"Mulut itu sudah beradu, menyangkal antara nyata dan alasan. Dan ya, bimbang begitu mengguncang paradigma, sedangkan kepalaku telah dipenuhi stigma,"
🐋🐋🐋
Menangis dan mengunci diri adalah pilihan Vanys. Setelah pesta malam itu, ia tak mau ditemui oleh siapapun, selain Bi Asih. Bahkan, nampan-nampan berisi makanan pun tak pernah disentuhnya. Marah, menyesal, kecewa, kalut, dan lara menyelinap masuk ke dalam atma. Raganya sudah tak berenergi, tangisnya pun hanya bersisa isakan. Gadis itu mengurung kepalanya di antara kaki-kakinya. Ya, ia begitu kecewa.
Suara ketukan pintu terdengar bersamaan dengan suara Ferry yang menyeru. Vanys menundukkan kepalanya lagi. Namun, tekad lelaki di balik pintu itu begitu besar. Ia mendobraknya sekuat tenaga. Vanys yang terhenyak, menukar posisinya menjadi tidur membelakangi pintu. Menutup dirinya dengan selimut karena malu.
"Van, makan dulu," pinta Ferry setelah mengambil nampan yang sebelumnya ada di meja luar. Lelaki itu membawanya ke nakas.
Vanys tak menggubris, gadis itu semakin mengeratkan selimutnya. Tangan Ferry terulur, mencoba meraih bahu Vanys. Saat tangan itu menyentuh bahunya, secara tiba-tiba Vanys memeluk Ferry dengan erat. Gadis itu menangis di punggung lelaki yang terkejut itu. Isakannya semakin kencang. Perih. Ferry dapat merasakannya.
"Makan dulu, hari ini Papa sama Mama lo belum bisa pulang. Tadi telefon gue karena handphone lo nggak bisa dihubungi sejak kemarin," papar Ferry.
Vanys memejamkan matanya, hatinya semakin perih. Selalu seperti itu setiap bulannya. Mungkin jika dihitung, ia sudah tak bertemu orang tuanya selama 3 bulan lamanya. Ferry menghela napasnya lagi.
"Udah, gue paham kok. Makan, yuk abis itu gue ajak lo keluar," bujuk Ferry. Terdengar hembusan napas dari gadis itu. Setelahnya, ia membalikkan tubuh dan mengganti posisi menjadi duduk. Vanys menaikkan selimutnya sampai dada.
"Nih, gue suapin. Buka mulutnya," titah Ferry. Namun, gadis itu malah menyandarkan kepalanya di bahu Ferry. Untung saja supnya tumpah ke mangkuk.
"Kenapa hidup gue gini amat sih, Fer? Kenapa cuma lo yang peduli sama gue? Keluarga gue? Nihil. Seenggaknya kalo gue nggak pernah bisa dapet cinta tulus dari lingkungan luar, harusnya orang tua gue peka," keluh gadis itu. Ia memeluk lengan Ferry dengan erat.
"Gue nggak tau soal itu, Van. Gue nggak paham sama apa yang ditakdirkan. Seenggaknya gue masih ada di samping lo. Gue nggak akan ninggalin lo," ujar Ferry. Lelaki itu mengelus tangan Vanys yang melingkar di lengannya.
"Gue sayang sama lo," lirih Vanys. Ferry membulatkan matanya.
"Makasih, ya udah jadi temen paling baik dan selalu ada di samping gue. Gue berharap lo nggak akan pernah pergi ninggalin gue," harap Vanys. Gadis itu semakin merengkuh lengan Ferry. Ferry tersenyum kecut, lelaki itu menepuk tangan Vanys sembari mengelusnya.
"Sekarang makan, gih!" suruh Ferry dengan tangan yang mengulurkan mangkuk sup itu. Vanys menggeleng.
"Gue mau sate Bang Maung. Abis itu tepatin janji lo ajak gue keluar," ucap Vanys dengan girang. Ferry mengembuskan napasnya.
"Oke!" seru lelaki itu. Keduanya menuruni ranjang. Ferry pergi dahulu karena Vanys akan mengganti bajunya.
🐋🐋
Motor terparkir di depan tenda sate Bang Maung. Ya, sate Bang Maung adalah sate ternikmat di kompleks Vanys. Bang Maung sendiri pun tak asing lagi dengan dua pelanggannya ini. Bahkan, Bang Maung sering menggoda mereka untuk bersegera jadian.
"Bang, kaya biasa, ya!" seru Vanys di mejanya.
"Oh ya, lo hari ini nggak kuliah dong gara-gara gue?" tanya Vanys untuk memastikan.
"Menurut lo? Ya abisnya gue khawatir sama lo. Gue milih ke rumah lo lah daripada kuliah," balas Ferry. Vanys menyengir.
"Tapi lo lagi nggak ada kuis lagi 'kan dari Pak Burhan?" tanya Vanys lagi. Ferry menggeleng. Setelah obrolan singkat mereka, sate pesanan mereka sudah tiba. Bang Maung melempar senyumnya kepada kedua insan itu.
"Lo makan, deh. Nanti lo sakit lagi," titah Ferry. Bang Maung dengan usilnya pun berdehem. Membuat kedua insan yang tengah menikmati satenya saling menatap.
"Gaje deh, Bang!" seru keduanya bebarengan.
"Tuh, sampai ngomong aja udah couple-an. Ya kali nggak pacaran," goda Bang Maung.
Tak mau menanggapi lebih, Vanys bergegas memakan satenya. Perutnya begitu keroncongan sekarang. Sekali-kali, Vanys menyuapkan sate kepada Ferry karena lelaki itu enggan makan. Katanya, biar ia saja yang makan.
"Loh kalian pacaran? Lo udah putus, Van dari Kak Arion? Pantes kemarin lo datang berdua sama Ferry, padahal Kak Arion dateng juga, ngasih gue ini, nih," ujar Mauly yang entah bagaimana bisa gadis itu ada di sekitar kompleksnya. Mata Vanys menangkap kalung yang diperlihatkan oleh Mauly.
"Fer, gue udah nggak nafsu makan. Katanya lo mau ajak gue jalan, jadi 'kan?" tanya Vanys dengan sengaja. Mengetahui situasinya, Ferry mengangguk. Lelaki itu meletakkan uang seratus ribuan di atas meja. Vanys langsung menarik tangan Ferry untuk bersegera naik ke motornya.
🐋
Mereka sudah berada di salah satu rooftop konstruksi yang tak dilanjutkan karena kekurangan dana. Sedikit horor memang, tetapi tak pernah ada kabar tak baik dari sini. Lagipula, tempat ini adalah tempat yang cocok untuk meluapkan segalanya.
"Lo serius ngajak gue ke sini?" tanya Vanys. Ferry mengangguk.
"Kenapa? Tempat ini nyaman tau, gue sering ke sini. Dan ya, gue udah pernah coba buat luapin segala masalah gue, nyatanya berhasil," ujar Ferry.
Ferry merebahkan tubuhnya. Lelaki itu melayangkan tangan ke udara. Menatap langit adalah hal paling menenangkan. Vanys menghela napasnya. Gadis itu ikut merebahkan dirinya di samping Ferry. Lelaki itu terkejut. Saat ia hendak mendudukkan dirinya, Vanys mencegahnya.
"Kenapa? Lo di sini aja," cegah Vanys. Ferry tak mau Vanys curiga dengan perasaannya. Lelaki itu pasrah.
"Menurut lo, gue harus gimana?" cetus Vanys. Ferry menyeritkan dahinya.
"Gimana apanya?" tanya Ferry. Pertanyaan itu terdengar ambigu.
Vanys mendecak. "Ya hubungan gue sama Arionlah! Jelas dia 'kan pergi ke pesta Mauly tanpa ngasih tau gue, mana Mauly dikasih hadiah kalung lagi. Gue aja nggak pernah." Vanys menekuk bibirnya.
"Putus!" lontar Ferry.
"Ha? Gila, ya lo! Masa putus, sih. Terus gue harus pacaran sama siapa, dong?" keluh Vanys.
"Sama gue," sahut Ferry. Vanys membulatkan matanya. Gadis itu masih tak percaya dengan perkataan Ferry barusan.
Apakah Ferry menembaknya? Atau Ferry punya perasaan kepadanya? Atau ....
🐋🐋🐋
He yoo! Hari ini aku update lagi. Terima kasih bagi yang sudah membaca. Jangan lupa vomment. Terima kasih lagi.
Big luv,
Vanilla Latte❤
KAMU SEDANG MEMBACA
43 Bagian Cerita Vanys [END]
Romance[NEW VERSION] Kadang, kita harus memilih antara luka untuk bahagia atau bahagia untuk luka. Bagi kamu yang bimbang dalam urusan mencinta tanpa dicinta, kisah ini sungguh cocok untukmu. Dalam setiap goresan penanya, lelaki itu menuangkan segala rasan...