dari Ferry.
"Ini apa? Gue 'kan nggak lagi ulang tahun," ujar Vanys. Namun, gadis itu tetap menerimanya.
"Dari Ferry," singkat Viola. Vanys menyerit lagi. Mengapa tidak lelaki itu menyerahkan sendiri? Padahal biasanya memberikan tanpa perantara.
"Buka aja," suruh Viola ketika Vanys masih mengocok kotak itu. Vanys terkekeh. Gadis itu duduk di sofa, lalu mengambil gunting yang ada di rak meja ruang tamu.
Membuka kotak dengan suka cita. Ia yakin Ferry memberikan kejutan untuknya. Mungkin karena ini spesial, lelaki itu enggan memberikan sendiri. Membuka tutup kotak itu. Vanys terkejut. Ada buku tebal semacam album di sana. Gadis itu mengangkat dan mengeluarkannya. Membuka setiap halaman. Banyak foto kenangan. Mulai dari masa ospek, pertama mereka bertemu, kali pertama makan di TAMELO, waktu Vanys menangis karena patah hati, festival, saat mereka di Jakarta, dan masih banyak lagi.
"Keren banget," ucap haru Vanys. Gadis itu menyeka air mata. Sementara, dua insan di seberang sana ikut menangis. Bingung akan menjelaskan seperti apa nantinya.
Sampailah Vanys di halaman terakhir. Potret mereka berdua saat bernyanyi di atas panggung di malam puncak dies natalis. Namun, bukan itu yang menjadi atensinya. Ia melihat selembar kertas yang sengaja dilipat, terselip di antara foto itu. Vanys mengambilnya. Membuka surat itu, lalu membacanya dengan hati.
Untukmu, Vanys.
Hai! Kalau kamu baca surat ini, aku udah berada di negeri antah-berantah, tapi jangan khawatir, aku baik-baik aja. Wkwk, rasanya aneh nulis pake 'aku-kamu'. Nggak apa-apalah, sekali aja. Gimana? Keren 'kan? Ini sebenernya salah satu misiku, kuberi nama '43 Bagian Cerita Vanys'.
Selain itu, aku mau jelasin kalo aku udah nggak di Indonesia, tapi jangan cari aku karena aku nggak bilang siapa-siapa mau pindah ke mana. Maaf, nggak bisa kasih tahu langsung. Aku memang bukan lelaki yang pantas disebut lelaki pemberani. Aku pecundang ulung. Tak apa, aku harap kamu mengerti.
Terima kasih untuk lima semester yang kamu kasih ke aku, segala memori, kenangan, cerita, bahkan rasa jatuh cinta. Iya, aku cinta sama kamu sejak kita makan di TAMELO kala itu. Pernah aku ungkapin pas kita di TAMELO, tapi kamu bilang aku bercanda. Sakit, sih tapi lebih baik. Aku paham, kalo kamu nggak akan pernah bisa cinta ke aku, karena kanu terlalu tulus sayang ke aku sebagai sahabat kamu. Kucukupkan itu. Terima kasih.
Jangan mencari, biar takdir yang mempertemukan kembali. Semangat kuliah, jangan mudah menaruh hati. Aku nggak bisa dengerin curhatan kamu sekarang. Aku harus fokus, aku udah janji, aku minta maaf. Jangan nangis, Cantik. Masih ada sepasang kekasih penghantar paket dariku. Aku berharap, kamu selalu bahagia dan tidak menghabiskan waktu dengan berlama-lama menangisi. Aku tidak pergi, hanya saja menjaga jarak sampai luka itu benar-benar pulih. Maaf, tak bisa menepati janji untuk tidak meninggalkanmu. Aku bakal usahain move on, jangan kepikiran.
Dariku, sahabat yang mencoba move on
Air mata menetes deras. Surat itu basah. Vanys menutup rapat mulutnya. Ia terisak. Menangis sesegukan. Meremas kertas itu, lalu memeluknya. Ia terperanjat. Memakai sandal, lalu berlari keluar. Devon dan Viola langsung mengejar. Namun, Vanys sudah terlanjur naik taksi yang kebetulan lewat di depan rumah.
Devon menaiki mobil. Lelaki bersama kekasihnya langsung melajukan mobil dengan kencang. Mencoba sebisa mungkin mengejar taksi yang dinaiki Vanys.
"Sial!" umpat Devon mendapati lampu merah.
"Kira-kira Vanys bakal ke mana, By?" tanya Devon kepada Viola.
"Rumah Ferry!" cetus Viola. Devon pun mengangguk. Memungkinkan. Vanys tak mungkin pergi ke tempat lain.
Saat lampu hijau, Devon langsung menancapkan gas. Benar. Saat memasuki gang kompleks rumah Ferry, lelaki itu melihat taksi yang kembali dari gang itu.
"Vanys?" ucap Viola. Devon menghentikan laju mobil. Vanys tengah menggedor gerbang rumah lama Ferry. Viola langsung turun dari mobil, gadis itu menarik Vanys untuk mundur. Tak kuat, Devon ikut andil.
"Van, Ferry udah pindah. Rumah ini dijual, Van. Gue nggak bohong sama lo," jelas Viola.
Gadis dengan tangisan itu masih tak bisa terima. Ia tetap mendobrak gerbang.
"Van! Ayolah! Jangan ngeyel, deh! Ferry udah pindah. Rumahnya dijual!" seru Devon. Gadis itu tetap tidak peduli. Devon sudah berada di batas kesabaran. Bahkan, mereka sudah malu terhadap satpam rumah itu.
Devon menarik paksa Vanys. Terlalu kencang sampai Viola terkejut. Vanys terbelalak.
"Nyesel lo? Nyesel? Makanya mikir pake otak, Van! Apa iya harus ngerasain nggak ada sebelum lo sadar kalo dia penting di hidup lo?" bentak Devon yang hilang kontrol. Vanys terdiam. Ia sadar sekarang. Gadis itu menangis sejadinya. Viola melotot kepada Devon, lalu memeluk Vanys.
Maaf, terlambat menyadari. Aku terima 43 bagian cerita yang kamu buat untukku. Terima kasih. Semoga takdir masih berbaik hati. Namun, aku tak bisa berjanji untuk menjaga hati untuk waktu yang lama.
🐋🐋🐋
He yoo! Lapor, misi 43 bagian cerita Vanys sudah dilaksanakan! Silakan membaca versi baru tanpa harus menunggu. Rasakan setiap emosi. Terima kasih sudah mau bertahan. Jangan lupa vomment, ya.
Big luv,
Vanilla Latte.
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romance[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...