❝Akad, setiap janji itu diucap. Mereka yang aku anggap orang baik, ternyata sama saja dengan ia yang telah meninggalkanku.❞
🐋🐋🐋
Duduk di tepi ranjang dengan balutan kebaya modern berwarna mocca seraya membelakangi pintu kamar. Kecewa. Vanys tak suka dengan sikap Maria yang seperti ini. Tak pernah berkata sesuatu, tetapi segala hal tak diinginkan terjadi. Ketukan pintu kamar mendominasi keheningan. Suara rayu dari balik pintu menyapa indera pendengaran Vanys. Ada Maria di sana.
Mengelap air mata, lalu menurunkan kaki. Melangkah menuju pintu. Ia bukan lagi gadis kecil yang harus menangis. Ia harus menghadapi masalah ini.
"Udah pada kumpul, kamu anter Mama ke bawah, ya?" pinta Maria. Menghela napas, lalu mengangguk. Maria tersenyum.
Kedua wanita itu menuruni tangga. Sudah ada penghulu dan beberapa tamu yang datang. Hari ini cukup akad, resepsi akan diadakan setelah perjalanan bisnis mereka. Miko, lelaki berusia tiga puluh delapan tahun adalah seorang duda yang belum memiliki anak. Pria yang merupakan sekretaris Ibunya. Miko lebih muda empat tahun dari Maria.
Atensi mengarah kepada mereka. Gurat senyum hanya terlihat selapis di bibir Vanys. Seakan belum rela sepenuhnya. Sampai di dekat kursi akad Vanys mengantar. Ia kembali duduk di bangkunya, di samping Arion dan Ferry.
"Nggak apa-apa," bisik Arion seraya menggenggam tangan putih itu. Vanys tersenyum tipis, lalu kembali memandang ke arah depan.
Akad akan segera dimulai. Sang penghulu sudah menjabat tangan Miko. Ijab itu terucap, tinggal menunggu qobul saja.
"Saya terima nikah dan kawinnya Maria Ekawati binti Ahmad Suharja dengan mas kawin tersebut, tunai!"
Seruan 'sah' menggema. Vanys menghela napas. Tak apa sebenarnya jika Maria ingin menikah lagi, tetapi Vanys juga perlu tahu. Bukan malah tiba-tiba langsung menikah seperti ini. Vanys tak marah, ia hanya kecewa.
"Sini, Sayang!" pinta Maria dari kursi itu seraya melambaikan tangan. Tersenyum lagi, lalu bangkit. Hari ini, Vanys resmi memiliki ayah baru.
🐋
Menatap lurus di gazebo. Makanan itu tak ada yang disentuh. Bungkam. Kaki-kaki itu bergelantung seraya digerakkan. Masih teringat ketika Ferry menyusul ke Lembang. Vanys memejamkan mata. Gadis itu menunduk kuat, menahan segala tangis.
"Nih! Biar lo lebih baik," ujar seorang lelaki seraya memberikan minuman coklat dengan merek ternama. Vanys mendongak. Kemudian, menerima. Ada Ferry di sana.
"Tadi Arion bilang kalo mau berangkat magang. Dia nggak bisa ngomong ke lo langsung karena buru-buru," ujar Ferry setelah mendudukkan diri di samping Vanys. Gadis itu hanya mengangguk. Setelah itu, ia menyedot minuman coklatnya.
"Thanks, ya," ujar Vanys seraya mengangkat cup itu ke udara. Ferry mengangguk.
"Apa yang lo rasain?" tanya Ferry. Ekspresi itu berubah suram. Mata menatap sendu. Tangan Ferry beralih untuk menyandarkan kepala Vanys di bahunya.
"Nangis aja kalo perlu. Gue udah pernah bilang ini ke lo 'kan?" ujar Ferry. Suasana menyendu. Rasa hati Vanys begitu membiru. Sedikit demi sedikit, air mata mulai menetes. Tangan yang awalnya menyangga tubuh, kini merengkuh lengan Ferry seraya meremasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romance[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...