9. Annisa dan Perasaan

3.7K 167 15
                                    

Semenjak kejadian beberapa silam itu membuat Annisa semakin membenci masa lalunya. Ayahnya pergi semenjak ia masih bayi.

Dan kini umurku menginjak dewasa, dunia perkuliahanku sedangku jalani sekarang. Layaknya seperti mahasiswi pada umumnya, tapi ketahuilah di kampus ini aku tidak bahagia, kenapa? aku hanya memiliki 2 orang sahabat yang paling dekat denganku.

Dalam umurku yang kini, aku sempat mencintai seseorang, ya Gibran. Hanya nama dialah yang dapat membuat hati ku bergetar tidak karuan, jantungku seakan sesak jika melihatnya. Dalam diam aku mencintainya dan dalam diam pula aku ingin menjadikanya sebagai kekasih di hatiku.

Namun tuhan berkata lain, orang yang kucintai tidak pernah sekalipun mengaharapkan kehadiranku. Ada luka bercampur kecewa yangku rasakan, orang yang aku cintai justru mengharapkan orang lain. Penantianku itu hanyalah sebatas sia-sia.

Wahid Islami Zaidan, pria yang pandai agama, dan dialah yang menjadi kekasih halalku saat ini. Pernikahan kami terjadi karena janji Ayahku dan Abinya sewaktu seumuran jagung dulu. Mereka pernah berjanji akan menikahkan anak-anak mereka nantinya.

Kebencian terhadap Ayahnya membuat Annisa semakin sakit, begitu juga dengan orang yang dia cintai. Tuhan itu tidak adil padaku! Kasih sayang yang kudapati hanya dari seorang ibu dan cintaku? hanyalah sebatas sia-sia yangku dapatkan.

Kenapa pernikahan iniku setujui? padahal aku sama sekali tidak mencintainya melainkan membencinya apalagi dia pilihan Ayah. Ohh Tuhan memang penuh teka-teki. Aku tidak percaya lagi pada tuhan harapanku pupuh tidak ada gunanya lagi untuk apa aku hidup.

Flashback On
Hari ini hari di mana aku bersanding denganya di pelaminan. Hatiku penuh rutukan berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Wahid. Wahid tampak mengukirkan senyum meladeni temanku dan temanya saat memberikan kami do'a  agar menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah.

Wahid menyuruhku menelengkupkan tangan kedada jika yang memberiku selamat teman cowokku. Aku marah karena mereka itu adalah temanku, kenapa dia melarangku untuk salaman ataupun cupika-cupiki? Apaku salah?.

"Mereka bukan makhram kamu Nisa. Maka telungkupkanlah kedua tanganmu seperti ini" mempraktikkannya pada Annisa

"Huhh" erangnya frustasi

Seharian Annisa dan Wahid dikursi pelaminan. Wahid tersenyum kearah Annisa dan mulai mendekatkan dirinya kearah Annisa dan berbisik.

"Terimakasih sudah mau menerimaku sebagai suamimu, biarkan aku masuk ke hatimu untuk merubahnya ku harap kamu akan selalu tersenyum"

Ada desiran hati didada Annisa.Dia gugupnya bukan main.

"Kamu haus?"

Pasalnya jika didunia pelaminan ada halnya pengantin makan bersama bukan?  mungkin Wahid merasa lapar, karena itulah dia bertanya.

Aku merasa risih berada disampingnya dan lapar mulai menggerogoti perutku. Namun aku lebih memilih diam dan menahanya. Aku paling benci ketika dia menyuruhku menelungkupkan kedua tanganku didepan dada.

Dan tibalah saatnya kami berada diruangan yang sama, ditempatku sering melepaskan letihku di kamar.

Aku risih sekali dengan pakaian yang seharian iniku gunakan, ada rada panas disertai peluh yang terus berbanjiran dibalik tubuhku.

"Kamu duluan saja mandinya biar aku yang terakhir"

Ada rasa terimakasih dilisanku yang takku katakan padanya. Aku memang belum terbiasa melihat orang asing didalam kamarku. Aku benci hal itu.

Hatiku sontak kaget melihat dia yang baru keluar dari kamar mandi yang tengah dibalut selaruh handuk. Ahh aku sangat malu saat itu sempat memperhatikan walau sekilas.

. . .

Malam ini bukanlah malam yangku harapkan. Hujan sebentar lagi akan menguyur rumahku dan disertai petir yang dahsyat sepertinya.

Aku menarik selimut karena takut. "Aku paling benci petir"

Aku takut dan gugup, apa yang harus aku lakukan sekarang? Sekarang aku berdua di sini bukan sendirian lagi?.

"Kamu kenapa sayang takut? Sini biar aku peluk"

Lancang sekali dia berbicara seperti itu padaku. Aku tidak akan pernah mau melakukanya.

Dalam pikirku lebih baik aku hanya diam, dan akan lebih baik aku memancing emosinya supaya aku tidak perlu lagi menahan diri agar dia cepat menceraikanku.

"Kamu jangan menangis lagi didepanku, aku tidak suka kamu menangis"

Seketika aku benci mendengar dia berkata seperti itu. Aku ingin berpisah denganya dia hanya mencintaiku karena janji itu. Janji Ayahku dan Abinya dulu bukan murni karena cinta suci.

Mungkin ini semua salahku. Masa depanku seketika hancur sekarang. Orang yang aku cintai sekarang bebas liar sedangkan aku? sudah terikat menjadi milik orang lain.

Kenapa aku menerima khitbahan Wahid?. Aku tidak tau alasanya mengapa. Yang aku tau aku hanya iseng-iseng dan berharap mungkin ada cinta yang bisa kembali hadir. Tapi aku salah semua hanyalah hayalanku saja. Aku semakin membencinya.

Lantas kenapa aku sok baik sebelum aku menikah denganya? Entahlah itu mungkin rahasia Tuhan. Aku bersikap manis karena aku kasihan melihatnya dan aku anggap dia seseorang yang sabar. Karena itulah aku menerimanya, tidak untuk sekarang.

Setelah janji Ayah yangku benci ituku jalani, kini datanglah bencana padaku. Ternyata aku membencinya karena lantaran dia adalah anak dari sahabat Ayahku. Aku benci itu aku menggangap pria itu hanya melaksanakan janji itu, bukan karena dasar cinta ia menikahiku.

"Jika jadi abang menikahi saya dan saya belum cinta bagaimana? dan kalau abang tau hati saya sudah ada yang mengisi bagaimana? Sebab sebelum mati rasa saya sempat mencintai orang lain. Dan aku ingin dia menjadi pendampingku". Aku masih ingat betapa seriusnya aku mengucapkan kata itu

Aku tau aku telah salah menjadikanya sebagai imamku, dia begitu sempurna bagiku. Maaf karena aku telah memberimu harapan untuk bisa masuk kedalam hatiku. Aku menyesal cinta itu belum tumbuh seiring kita bersama.

Lepaskanlah aku karena aku tidak sempurna, aku hanya Istri yang berdosa, ketika suamiku tersenyum aku membencinya. Atas dasar rasa bersalahku aku memohon maaf kepada Tuhanku dan dia, aku masih belum dapat mengembalikan rasa cinta itu.

Akulah yang memulai semua takdir kita bersama. Dan itu pertanda bahwa aku harus bertahan untuk menempuhnya walaupun terluka.

Tapi aku belum bisa menerimanya tulus dari hatiku. Wahid adalah jodoh titipan ayahku dan itulah yang sangat aku benci. dan tuhan juga menyia-nyiakan do'aku terhadap Gibran, karena itulah aku membenci takdirku sendiri.

***

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh semuanya.
Semoga tetap istiqomah ya dalam berhijrah Aamiin.
Gimana partnya kali ini? Suka ngak sahabat? Mohon jangan jadi slient readers ya sahabat, supaya ana semakin cepat menulis part selanjutnya. Soalnya penyakit ana itu, ana butuh komentar dan dukungannya teman. Maka dari itu mari komen yuk
Hehe.

Selamat membaca dan sampai jumpa di part selanjutnya.

*Jadikanlah Al -Qur'an sebagai pedomanmu yang tiada duanya.

Setulus Cinta WahidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang