Wahid bungkam, tidak bersuara sedikitpun. Mulutnya kelu seperti ada perekat dimulutnya. Kakinya lemas, hatinya hancur mendengar wanita yang dia khitbah mencintai orang lain.
"Aku tau saat ini kamu banyak masalah, tapi aku tidak akan membatalkan niat baik ku untuk mengkhitbahmu. Aku yakin dengan pendapatku dan aku yakin dengan pilihanku" ucapnya
"Aku sudah tidak percaya cinta sudahku bilang! lebih baik kau diam dan abang lebih baik cari wanita lain jangan aku, aku tidak percaya terhadapmu! semua laki-laki itu sama!" dengan nada tinggi
"Annisa percayalah tidak ada yang lebih baik dari pada kamu menunggu orang yang tidak ada kabarnya Nisa. Percayalah padaku agar kamu mau menjadikanku sebagai imammu dalam suka maupun duka, aku janji akan merubah kamu untuk bisa percaya lagi tentang rasa cinta"
"Kamu tau siapa yang aku cintai sebelum aku tidak lagi mencintai? Allah merugikanku dengan penantian itu"
"Siapapun itu aku tidak mau tahu, itu hanyalah masa lalumu yang bagiku tidak penting. Yang perlu kamu pikirkan itu masa yang akan datang, Allah itu maha rahasia"
"Tidak penting kau bilang? dia itu cinta pertamaku asal kau tau!"
"Maafkan aku tapi percayalah aku menyukaimu"
Deg
Annisa merasakan kepalanya begitu berat. Lelaki ini suka sekali berdebat. Rasanya otaknya menari-nari, pandanganya mulai samar dan redup.
Annisa tak sadarkan diri, dia terjatuh ke lantai. Wahid segera berlari untuk memberi kabar kepada Bunda Dia dan keluarganya perihal Annisa yang jatuh pingsan.
"Annisa bangun, bangun Nisa bangun"
"Apa yang terjadi pada Nisa Wahid?" Tanya Bunda Dia
Wahid menjelaskan apa yang telah mereka katakan tadi.
"Maafkan Wahid Bunda, Ummi, Abi maafkan Wahid"
Sesampainya di rumah sakit
"Apa yang terjadi pada Annisa hid?" tanya dr. Gibran Bayu Utama
"Tiba-tiba Pingsan bran"
Gibran bersigegas memeriksa keadaan Annisa sekarang.
"Bagaimana keadaan anak saya dokter?" selepas keluarnya Gibran dari ruangan
"Ibu tenang ya anak ibuk baik-baik saja, hanya saja penyakitnya sedang kambuh. Dia hanya perlu istirahat dan makananya tolong dijaga juga harus tepat waktu". jelas Gibran
"Terimakasih banyak dokter, apa saya boleh masuk sekarang?"
"Sama-sama bu silahkan"
"Annisa kamu nggak papakan sayang? kamu kambuh lagi?". bentak Bunda Dia yang kebiasaan jika ia khawatir dan cemas pasti terdengar marah padahal ia begitu sayangnya pada gadisnya ini.
"Nisa nggak papa Bunda. Dimana keluarga pak Andramayu bun apa mereka sudah pulang?".
"Ada diluar, Nisa?". mengantungkan pembicaraan. "Bunda nggak mau melihat kamu larut dalam kesedihan, jadi kalau kamu mau yang terbaik untukmu silahkan, bunda nggak akan memaksa apa lagi masalah jodoh menjodohkan ini"
"Bunda jangan marah ya. Aku terima kok lamaran ini tapi boleh aku minta tolong sama bunda? Bunda tolong panggilin Wahid ya"
"Baik"
Wahid segera masuk kedalam ruangan Annisa
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam maaf tiba-tiba saya memanggil, saya hanya ingin mengatakan siapa lelaki yang saya sukai. Saya menyukai sahabat Abang Gibran maafkan saya dan masalah khitbahan abang saya akan menerimanya. Semoga sesuai dengan janji abang, abang bisa menumbuhkan rasa itu kembali dan semoga kau rela aku yang pembangkang jika menuju proses yang kau ingini, apa kau mau dan setuju?"
"Baiklah aku akan melanjutkan". dengan berat hati
di luar ruangan
"Abi apa baik untuk anak kita berduaan didalam? semenjak diluar rumah tadi bi dan kini?". ucap Ummi Wahid yang baru angkat bicara sedari di rumah Annisa tadi.
"Ummi betul, nanti mereka bisa zina mata dan hati, mereka kan belum halal. Dan sebaik-baiknya orang pasti mereka akan pernah melakukan khilaf mi"
"Lalu bagaimana ini bi?" tanya Ummi Keyla Latifal Jannah
"Maaf tapi". Bunda Dia memotong pembicaraan
"Abi Ummi? Kapan kita akan melangsungkan pernikahan Wahid Ummi Abi?". tanya Wahid saat keluar dari ruangan
"Maksud kamu apa sayang?"
"Iya Ummi pernikahan Wahid dengan Annisa". dengan antusiasnya
"Annisa menerima khitbahan kamu nak?" tanya Abinya
"Iya bi Annisa terima khitbahan Wahid"
"Alhamdulillah"
"Kamu serius hid dengan keputusan ini? apakah tidak akan lebih baik lagi anak saya mengenalmu terlebih dahulu?"
"Maaf bunda jika itu mau bunda saya nggak bisa, karena itu bisa-bisa zina dan orang-orang bisa mengira kami berlaku yang tidak-tidak bunda. Hanya saja jikalau boleh ta'arufan saja bunda itu baru boleh, bunda dan keluarga saya harus menjadi saksi dan orang ke tiganya"
"Bunda setuju lebih baik kalian ta'arufan dul ya. Kalau sudah cocok baru kita laksanakan pernikahan kalian"
Ta'arufan? Padahal Wahid begitu antusiasnya untuk bekeluarga dengan Annisa bunda.
Bunda Dia takut akan nantinya masa depan anaknya menyakitkan. Karena jika anaknya tidak suka terhadap sesuatu maka dia butuh waktu untuk menerima kenyataan itu dahulu sampai ia ikhlas.Ta'rufan lebih baik agar mereka bisa saling mengenal. batin Bunda Dia
***
Mau tau ngak kenapa Annisa masih mau menerima khitbahan ini? Jawabannya di part selanjutnya ya langsung di baca sudah bisa.
Dan kenapa Wahid masih mau melanjutkan khitbahanya ke Annisa? jelas-jelaskan Annisa tinggi hati dan telah mati rasa. Parahnya lagi wanita yang dia cintai mencintai sahabatnya sendiri. Waaw! dianya tega lagi hanya memanggil Wahid kedalam keruangan hanya untuk menyampaikan siapa yang dia sukai? parah bangetkan, dimana hati kamu Nisa? Kasihan Wahidnya. (fiks abaikan monolog authornya).
Jangan lupa Komen + Votenya ya readers yang baik hati.
Tanpa komen dan Vote ana ngak Pd buat tamarin ceritanya.Lanjut ke part berikutnya ya😁.
Mohon kerjasamanya, semoga cerita ini banyak yang bacanya dan masuk di dirank Spiritual yang tinggi Aamiin.
Tolong wujutin sama-sama ya harapan ana ini semoga dijabah oleh Allah, semoga di rank 20anlah.Semoga Allah selalu memberikan kesehatan kepada kita semuanya. Aamiin.
Terimakasih banyak sudah mau membaca dan memberikan dukungannya.*Jadikan Al - Qur'an sebagai petunjukmu yang tiada duanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cinta Wahid
Spiritual(TAMAT) Pernikahan ini terjadi karena janji Ayahku dan Abinya. Setelah kami menikah aku sangat risih dengan keberadaannya. Jangan sentuh aku! Jika kau sentuh anggap saja aku sebagai pelacur! Ucapnya di malam pertama mereka. . . . Annisa Fitriyal Jan...