Potret 24 : Labirin Hati

977 44 41
                                    

❝Rasa ini bimbang, hatiku seolah berliku layaknya labirin. Sulit, di mana aku bisa menemukan tambatan hati yang sesuai?❞

🐋🐋🐋

Duduk di jok belakang motor sport ini mengingatkan Vanys dengan kenangan masa lalu. Rengkuhan pinggang dan usapan punggung tangan masih terasa hangat. Punggung lebar di depannya terlihat masih nyaman untuk dijadikan sandaran. Namun, Vanys tak punya hak lagi, meskipun hatinya masih meneriaki.

Udara dingin kota Depok mendominasi. Merinding, setiap inci bulu di tangan Vanys menegak, meskipun sudah dibalut oleh jaket Arion. Melamun, andai mereka masih bersama, mungkin dingin ini tak begitu terasa. Tes. Tetesan air turun dari langit. Terasa begitu dingin di tangan Vanys. Mendongak. Gerimis mendominasi kota Depok sekarang.

"Tambah deres. Kita ke halte depan dulu, ya!" teriak Arion. Lelaki itu dengan cepat menghentikan motor di halte yang dimaksud.

Basah. Kaos tipis yang Arion kenakan banyak terkena air hujan. Menatap iba, begitulah Vanys memandang. Vanys meletakkan ayam bakar kremes yang ia beli, lalu melepas jaket yang dipakainya. Namun, satu gerakan cepat menghentikan.

"Nggak usah. Kamu lebih butuh," ujar Arion. Lelaki itu menggosokkan kedua telapak tangannya. Mencari kehangatan di sana. Sementara, Vanys terhenyak. Bukan perkara jaket, tetapi sebutan 'kamu' untuk dirinya. Sebutan yang Vanys rindukan.

"Kenapa?" tanya Arion. Vanys menoleh setelah tersadar dari lamunannya. Kemudian, menggeleng kuat.

"Maaf, ya karena aku, kamu jadi basah gini," lontar Arion dengan rasa bersalahnya. Memejamkan mata sejenak. Hipotesis soal kesalahan menyebutkan 'kamu' tak terbukti. Arion memang sengaja. Menghela napas, lalu menoleh ke Arion.

"Kenapa masih pakai 'aku-kamu'?" tanya Vanys. Gadis itu butuh jawaban. Arion terkekeh.

"Kebiasaan. Aku, eh, maksudnya gue cuma inget itu kalo manggil," jelas Arion. Vanys menunduk. Tak baik lama-lama di sini, apalagi sepi seperti ini. Berdua saja dengan Arion.

"Gue mau pulang aja," ujar Vanys. Arion terkejut. Lelaki itu bangkit tatkala Vanys bersiap untuk lari di bawah hujan. Tangan lelaki itu mencegah dengan cekatan.

"Kita pulang bareng, setelah hujan," tegas Arion. Vanys menggeleng. Setengah tubuh sudah berada di bawah hujan.

"Oke, kita pulang sekarang, tapi sama aku," balas Arion mengalah. Vanys menghela napas. Tangannya ditarik untuk menaiki jok motor Arion. Bahkan, lelaki itu menarik tangan Vanys untuk melingkari perutnya. Melaju begitu cepat, membelah hujan.

🐋

Arion menatap Vanys yang baru duduk di depannya. Sekitar lima belas menit lalu mereka sampai. Vanys merasa tak tega. Begitulah Arion dengan pakaian keringnya. Duduk di depan Arion seraya mengulurkan secangkir kopi macchiato. Arion tersenyum tipis. Vanys masih ingat kopi instan kesukaannya.

"Makasih buat macchiato-nya," papar Arion setelah menyeruput.

"Gue udah siapin makanan. Lo makan dulu sebelum pulang, masih hujan juga soalnya," ucap Vanys terdengar ketus dan kaku. Namun, Arion mengerti. Sikap itu hanya Vanys tujukan jika gadis itu tak ingin terbawa perasaan atau lainnya.

Duduk di meja makan berhadapan. Sebuah ingatan yang tak pernah bisa Vanys lupakan. Selain Tamelo, ayam bakar kremes ini adalah makanan favorit mereka.

43 Bagian Cerita Vanys [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang